Perang Setelah Perang
Sebuah Tanggapan Mengenai Naskah Drama Satu Babak “Gerbong”, Agam Wispi
Indonesia berdaulat untuk menentukan keputusan bagi rakyatnya sendiri setelah proklamasi RI oleh Bung Karno pada tahun 1945. Peperangan dinyatakan selesai setelah sang merah putih berkibar di tanah air Indonesia. Katanya merdeka, katanya bebas, katanya terlepas. Benar, bangsa Indonesia terlepas dari segala bentuk penjajahan yang dilakukan Belanda selama 350 tahun dan yang dilakukan Jepang selama 3,5 tahun.
Perang terhadap penjajahan telah usai, bambu runcing tidak lagi dijadikan senjata untuk melawan para penjajah. Teriakan ketakutan terhadap tembakan dan kematian karena peperangan diistirahatkan. Ada yang tersisa, sisa sehabis perang melawan penjajahan, yaitu kemiskinan, kehilangan sanak keluarga, kehilangan harta benda bahkan kehilangan waktu untuk merasakan hidup dalam kecukupan.
Pengertian kemerdekaan yang hanya dikaitkan dengan kebebasan setelah penjajahan saja bagi saya terlalu sempit. Merdeka adalah bebas (2008:904). Artinya setiap orang yang dinyatakan merdeka adalah orang yang tidak terkekang, baik oleh keadaan dari dalam maupun luar kehidupan mereka.
Bila kemerdekaan adalah segala sesuatu yang bebas, lepas, tidak terikat, rasa-rasanya perlu dipertimbangkan kembali bagaimana arti kemerdekaan bagi para korban setelah perang. Kemerdekaan yang mengatasnamakan keseluruhan bangsa Indonesia ternyata belum terasa oleh seluruh bangsa Indonesia. Indonesia merdeka, bebas dan lepas dari bangsa penjajah, tetapi belum merdeka dari nasib kemiskinan.
Kemerdekaan tercipta karena perang telah usai. Selama perang belum usai, kemerdekaan adalah bagian yang masih belum digenggam. Indonesia merdeka dari penjajahan karena Indonesia telah usai melawan penjajah. Namun, Indonesia belum usai melawan kemiskinan maka Indonesia belum merdeka dari kemiskinan.
Akan ada perang setelah perang karena perang belum usai, begitu bagi saya. Bukan hanya luka, tembakan, kesakitan, dan darah saja yang dapat dikatakan sebagai bagian dari perang. Tetapi, ada yang lebih dari sekedar itu. Perang terhadap keterlenaan adalah perang yang mungkin dapat dikatakan sebagai perang yang rumit.
Ketika kenikmatan hidup didapatkan manusia, di mata saya, manusia bisa melupakan bagaimana realita yang ada di sekitarnya. Saya berpendapat bahwa kehidupan yang bermakna adalah ketika orang mampu membagi kenikmatan hidup yang dirasakan dengan mereka yang tidak mampu merasakan kenikmatan yang sama. Jadi, ketika masih ada mereka yang mengemis nasib baik, perang sama sekali belum usai. Atau bahkan memang tidak akan usai.
Mengutip ucapan Putu Wijaya dalam monolognya yang berjudul “Merdeka”:
“kalau kita merdeka tidak berarti bahwa kita sama sekali akan terbebas dari kemiskinan. Agus, kalau kita merdeka berarti kita akan sendirian di atas dunia ini, tidak bersuami. Kalau kita merdeka, kita akan berjalan sendirian. Kalau kita jatuh, kita bangun sendirian. Kalau kita sakit, kita bangun sendirian. Kalau kita ingin kaya, kita harus berusaha sendirian. Dan kalau kau ingin bahagia, ingin naik mobil, ingin apa saja, kau harus bekerja, itu artinya kemerdekaan.”
Kemudian Putu Wijaya mengatakan: “Hanya orang-orang yang merdeka yang bisa mengatakan tidak. Orang-orang yang tidak merdeka tidak akan berani mengatakan tidak.”
Indonesia merdeka dari penjajahan semenjak proklamasi di tahun 1945 adalah benar. Indonesia berdaulat untuk menentukan nasibnya sendiri adalah suatu bentuk kemerdekaan, merdeka dari segala bentuk penjajahan yang didapatkan selama hitungan abad dan tahun. Tetapi, Indonesia belum merdeka dari kemiskinan.
Jadi, mengatakan usai pada keseluruhan peperangan adalah bohong. Nyatanya belum dalam semua hal Indonesia merdeka. Perang belum usai, ada perang setelah perang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H