Mohon tunggu...
Millah Nur Chanifah
Millah Nur Chanifah Mohon Tunggu... Lainnya - learner

Compilation of thought

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengembara di Bumi Allah

11 Juli 2024   13:31 Diperbarui: 2 Agustus 2024   23:33 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Rinjani. Hari ini adalah hari ke 14 aku tinggal nun jauh dari kampong. Rantau ternyata lelah sangat. Tak ado tempat aku bisa pulang mengaduh. Gilap ibukota disini banyak bohong sembunyikan kesepian. Mak, negeri ini memang canggih sekali. Tak ado gerobak sapi yang lalu lalang di aspal halus yang lebar sangat. 

Bahkan, di pinggiran Djakarta pun pernah sekali kulihat ada peternak sapi. Tapi, di negara ini, sudut ke sudut hanya ada mesin-mesin yang berdesing lalu lalang. Trem kereta berdesain sangat kuno dan antik, tapi tak sepucuk asap pun mengepul keluar dari mesinnya. Nyaris tak ado suara yang keluar dari trem-trem canggih yang ternyata semua mesin eco nya bersertipikat aman dari merusak bumi.

Penduduk disini berbadan tinggi tegap, rambutnya kebanyakan ikal meskipun kulit mereka putih. Kulihat dari hari pertama tak jumpa pun itu hidung pesek, semua mancung macam bule-bule penonton bola yang sering ku tengok di tv Kakek Muslim. Mereka lebih mirip orang-orang dalam gambar buku filsafat macam Aristoteles, Socrates, dan Plato, atau memang karena dari sini lah darah leluhur mereka berasal.

Aku amat tertarik mempelajari filsafat. Satu tahun lalu, aku mulai mengamati bagaimana warga kampong menjalani kehidupan mereka yang sangat terikat pada musholla berbentuk surau reyot di pematang sawah milik dusun kami. 

Ku tulis ceritaku dalam 100 lembar catatan tentang keseharian warga dari subuh hingga sepertiga malam di surau, bagaimana warga menghidupkannya, dan bagaimana kebiasaan itu ternyata banyak membentuk spiritualitas kami. Aku kirimkan tulisan itu sebagai bahan bakar mendaftar beasiswa kuliah ilmu filsafat, dan disinilah aku sekarang. 

Mak, rupanya tak perlu berlama waktu untuk membuktikan bahwa semua buku yang telah kulahap sebelumnya tidak ada apa-apanya. Semakin hari semakin terasa bodoh dan kosong.  Negara ini hingar dan disiplin, semua orang punya kotak nya masing-masing dan tak boleh saling ganggu. Di dekat stasiun ujung, ada taman kota kecil dengan danau buatan bening penuh ikan-ikan hias dan dikelilingi pohon sakura. Entah bagaimana sakura bisa tumbuh di negara ini, namun disinilah spot favoritku banyak habiskan waktu cuma untuk duduk dan membaca buku. 

Warga disini berjalan bak pakai kacamata kuda, mata mereka selalu fokus kedepan tak banyak tolah toleh. Ramai nian kalau sudah waktu sore lepas ashar. Sama seperti keramaian surau bubaran mengaji. Namun bedanya, matahari disini redup dan hampir tak pernah terik. Sedihnya, disini tak pernah ku dengar adzan. 

Bahkan, sampai hari ini, tak sampai 5 orang kutemui dalam dua minggu ini yang memakai hijab. Tapi, tahukah apa yang membuat gusar tiap detikku? Tentu saja wejangan-wejangan Kakek Muslim. Aku merasakan ini sebagai fenomena yang aneh, karena baru sekaranglah semuanya terasa nyata.

Walau bagian dari kelompok kecil, lucunya aku justru merasakan kedamaian yang lain. Tak kubayangkan sebelumnya, disini baru 3 kali aku pergi ke masjid. Jauh kali jarak masjid terdekat. Butuh 4 jam naik bus dan bergonta ganti trem untuk bisa sampai kesana. Ada satu mushola kecil milik pedagang arab yang boleh dipakai warga muslim sekitar. Sedikit, namun hubungan mereka erat dan penuh empati. Memang magis dan sangat nyata petuah Kakek Muslim. Allah yang kau temui di kampong adalah Allah yang sama saat kau temui di tanah Rantau. Tak ada Mak pun, Allah Mu tetap sama. Benar saja renungan filsuf muslim Ibnu Sina dan Al-Ghazali. 

Dalam kesendirian aku justru lebih banyak datang menemui Allah. Tak ada lagi teori, karena memang ku saksikan dengan kedua mataku bahwa Allah menebarkan rezekinya di seluruh muka bumi, maka berkelanalah untuk menjemputnya. Meskipun, nyatanya dalam perjalanan kelana tersebut, ujian hidup dan kesulitan yang membawa ku lebih dekat pada Allah pada akhirnya terasa lebih baik daripada nikmat yang membuatku lalai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun