Miskin. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang ingin miskin. Jika sejak lahir ataupun didalam rahim seseorang itu disuruh memilih ingin miskin atau kaya. Persentase akan menunjukkan 99,9% akan memilih “kaya”. Miskin, berarti keuangan menjerit,maka kebutuhan akan ikut melilit. Kenapa tidak, dengan materi yang berlimpah, minimal 50% kebutuhan penting untuk kelangsunga hidup manusia itu, dengan mudah bisa dipenuhi. Namun salah satu di dunia ini yang tidak dapat dibeli dengan uang adalah “kesehatan”.Ya, kesehatan adalah segalanya.
Kesehatan adalah sumber daya bagi kehidupan sehari-hari, bukan tujuan dari kehidupan, suatu keadaan fisik, mental, dan social yang tidak hanya berarti suatu keadaan yang bebas dari penyakit dan kecacatan (WHO, 1948). Menjadi sehat adalah sesuatu yang sangat berharga, mahal, bernilai, dan tidak bisa dipinjam apalagi dibeli, di manapun di dunia ini. Namun, fakta berbicara bahwa, di Negara yang majemuk ini, dengan segala dinamika dan problema kehidupan yang silih berganti terjadi, uang memang tidak dapat membeli “kesehatan” namun dapat menjadi Golden Gate Bridge-nya . Artinya, akan banyak keistimewaan menjadi orang yang berkecukupan. Pelayanan dari jasa yang diinginkan akan maksimal dan sangat diutamakan. Terutama yang terjadi di beberapa rumah sakit di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan orang yang berada dibawah garis kemiskinan alias orang yang sedikit asing dengan uang di Negara yang memiliki sumberdaya alam terkaya kelima didunia ini ?. Apakah sama dengan mereka yang finansialnya tinggi?. Exactly, no !. Sudah menjadi rahasia umum, dan bahkan bukanlah sebuah rahasia, jikalau memang ada ketumpangtindian. Orang kaya, akan cepat dilayani dan ditangani, sedangkan yang miskin akan dibentengi dengan masalah administrasi yang berbelit dan berlipat. Padahal, dalam Undang-Undang no. 44 tahun 2009 pasal 6 dinyatakan bahwa menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, aplikasinya dilapangan malah terdengar istilah “no money, on service” .
Sekali lagi, Ironisnya bangsaku. Masih terpatri di ingatan kita, bagi yang pernah mendengar berita tentang bayi imut dan mungil sekaligus malang, yang meninggal dunia di usia 7 hari, Sabtu 16 Februari 2013 di Jakarta akibat penyakit gangguan saluran pernapasan. Ya, bayi Dera yang telah di tolak oleh 10 rumah sakit yang telah didatangi Ayah dan Kakeknya. Alasan rumah sakit yang di datangi, ada yang mengatakan “rumah sakit penuh, ketidakadaan alat yang sesuai untuk penyakit yang diderita ” , bahkan ada yang meminta uang muka terlebih dahulu ataupun keharusan untuk melengkapi berkas-berkas sebelum menerima penanganan, padahal pasien sudah sekarat. Hal inilah yang menjadi beberapa penyebab derajat kesehatan masyarakat di Indonesia masih rendah karena kasus penelantaran pasien dengan alasan prosedur yang harus diikuti dengan benar. Akibatnya angka kematian penduduk akan meningkat. Dan masih banyak lagi kasus yang serupa.
Spontan terkejut ketika diketahui kasus penelantaran, ketidakpedulian dan “pembuangan” pasien itu datang dari suatu Negara yang mengaku beragama. Adilkah negara kita , wahai kawan ?. Orang kaya yang dilayani dengan maksimal terkadang lebih memilih untuk melakukan pengobatan di luar negeri di bandingkan di lndonesia. Sedangkan rakyat miskin, harus merasakan kepedihan dan ketidakadilan menghadapi system pelayanan kesehatan di Negara sendiri, karena tidak memiliki apapun untuk menunjang suatu alternatif. “Hujan emas dinegara orang, hujan batu dinegara sendiri”. Sungguh tragis. Sehingga ada semboyan tersendiri bagi mereka bahwa “ orang miskin itu, tidak boleh sakit”.
Namun, tidak sepenuhnya kesalahan itu, jatuh palu pada orang yang mengoperasionalkan pelayan. Karena terkadang juga terjadi kasus ketidakseimbangan rasio antara jumlah paramedic dengan pasien yang bejibun, terbatasnya sarana dan prasarana rumah sakit, dan masih kecilnya tunjangan daerah bagi pegawai rumah sakit. Sehingga akan menjadi penghambatpeningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Sekarang, siapakah yang harus dan paling bertanggung jawab dalam hal ini ?. Mungkin tidak akan salah jika kita melirik sedikit ke arah pemerintah . Ya, kepada siapa lagi kita menyalurkan aspirasi begitu pula meminta pertanggungjawaban kecuali kepada mereka. Nah, saatnya kita mengklarifikasi dan menanyakan dengan serius, bagaimana dengan nasib “orang miskin” ??.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H