Dalam sesi debat Calon Presiden (Capres) 2019 debat putaran terakhir, Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menyinggung rendahnya rasio pajak Indonesia yakni sekitar 10%-11%. Rendahnya rasio pajak diakui oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama. Dari penuturannya, rasio pajak Indonesia saat ini jika dibandingkan beberapa negara tetangga tergolong cukup rendah. Tak hanya itu, rendahnya kemampuan pemerintah dalam memungut pajak saat ini juga lebih rendah daripada era Orde Baru.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan rasio pajak dalam arti sempit pada 2018 sebesar 10,5%. Sementara jika menilik pada tahun 2014, masa transisi pemerintahan saat ini, rasio pajak ada di angka 10,85%. Ini berarti persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami penurunan. Perlu untuk diketahui jika pajak adalah penerimaan utama negara hingga saat ini. Penerimaan pajak sebesar Rp160,8 triliun per Februari 2019 menyumbang 74,03 persen dari penerimaan sebesar Rp217,2 triliun.
Sehingga, jumlah belanja negara tentu juga dipengaruhi oleh hasil pungutan pajak. Akselerasi pembangunan tentunya akan terganggu jika penerimaan tersendat. Alhasil, pemerintah kembali menerbitkan hutang untuk membiayai pembangunan yang digenjot secara masif.
Maka dari itu, Prabowo menjanjikan jika dirinya terpilih sebagai presiden maka rasio pajak akan dinaikkan menjadi 16 persen. Di hadapan lawannya tersebut, dia mengungkapkan pendapatan negara yang seharusnya diterima mencapai Rp4.000 triliun. Namun, merujuk pada pernyataan salah satu anggota komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diterima hanya di kisaran Rp2.000 triliun.
Apabila rasio tersebut bisa terpenuhi, maka negara dapat memperbaiki besaran gaji dan kualitas hidup aparat negara sebagai pelayan rakyat. Selain itu, anggaran yang masuk ini juga akan digenjot untuk mengembangkan teknologi informatika dan single identitiy card, satu kartu cukup untuk kesejahteraan rakyat.
Salah satu upaya untuk menaikkan rasio pajak, kata Prabowo yaitu dengan memaksimalkan penggunaan teknologi bagi pemerintahan. Hal ini sebagai salah satu upaya transparansi dalam aspek kinerja pemerintahan. Beliau mengakui jika sistem dan teknologi yang sudah diterapkan saat ini sebenarnya baik, akan tetapi tujuannya tidak jelas. Jika sistem tersebut disertai dengan tujuan yang baik, pemerintah yang efektif dan bersih dari korupsi, akan menjadi senjata efektif untuk meningkatkan kembali rasio pajak.
Sementara itu, pasangan calon Sandiaga Uno menimpali, timnya juga akan menginisiasi pembentukan Badan Penerimaan Negara yang terpisah dengan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Saat ini, Ditjen Pajak beserta badan penerimaan negara semuanya berada di bawah Kementerian Keuangan. Nantinya Badan Penerimaan Negara tersebut akan berada di bawah Presiden secara langsung. Dalam pertimbangannya, hal tersebut dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia cukup signifikan.
Selain itu, dalam tahap awal, pemerintahannya akan memangkas pajak perorangan sehingga masyarakat memiliki dana yang lebih untuk keperluan konsumsi. Pemangkasan pajak perorangan dilakukan dengan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Saat ini PTKP bagi wajib pajak sebesar Rp 54 juta, jika batas tersbut dinaikkan tentunya Pajak Penghasilan (PPh) pribadi bisa berkurang.
Selanjutnya, peningkatan PTKP akan diikuti pelan-pelan pada tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi korporasi atau badan usaha yang saat ini berada di angka 25%. Sandiaga mengatakan kebijakan pajak ini merupakan bagian dari penciptaan pajak bagi pembangunan. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 16 persen dari posisi saat ini 11,5 persen.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun membenarkan jika ada korelasi antara penurunan tarif PPh dengan investasi. Sebab, sesuai teorinya, ada kemungkinan bagian pendapatan perusahaan yang seharusnya disetor untuk pajak bisa digunakan perusahaan untuk ekspansi usaha atau reinvestasi. Namun, dirinya mengingatkan untuk penurunan tarif pajak yang efektif tetap harus dihitung agar tak membebani defisit APBN.