Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Tulis

Baca, Tulis, Hitung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Rekonsiliasi Pilpres Lewat Pemilu KPK

30 Juli 2019   19:18 Diperbarui: 30 Juli 2019   20:36 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tribunnews.com

Mencari Panglima yang akan memimpin KPK dalam melakukan perlawanan terhadap kasus korupsi memang bukan perkara yang mudah. Perlu sebuah komitmen yang tegas dan integritas yang kuat untuk mencari sosok yang betul-betul mampu menjadi pelopor di garda terdepan dalam perlawanan korupsi.  Panitia Seleksi Calon Pemimpin KPK (Pansel Capim KPK), kini sedang menjalani tugas berat tersebut.

Tapi alih-alih menunjukkan sebuah sikap yang cermat dalam menyaring setiap kandidat yang akan menduduki posisi penting di KPK, Pansel Capim KPK terlihat kecolongan. Pansel Capim KPK dinilai tidak cermat sebab meloloskan dua orang dengan rekam jejak yang kurang baik. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengungkapkan, terdapat dua calon pimpinan KPK yang pernah membela menjadi kuasa hukum terdakwa kasus korupsi. Keduanya hingga saat ini masih mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. 

Kedua orang yang memiliki rekam jejak tercemar dalam perlawan terhadapo korupsi tersebut adalah Chairil Syah pernah menjadi kuasa hukum dari terdakwa kasus korupsi Djasno bin Wakiman. Kasus tersebut terkait dengan kepengurusan sertifikat lahan warga transmigrasi di Desa Surya Karta, Sumatera Selatan. Dedy Irwansyah Arruanpitu. Dedy diketahui pernah menjadi penasihat hukum Chandra Antonio Tan, tersangka kasus dugaan suap terkait alih fungsi hutan lindung Air Telang untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api.

Bagaimana mungkin Pansel Capim KPK bisa kecolongan sampai seperti itu, dua  Capim KPK pernah membela tersangka korupsi. Memang secara KUHP hal tersebut bukanlah sesuatu yang melanggar hukum, tapi tentu nurani dan akal sehat kita pasti terusik dengan kondisi tersebut. Apa akan jadinya nanti jika dia sampai terpilih, boleh jadi akan ada sebuah konflik kepentingan yang akan berkembang dikemudian hari, juga bisa makin kendur pasti peperangan melawan korupsi Indonesia nanti.Wajar jika Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengungkapkan kekecewaan terhadap Pansel Capim KPK. Pansel Capim KPK dinilai tidak mampu mejaga kredibilitas dan integritasnya. Sikap itu jelas akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap Pemimpin KPK yang akan dihasilkan oleh Pansel Capim KPK nantinya.  

Rizal Ramli bahkan secara tajam mengkritik kinerja Pansel Capim KPK yang tidak meloloskan Natalius Pigai yang dinilai punya komitmen tegas dan kuat terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di tanah air. Menurutnya kondisi tersebut akan menimbulkan sikap pesimistik terhadap penegakan hukum dan korupsi di tengah masyarakat jika Pansel Capim KPK tidak bekerja secara baik dan benar dalam menjaring calon pimpinan KPK tidak secara profesional. 

Rizal meyakini pimpinan lembaga antirasuah  yang terpilih kelak tidak berkredibel. Bisa jadi, sambung Rizal, pimpinan KPK tersebut memiliki rekam jejak yang tidak bagus. Atau memang ada unsur pemilihan Capim KPK yang rekam jejaknya tidak betul-betul bersih agar dapat disandera oleh kasus hukum Capim tersebut. "Ada memang pola pikir agar pejabat publik 'dipilih' yang bermasalah. Supaya bisa disandera. Contohnya, si X ketua lembaga negara dan lain-lain. Sehingga bisa diatur bagaikan 'kerbau yang dicocok hidungnya'. Boro-boro "merit system". Ini pola pikir yang sangat berbahaya dan menghancurkan Republik," ujar Rizal, Jumat, 12 Juli 2019.

Masyarakat Sipil Antikorupsi melihat ada upaya pemerintah menutupi Keputusan Presiden (Keppres) mengenai Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Keppres nomor 54/P Tahun 2019 itu sulit diakses. Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nelson Nikodemus Simamora mengaku sudah meminta akses Keppres tersebut pada 10 Juli 2019, namun ditolak Sekretariat Negara (Setneg). Apa yang sedang dimainkan oleh Pemerintah, sehingga bungkan ketika ditanya soal transparansi dalam proses seleksi Capim KPK. 

Ada trasaksi atau lobi politiskah yang sedang sedang berlangsung dalam pemilihan ketua Lembaga Antirasauh? Pasca momen rekonsiliasi bertemunya Prabowo Subianto dan Joko Widodo, yang diinisiatori oleh Kepala BIN Budi Gunawan jelas menunjukkan pemerintah ke depan tengah di atas angin. Kekuatan politik Prabowo Subianto, Joko Widodo dan Budi Gunawan jelas sangat kuat signifikansinya dalam Pansel Capim KPK, untuk menentukan siapa yang pantas memimpin perlawanan terhadap korupsi di KPK.

Tetapi dibalik kekuatan itu semua, potensi sandungan yang dapat mengganjal dan menghilangkan kredibilitas Pansel Capim KPK tetap ada. Terdapat Kasus Novel Baswedan yang siap menjadi bola panas yang membakar krededibilitas Capim Pansel KPK dengan cara mengunci langkah gerak Presiden Joko Widodo. Joko Widodo akan ditagih penuntasan Kasus Novel terlebih dahulu, sebeblum dirinya menentukan siapa yang cocok untuk memimpin KPK selanjutnya.

Dalam tarikan ketegangan Kasus Novel Baswedan, isu Polisi Taliban jelas akan kembali menguat. Polisi Taliban akan memiliki ruang yang lebih leluasa ketika Pansel Capim KPK kehilangan kredibilitasnya. Jika hal tersebut terjadi, sirna sudah usaha BIN dan BNPT dalam menghadap gerbong Polisi Taliban yang dinilai memiliki potensi mengembangkan paham Radikal dalam tubuh KPK. Polisi Taliban akan mengambil keuntungan dari mosi tidak percaya yang berkembang di masyarakat terhadap Pansel Capim KPK.

Sumber:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun