Mohon tunggu...
Rinaldi Reza
Rinaldi Reza Mohon Tunggu... -

Hidup itu pilihan. Setiap pilihan mengandung konsekuensi. Pilihlah yang terbaik dan jalanilah dengan Ikhlas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mahalnya Harga Sebuah Laporan Keuangan di Pemda

24 Maret 2015   11:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:08 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 pasal 2 ayat 2 menyebutkan bahwa Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “efisien” memiliki arti tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dng tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya) sedangkan “ekonomis” memiliki arti bersifat hati-hati dl pengeluaran uang, penggunaan barang, bahasa, waktu; tidak boros; hemat. Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pengelolaan keuangan daerah, sebagaimana amanat UU nomor 17 tahun 2003, sudah seharusnya dilaksanakan secara efisien dan ekonomis. Namun, sepertinya amanat UU ini sulit sekali dilaksanakan.

Saya beri contoh, beberapa saat yang lalu, sorotan publik tertuju kepada kisruh APBD DKI Jakarta 2015 antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki T.P dengan DPRD Prov Jakarta. Yang paling terkenal adalah pengadaan UPS yang harga satu buahnya sampai miliaran rupiah. Ada pengadaan alat fitness untuk sekolah, pengadaan buku dan lainnya. Namun, hampir tidak ada yang mempertanyakan kegiatan “Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta” yang nilainya Rp1.956.474.360 atau hampir 2 miliar yang terdiri dari belanja barang dan jasa sebesar Rp1.956.474.360. Anggaran ini melekat pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Jika dibandingkan dengan Anggaran tahun 2013, nilainya secara total tidak berbeda jauh. Pada tahun 2013, kegiatan “Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah DKI Jakarta” terbagi dalam 2 kegiatan, Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah DKI Jakarta 2012 Audited dan Unaudited dengan total anggaran Rp1.800.000.000, masing-masing Rp900.000.000.

Namun, jika melihat rincian belanja, pada tahun 2013, anggaran Rp1.800.000.000 itu terbagi dalam 2 jenis belanja, yaitu belanja pegawai yang berisi honorarium yang nilainya Rp549.000.000 dan Rp602.000.000 sehingga total untuk honorarium adalah sebesar Rp1.151.000.000. atau 63% isinya honorarium. Sisanya adalah belanja barang dan jasa berupa penggandaan, ATK, sewa tempat dan lainnya atau sekitar Rp649.000.000. Jika dibandingkan dengan anggaran tahun 2015, yang seluruhnya adalah belanja barang dan jasa, maka terjadi kenaikan sekitar 300% dari anggaran tahun 2013 “hanya” untuk kegiatan Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah DKI Jakarta. Jelas ini adalah potensi pemborosan. Logika sederhananya, jika honorarium untuk tahun 2015 sudah dihapuskan, sehingga tersisa belanja barang dan jasa saja, seharusnya anggaran tidak melebihi Rp1.000.000.000 dengan asumsi kenaikan adanya dari 2013. Saya curiga, ditengah tahun anggaran dilakukan revisi mata anggaran, sehingga belanja barang dan jasa tersebut di split menjadi belanja pegawai.

Lain di DKI lain pula di daerah lain. Di Dinas Kominfo Provinsi Riau pada tahun 2015, pembuatan laporan keuangan dilakukan 2 kali dalam setahun. Penyusunan Laporan Keuangan Semesteran dengan kode kegiatan 1.25.1.25.01.06.02 dan Penyusunan Keuangan Akhir Tahun dengan kode kegiatan 1.25.1.25.01.06.04.. Masing masing dianggarkan Rp35.000.000. Jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, ini mah “recehan”. Namun kalau dibedah sampai ke rincian belanja, terlihat beberapa belanja yang tidak masuk akal. Antara lain, belanja perjalanan dinas dan belanja penggandaan. Belanja Perjalanan Dinas dilakukan ke Jakarta di masing-masing kegiatan. Entah apa kepentingan perjalanan dinas ke jakarta dengan pembuatan laporan keuangan yang bisa dilakukan di kantor. Butuh konsultasi dengan kementerian di pusat? Ya tinggal telpon. Laporan perlu disampaikan ke pusat? Ya tinggal kirim pake pos saja. Hal simpel yang dibuat ribet. Ada lagi belanja cetak laporan dengan nilai satuan Rp250.000 dengan kuantitas hingga 50 buah. Laporan keuangan setingkat dinas, tebalnya tidak lebih dari 20 halaman. Dan jumlahnya, paling banter 10 buah, 1 untuk kepala daerah, 1 untuk inspektorat daerah, 1 untuk BPKAD, sisanya arsip.

Apa yang terjadi di 2 daerah diatas, bisa diyakini, terjadi juga di daerah lain. Anggaran dihabis-habiskan untuk membuat laporan keuangan. Saya tidak tahu berapa biaya pembuatan laporan keuangan di swasta, namun menurut saya, apa yang terjadi di pemerintahan tidak masuk akal. Tidak masuk akal karena rincian biaya untuk menyusunnya sangat mengada-ada. Karena keterbatasan data, saya hanya bisa menyajikan contoh dari 2 daerah saja. Keterbatasan, sebab pemerintah daerah masih “malu-malu” merilis rincian DPA setiap SKPD nya. Sebab, Mendagri tidak sempat mendesak Pemda untuk merilisnya. Sebab, masih sibuk mengurus anggaran 1 triliun untuk partai politik.

Wassalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun