Tetes air membasahi rambut dan dahiku yang bercucuran keringat saat berlari tergopoh-gopoh ke peron kereta. Kemeja pastel dan celana chinos berwarna beige ini terciprat sana sini, belepotan dibuatnya. Hujan deras tiba-tiba mengguyur stasiun, mengejutkan para pengantri gerbong KRL yang hampir semuanya tidak mengantongi payung. Aku memilih untuk tetap mematung di antrian sisi rel meskipun tampias air tidak bisa dihindari. Ini jumat petang, yang biasanya menjadi waktu yang akan kusambut dengan riang. Namun, tidak saat ini. Pikiranku tidak bisa berhenti memutar bayangan episode di kantor siang tadi.
Insiden terjadi saat Bos tiba-tiba datang menghampiri mejaku sambil berkacak pinggang. Ia kemudian memanggilku dengan kasar dan mengoceh banyak hal sambil memegangi kertas hasil liputan yang kubuat atas permintaan salah satu senior, yang baru kusadari ternyata bak dementor penyedot kebahagiaan yang berhati busuk. Niat hati membantunya dengan menuruti permintaannya untuk mengerjakan report tersebut, yang kuterima justru caci makian dari bos karena hasil yang menurutnya buruk dan tidak sesuai dengan apa yang ia mau. Celakanya, senior itu justru cuci tangan dengan ikut-ikut menjelekkan, menyalahkan, dan memakiku, lengkap sudah mempermalukan dan menjadikanku samsak di depan umum. Sebagai seorang introvert yang bekerja di industri media, dipermalukan dan direndahkan seperti sudah menjadi santapan sehari-hari. Namun, rasanya tetap tidak ada ruang yang benar untuk beragam perilaku buruk yang sangat jelas adalah sebuah ketidakpantasan.
Desing roda kereta berbunyi, semua penumpang berhasil masuk ke dalam kereta meskipun berlarian menerjang hujan. Disudut kursiku yang sesak, aku duduk teringat almarhumah inang. Inang selalu mendidik kami untuk menjadi orang baik, jujur, dan tidak merugikan orang lain. Bahkan, bagaimana kebermaknaan hidup itu ada pada manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Namun, Â ternyata dunia juga dikelilingi oleh para hati jahat, yang demi keuntungannya tidak segan menindas orang lain. Celakanya, semakin berhasil menindas, mereka akan merasa semakin hebat. Warna dunia menjadi bergantung pada seberapa banyak komposisi dan kompetisi jumlah orang baik dan si hati jahat.Â
Rasa benci sejatinya adalah reaksi emosi yang muncul atas kenyataan yang tidak sesuai dengan skenario yang kita bayangkan. Kebencian yang timbul atas perilaku penindasan yang diterima merupakan perasaan yang valid. Hal tersebut mencerminkan sense alias kesadaran kita terhadap keadilan yang seharusnya eksis dalam interaksi di dunia. Namun, sejatinya ada banyak hal yang berada diluar kendali, termasuk bagaimana perilaku manusia lain dan "universe" yang berada di sekeliling kita. Sebaliknya, memendam benci membuat hati terasa panas, sebagaimana menyimpan bara api di dalamnya. Konon, lawan dari cinta bukanlah benci, tapi pengabaian alias ignorance. Maka, melawan para hati jahat bukan dengan membencinya, tapi mengacuhkan keberadaan mereka, menganggapnya lalat-lalat tidak penting yang tidak pantas mendapat perhatian kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H