Detak jantung Bhineka Tunggal Ika sangat terasa saat melihat sebuah tempat peribadatan masyarakat kristen protestan di kota santri Jombang. Gereja Mojowarno atau disebut sebagai GKJW "Greja Kristen Jawi Wetan" adalah salah satu bukti bersejarah dalam halnya penyebaran agama Kristen di tanah jawa.Â
Gereja ini dibangun pada tahun 1879 dan diresmikan pada tahun 1881. Dalam sejarah keagamaan Kristen Protestan di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari pergumulan-pergumulan antara budaya lokal dengan budaya kolonial Belanda.Â
Banyak kelompok atau persekutuan Kristen Protestan tumbuh dan berkembang dari wilayah pedesaan, salah satunya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang tumbuh dan berkembang dari wilayah pedesaan Mojowarno (Santoso, 2013). Mojowarno berasal dari kata "mojo" karena dekat dengan dekat pusat kerajaan majapahit dan "warno" karena penghuninya terdiri dari berbagai daerah dan latar sosial budaya yang beragam.Â
Terdapat Kekristenan (Protestan) dengan pendekatan budaya Jawa dan didorong peran beberapa orang Jawa yang gemar ngelmu (mencari pengetahuan hakiki tentang Tuhan). Pendekatan melalui budaya jawa yakni dari aspek agraris. Mengingat masyarakat Jombang saat itu mata pencahariannya adalah berkebun. Tokoh penyiar agama Kristen Jawa yang paling fenomenal adalah Kiai Sadrach yang menjadi kiai Protestan dalam kandungan budaya Jawa, bebas dan mandiri dalam menyiarkan agamanya (Abdullah dan Lapian, Eds., 2012:210).Â
Selain itu terdapat Kristen model Eropa (Belanda). Tokoh-tokoh yang memiliki peran yakni Jellesma sebagai pendeta dan penginjil pertama yang datang ke Surabaya pada tahun 1847. Butuh waktu tiga tahun ia untuk mendapat izin dari pemerintah Belanda agar dapat melayani di sebuah desa Kristen yang sudah eksis bernama Mojowarno, Jombang. Dalam praktiknya, kerja-kerja Jellesma justru ditujukan untuk memelihara dan mempertebal keimanan orang-orang Kristen ketimbang mengkristenkan orang Jawa, dan Coolen salah satu tokoh lokal dari Ngoro.Â
Peribadatan di gereja ini pun dilaksanakan menggunakan bahasa jawa untuk jemaat dewasa yang dapat memahami bahasa dalam menyampaikan pesan-pesan agama, sedangkan jemaat usia anak-anak hingga remaja biasanya lebih memilih mengikuti peribadatan yang menggunakan Bahasa Indonesia. Perbedaannya terletak pada waktu pelaksanaan, untuk peribadatan Bahasa Jawa dilaksankan pada siang hari khusus jemaat dewasa, sedangkan peribadatan Bahasa Indonesia dilaksanakan pada pagi hari usia balita sampai 16 tahun.Â
Tampak depan gereja tepatnya di gewel atas terdapat tulisan dengan huruf Jawa yang berbunyi "Dhuh Gusti, ingkang kawula purugi sinten malih? Paduka ingkang kagungan pangandikaning gesang langgeng." Artinya "Ya Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Hanya Tuhan saja yang menaruh perkataan hidup yang kekal. Â Salah satu kebiasaan atau adat yang menjadi akulturasi antara agama dan adat (penyesuaian antara adat jawa-agraris alkitab/kekristenan) jawa yakni Riyaya Undhuh-undhuh.Â
Riyaya Undhuh-undhuh sebagai bentuk bersyukur masyarakat jawa kepada tuhan atas hasil panen, mengingat mata pencaharian masyarakat Jombang adalah disektor agraris atau pertanian. Kata unduh-unduh berasal dari awa disebut ngunduh, yang jika diterjemahkan berarti memetik atau memanen. Pada perayaan Undhuh-undhuh yang menjadi ciri khasnya adalah , jemaat pria berdandan pakaian adat Jawa berupa kain lurik dan udeng atau ikat kepala. Sedangkan yang wanita berbalut kebaya, mirip seperti petani di sawah. Gereja ini terlihat bercorak Eropa, namun di dalamnya masih melestarikan kebudayaan Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H