Dalam drama 'Bila Malam Bertambah Malam', Putu Wijaya dengan tajam mengupas lapisan-lapisan masyarakat Bali yang terjerat dalam sistem kasta yang kaku. Melalui konflik antara Gusti Biang, seorang janda bangsawan yang angkuh, dan Nyoman, gadis desa yang setia namun tertindas, Wijaya menggambarkan ketegangan antara tradisi feodal dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Drama ini tidak hanya menyajikan kritik terhadap elitisme dan pengagungan status kebangsawanan, tetapi juga menghadirkan dilema moral yang masih relevan dalam konteks sosial Indonesia modern.Â
Novel ini berpusat pada Gusti Biang, seorang janda bangsawan Bali yang tinggal di sebuah puri bersama Wayan, lelaki tua mantan pejuang, dan Nyoman Niti, gadis desa yang telah mengabdi selama 18 tahun. Konflik utama muncul ketika putra Gusti Biang, Ratu Ngurah, ingin menikahi Nyoman, yang dianggap tidak sederajat. Ketegangan memuncak saat rahasia-rahasia masa lalu terungkap, mengoyak topeng kebangsawanan yang selama ini dipertahankan Gusti Biang. Novel "Bila Malam Bertambah Malam". Ditulis dengan latar belakang masyarakat Bali, novel ini mengangkat isu-isu sensitif seputar sistem kasta dan feodalisme yang masih mengakar kuat. Melalui konflik antar tokoh dan dialog yang tajam, Putu Wijaya menyajikan kritik yang menggugah terhadap struktur sosial yang kaku dan tidak adil. Novel ini bukan sekadar hiburan, melainkan cermin yang memantulkan wajah masyarakat dengan segala ketimpangan dan kontradiksinya.
Berikut analisis novel "Bila Malam Bertambah Malam":
1. Tema utama drama "Bila Malam Bertambah Malam"Â
Tema yang tersorot adalah kritik terhadap sistem kasta dan status sosial yang membelenggu masyarakat. Putu Wijaya dengan cermat menggambarkan bagaimana sistem ini menciptakan jurang pemisah antar manusia dan menimbulkan penderitaan. Hal ini tercermin dalam dialog Gusti Biang:
"Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!"
Kalimat ini menunjukkan bagaimana status sosial dianggap lebih penting daripada nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, karakter Ngurah mewakili generasi baru yang menentang sistem ini:
"Tiyang tidak pernah merasa derajat Tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh Tiyan dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan Tiyang lebih hati-hati." Â Â
Contoh dialog Ngurah:Â
" Sekarang ini soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!