Mohon tunggu...
Meilia Ulfah
Meilia Ulfah Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Ekonomi yang ingin menanamkan karakter sesuai pancasila, agama, dan budaya bangsa kepada anak-anak melalui Dongeng....

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Cangkir

16 November 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:06 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disebuah rumah yang mewah, terlihat aktifitas yang sangat sibuk. Banyak orang berseragam sibuk menata piring, gelas serta makanan. Ya... sebuah pesta besar sedang digelar. Semuanya terlihat senang. Pemilik rumah yang merasa puas dengan persiapan pesta yang meriah, pelayanpun ikut senang karena dapat tambahan gaji, begitu pula para perkakas dapur yang ikut digunakan di pesta tersebut. Adalah suatu kebanggaan bagi para perkakas dapur. Ibu Teflon dan sepatula yang menari karena digunakan untuk memasak hidangan istimewa. Begitu pula dengan para Om Panci besar yang digunakan untuk merebus daging super. Tante oven yang kegirangan karena berhasil mematangkan kue dengan sempurna.Para gelas, sendok, dan piring yang dibariskan rapih oleh Komandan teko yang kelihatan gagah.

“Wah, aku gugup,” Ujar salah satu gelas.

“Huhahuha,” para cangkir melakukan pemanasan agar siap menampung the panas dari teko.

“Ayo, baris yang rapih kawan!” Ujar komandan teko semangat.

“Berhitung! Mulai!” Kata komandan teko tegas.

Para cangkir, gelas, serta sendok mulai berhitung. Semua tampak gugup untuk tugas hari ini. Namun, ada sebuah cangkir yang tak menampakan senyumnya. Dia disimpan dalam selimut debu di lemari. Ia, hanya bisa melihat aktifitas yang ramai diluar sana, senyum yang memancar dari wajah teman-temannya diluar sana.

“Huhft, kenapa aku tak diberi kesempatan?” Gumam cagkir itu.

“Matang,” Teriak tante oven.

“Emm, perfecto!” Kata salah satu pelayan.

“Jimmy, Jemmo, Jerro, Jessy, Janney,” Absen Komandan teko untuk kedua kalinya.

“Hadir, kapten,” Jawab mereka serempak.

Pinno sang cangkir hanya bisa memandang iri atas apa yang mereka lakukan. AAndaikan teman – temanya tidak pecah, mungkin ia juga berada di sana.

“Satu, dua, satu, dua,” Kata pinno mencoba menyibukan diri.

“Hai Pinno!” sapa Lody si piring teko.

“Hei, kau tak ke pesta?” Tanya Pinno

“Aku baru saja di bersihkan. Kali ini aku dan teman-teman dimasukan dalam daftar cadangan. Kami akan di pakai jika pasukan disana sudah habis,” Kata Lody anggun.

“Kau sendiri Pinno?” Tanya teman Lody.

“Ehh, aku… aku…,”

“Sutttt, ada orang diam semua,”

Lemari itu dibuka dan sebuah tangan menjulur mencari sesuatu. Dan Pinno terkejut saat pelayan itu mengambil dirinya. Apakah maksudnya? Apa mungkin dia akan ikut pesta?. Semoga. Sang pelayan menuangkan air mineral ke Pino.

“Kenapa hanya air mineral?” Tanya Pinno dalam hati.

Lalu pelayan itu berjalan menuju taman dimana pesta itu berlangsung. Satu – persatu orang di pesta itu dilewati. Bahkan Pinno juga dengan jelas melihat teman – temannya yang sudah bertugas dari tadi.

“Aku menyusul kawan,” Kata Pinno dalam hati.

Namun, kenapa pelayan itu masih tetap berjalan. Bukankah tempat pesta sudah dilewati. Pinno hanya bisa diam dengan seribu pertanyaan kemana ia akan dibawa. Sebuah halaman luaspun ia lihat.

“Ini pa, kami hanya bisa member sepotong roti dan secangkir air mineral,” Kata pelayan sambil memberikan Pinno yang menampung air mineral dan sepotong roti.

“Terimakasih, semoga tuhan melindungi kalian,” Kata pengemis tua.

Pinno terkeut setengah mati. Kenapa ia dijadikan tempat minum untuk pengemis. Bukankah seharusnya ia seperti teman – temannya di pesta. Pinno pun sebal setengah mati.

“Ini cangkirnya, terimakasih” Ujar pengemis tua sambil menyerahkan cangkir ke pelayan.

Sang pelayan segera kembali ke tugasnya. Melewati taman tempat pesta serta tamu – tamu. Pinno melihat teman – temanya yang mulai bertugas. Bahkanl Lodypun sudah bergabung di tengah pesta.

“Ayo, berhenti taruh aku disi,” Teriak Pinno.

Namun pelayan itu membawa Pinno menuju ruang kosong dekat tempat samapah.

“Hei, kenapa kau taruh aku disini? Ini bukan tempatku,” Teriak Pinno.

“Hei!” Pinno berteriak lagi.

Pinno marah bukan kepalang. Ia merasa direndahkan. Harga dirimya hilang karena digunakan untuk minum pengemis tua.

“Hei,Pinno, itukah kau?” Tanya sebuah teko yang tak utuh.

“Jo, itu kau?”

“Apa kabar sobat?Kenapa kau disini?

Lalu dengan nada kesal dan setelah dipaksa Pinno menceritakannya. Dan Jo si teko hanya tersenyum kecut.

“Sobat, kau masih beruntung. Kau masih berguna. Coba bayangkan kalau tidak ada kau. Taka ada tempat untuk meletakan air. Jika tidak ada untuk tempat air, bagaimana pengemis tua itu akan minum? Dan jika tidak minum mungkin pengemis itu sudah mati kehausan. Bukankah kau masih berguna? Dan memang itulah fungsimu sebagai cangkir. Sebagai temapat air untuk diminum manusia, iya kan?” Kta Jo teko bijak.

“Hemmm, tapi aku tidak suka,” Pinno masih sebal.

“Pinno, lihat aku. Disbanding aku bukankah kau masih lebih beruntung?. Aku sudah tidak bisa menampung air. Jangankan untuk menampung air untuk para cendekiawan, untuk pengemis tuapun aku tak layak. Pinno, kita diciptakan untuk menampung air, agar diminum manusia. Bukan sebagai pajangan di alamri dan dijadikan koleksi. Dan soal berada ditengah pesta itu hanya bonus,” Kata Jo dengan santai.

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun