Riana tercekat bangun dari tidurnya. Alarm handphone sudah berulang kali berbunyi, namun ia hanya menekan snooze button, dan merebah ke kasur lipatnya. Sudah pukul 5.50 kali ini, ia pun bergegas berlari menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu. Hari ini jadwal ujian kompre, membuatnya begadang semalaman untuk membolak-balik catatan lusuhnya. Bukan hanya Riana, Gian sang adik yang duduk di kelas 8 SMP itu pun akan memulai ujian semesternya pagi ini. "Gi, bangun! Sudah siang banget ini. Ayo cepat mandi dan pakai seragam mu. Kakak tidak mau terlambat!!" teriak Riana menggedor pintu kamar Gian. Tak ada jawaban, Riana langsung menyambar pintu merangsek masuk ke kamar Gian. Ia terkejut karena kamar itu rapi dan kosong. "Gi! Dimana kamu gi?" ia berteriak keras sambil berjalan ke depan rumah.Â
Rupanya, Gian sedang asyik duduk di teras, memasang headset. Ia berseragam rapi dan telah memasang sepatu. "Kamu udah siap Gi?", katanya. "Iya. kakak tuh ga bangun-bangun. Alarmnya berisik sekali", jawab Gian. Riana langsung cemberut dan masuk bersiap.
Di dalam angkot menuju ke sekolah Gian, Riana heran pada adiknya itu. Bukannya membuka buku catatan, Gian malah asyik sekali mengisi TTS. Ia pun mulai mengomel, "Gi apaan sih malah main ga penting, buka bukumu, masih ada waktu kamu belajar. Jadwal ulangan pertama matematika kan?". Gian merengut mengacuhkannya. Riana menimpali lagi, "kamu ingat nasehat Ibu dong. Sekolah harus yang serius. Biar ngga sia-sia bayar mahal". Gian akhirnya buka mulut, "Kakak ini kenapa sih? Aku sudah belajar matematika 6 bulan belakangan. Tiap malam kan aku sudah belajar. Subuh tadi aku pergi ke Surau berdoa dan minta didoakan Kakek Salim. Itu udah cukup kak, sekarang aku mau santai biar nanti ujiannya ngga gerogi". Riana tercekat dan langsung terdiam.
Ia merasa nalarnya kalah jauh dari Gian. Sang adik benar, bukankah saat memilih hidup dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, berarti sebenarnya kita telah memulai ikhtiar? Menjalani hari satu demi satu, menyelesaikan tantangan hari demi hari, maka sedikit demi sedikit jarak mimpi itu secara otomatis akan menjadi lebih dekat? Ditengah hiruk pikuk dan ruwetnya masalah, kadangkala pandangan orang dewasa tertutup tabir mendung pesimisme, yang seolah tampil dalam pikiran realistik. Berbeda dengan anak-anak, yang tidak banyak mengenal takut pada kegagalan. Ia hanya berupaya, mencoba lagi, dan sisanya menjalani dengan santai tanpa beban dan ketakutan berlebih pada hasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H