Tengah malam sering menyingkap tabiat asli satu jiwa. Membuka semua topeng palsu, menampilkan rupa diri yang sesungguhnya. Ruang dan waktu hening. Namun pikiran makin berdesing, dengan suara memekak yang makin bising. Sepertinya, tidak ada yang mampu menghentikannya. Ramai isi kepala justru makin menjadi-jadi. Apa yang harus dirasa dalam benak?
Sejatinya, kekhawatiran adalah tipuan klasik dari rasa takut. Dari zaman purba, insting manusia sudah terlatih akan bahaya yang mengancam. Tak heran jika secara alamiah manusia terbiasa dengan konsep fight or flight, yaitu untuk mengetahui kapan waktunya melawan dan kapan waktunya kabur. Utamanya adalah kepekaan cukup tinggi pada ancaman yang datang dari luar.Â
Satu dua kali, kekhawatiran datang dari penolakan-penolakan dalam hidup yang rajin datang. Tanpa disadari, ia perlahan mengendap, menumpuk, hingga akhirnya menggunung dan mencuat muncul ke permukaan. Kadangkala, yang lebih mengerikan dari kegagalan adalah "ilusi" kengerian atas dampak kegagalan tersebut dalam hidup kita. Tipuan bayang ilusi pikiran manusia sangat lihai memainkan renteran reka adegan premis. Jika a maka b, jika begini maka dampaknya akan begitu, dan sebagainya. Mark Manson dalam bukunya berjudul seni untuk bersikap bodo amat, menyebutnya sebagai lingkaran setan tipuan pikiran, yang akan membuat rasa khawatir terus berputar, berubah wujud tanpa ada ujungnya.
Khawatir adalah sebuah respon emosi. Kita merasa khawatir karena kita memang manusia biasa dengan insting alami untuk merespon ketidakpastian dunia. Semakin tidak pasti, khawatir akan semakin intens menyapa. Semakin sulit dunia dikendalikan, semakin sering perasaan-perasaan tidak nyaman datang bergantian. Namun, barangkali memang itulah proses bertumbuh dalam kebijaksaan. Perjalanannya perih dan terjal, ditemani dengan beragam jenis emosi negatif.
Satu hal yang pasti dalam hidup adalah ketidakpastian itu sendiri. Dalam mindfulness dan dikotomi kendali hidup terbagi menjadi sedikit hal yang berada dalam kontrol kita, sedangkan sebagian besar lainnya berada di luar kendali. Tidak semua orang beruntung berada di dalam lingkungan yang positif, atau memiliki privilege yang menguntungkan. Bagi sebagian orang, proses kehidupan harus dijalani dengan keras dan curam, yang juga tidak pernah menjanjikan hasil akhir yang selalu baik. Itulah mengapa inner self meresponnya dengan rasa khawatir dan cemas.Â
Rasa khawatir membutuhkan pelukan dari diri sendiri, dan menerima kehadirannya sebagai bentuk empati dari tubuh kita pada kondisi tidak ideal yang mungkin sedang kita alami. Ia butuh ruang penerimaan dan validasi, bahwa yang saat ini kita lakukan adalah perjuangan berat menuju keadaan yang lebih baik. Percayalah, menerima rasa khawatir dengan berterima kasih pada diri sendiri setelah perjuangan yang ia lakukan untuk bertahan sejauh ini adalah umpan balik terbaik. Terima saja dulu, maka semesta akan merespon balik dengan caranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H