Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang semakin pesat, pendidikan menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan tanpa kehilangan akar budayanya. Di satu sisi, teknologi menawarkan peluang yang hampir tak terbatas untuk memperluas akses, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan mendorong inovasi. Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran akan terkikisnya nilai-nilai lokal dan identitas budaya yang menjadi warisan generasi sebelumnya.
Sebagai seorang anak petani yang tumbuh besar di tengah tradisi dan budaya Pulau Sumba, saya, Daindo Milla, memahami bagaimana kearifan lokal membentuk karakter dan nilai hidup seseorang.Â
Kini, sebagai dosen yang mengajar IPA di Program Studi PGSD Universitas Katolik  Weetebula-Nusa Tenggara Timur sekaligus menjadi Mahasiswa doktoral di Universitas Pendidikan Ghanesa-Bali, saya merasakan tanggung jawab besar untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal ini ke dalam pendidikan modern.
Kearifan Lokal: Akar Pendidikan yang Memberi Makna
Kearifan lokal bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sumber nilai, filosofi, dan strategi hidup yang telah teruji oleh waktu.Â
Misalnya, tradisi tarik batu kubur di Sumba tidak hanya mencerminkan kerja sama dan gotong royong, tetapi juga menyiratkan pelajaran tentang tanggung jawab sosial, keberlanjutan, dan rasa hormat kepada leluhur. Nilai-nilai ini sangat relevan untuk diajarkan dalam pendidikan modern sebagai pondasi karakter generasi muda.
Bagi saya, tumbuh besar di lingkungan yang sarat akan kearifan lokal seperti Pulau Sumba adalah sebuah anugerah. Nilai-nilai itu tidak hanya membentuk perjalanan hidup saya dari seorang anak petani menjadi seorang pendidik, tetapi juga memberi saya panduan dalam menghadapi dunia yang terus berubah.
Teknologi: Jembatan Menuju Masa Depan
Teknologi, di sisi lain, menghadirkan cara baru untuk belajar dan berkreasi. Pembelajaran berbasis teknologi memungkinkan mahasiswa untuk mengeksplorasi dunia di luar batas geografis, mengakses sumber belajar global, dan mengembangkan keterampilan abad ke-21, seperti pemikiran kritis, kolaborasi, dan literasi digital.
Sebagai contoh, dengan menggunakan aplikasi pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning), mahasiswa dapat mendokumentasikan kearifan lokal seperti tarik batu kubur melalui video, animasi, atau infografis. Hal ini tidak hanya membantu melestarikan budaya, tetapi juga mengasah kreativitas mereka dalam memanfaatkan teknologi.
Namun, penggunaan teknologi harus dilakukan dengan bijak. Jangan sampai teknologi menjadi alat yang justru menjauhkan mahasiswa dari nilai-nilai lokal dan kebiasaan kolektif yang penting. Sebaliknya, teknologi harus dimanfaatkan untuk mendukung pelestarian budaya dan memperkaya proses pembelajaran.