Mohon tunggu...
Mila Okviannisa
Mila Okviannisa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yogyakarta Istimewa: Ruang Publik Bebas Sampah Visual

7 Januari 2014   14:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Untuk mencapai kehidupan yang demokratis keberadaan ruang publik (public sphere) mutlak diperlukan. Ruang publik menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dapat berupa Ruang Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka Non Hijau Publik yang secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kota-kota di Indonesia.

Habermas menyebutkan bahwa ruang public (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi atau wahana diskursus masyarakat.  Ruang publik dapat dikatakan sebagai sebuah ekosistem yang diharapkan dapat menjadi ruang tumbuh, ruang berinteraksi dan berkembangnya masyarakat umum secara sehat, produktif demokratis. Ruang public juga dapat  didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya  tanpa  harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement),  public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman  serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan  public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik.

Lantas, adakah yang salah dengan ruang public di sekitar kita?

Bila kita cermati lebih jauh, ruang public kini telah beralih fungsi menjadi media iklan dan promosi. Tak jarang kita jumpai di berbagai tempat di sudut-sudut kota, ruang publik yang seharusnya menjadi ruang untuk menampung aspirasi & kepentingan publik justru menjadi rimba raya iklan-iklan (reklame, baliho, spanduk, umbul-umbul,dll). Di alun-alun, di jalan-jalan, di taman-taman kota, di lahan hijau terbuka, bahkan di papan rambu-rambu lalu lintas dan tiang listrik pun tak luput dari ekspansi iklan-iklan sebuah produk.

Semrawutnya penataan penempatan iklan media luar ruang yang ‘menjajah’ ruang public ini menjelaskan pada kita adanya relasi kuasa. Siapa saja, asal punya kuasa untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang otoritas ruang public—dalam hal ini pemerintah—maka berdirilah kepentingan mereka menghadang pemandangan bebas warga kota. Penempatan iklan media luar ruang, seperti spanduk, umbul-umbul, poster, reklame dan semacamnya di ruang public yang semrawut dan tanpa mengindahkan dimensi estetika lingkungan hanya menimbulkan sampah visual yang hanya menjadi teror visual bagi masyarakat. Perlu diingat bahwa pesan-pesan dalam iklan juga memberikan dampak psikologis bagi masyarakat. Terpaan iklan di segala lini ini sedikit banyak telah merubah perilaku masyarakat Yogyakarta yang dulu dikenal sederhana dan bersahaja kini kian hari kian konsumtif.

Sampah Visual menurut Sumbo Tinurbuko adalah segala sesuatu yang menurut kemampuan kita memandang mengganggu, baik di ruang public, ruang hijau dan cenderung menjadi teroris visual bagi siapapun. Berbagai bentuk sampah visual kini telah berserakan dan bertebaran memenuhi sudut-sudut kota. Hampir tak ada lagi ruang publik yang lolos dari ekspansi iklan. Hal ini membuat kondisi kota semakin kacau & semrawut.

Kesemrawutan ini tentunya mengurangi keindahan kota dan lambat laun akan berimbas juga pada industri pariwisata. Apalagi Yogyakarta yang berlabel “Istimewa”, kesemrawutan ini dapat menciderai keistimewaannya.

Pada hakikatnya, menurut Sumbo inti permasalahan dari carut marut jagat iklan luar ruang ini bersumber pada penentuan titik penempatan dan pola pemasangan yang semrawut dan “penuh kebijakan” dengan menerapkan standar ganda. Pada poin ini, seyogyanya baik pemerintah pusat, provinsi, daerah, dan kota secara tegas menertibkan semrawutnya pemasangan dan penempatan iklan media luar ruang. Apalagi Undang-Undang No.13 tentang Keistimewaan Yogyakarta juga menyebutkan hal-ihwal tentang penataan ruang untuk mewujudkan keistimewaan Yogyakarta. Maka dari itu, sudah seyogyanya dalam penyusunan perda atau perdais, pemerintah Yogyakarta dan DPRD perlu meninjau kembali regulasi mengenai pengelolaan tata ruang hingga ruang public tetap terjaga keindahannya.

Langkah apa yang harus kita perbuat?

Mengutip Sumbo, kini hal pertama yang mendesak dan perlu dilakukan, ialah pemerintah bersama instansi terkait berani menurunkan, membongkar, dan melepaskan iklan luar ruang yang menyalahi peruntukannya berdasar masterplan iklan luar ruang. Kedua, menerapkan sanksi dan hukuman yang sepadan bagi para pihak yang bertugas memasang reklame luar ruang iklan politik apabila diketahui melanggar aturan pemasangan. Ketiga, memberikan sanksi dan hukuman yang adil bagi biro iklan, event organizer,dan pengusaha media luar ruang. Keempat, ada keseragaman perangkat hukum dan kesamaan persepsi terkait dengan penempatan dan pemasangan reklame media luar ruang iklan politik. Dan kelima, peran serta masyarakat yang turut mengawasi dan bila perlu ikut membongkar atau membersihkan lingkungannya dari “terror” iklan luar ruang yang menyalahi koridor atau aturan yang berlaku.

Keberadaan ruang publik yang hijau, teduh, nyaman, dan aman, tanpa mesti “dijajah”  dengan keberadaan iklan-iklan luar ruang yang semrawut sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam proses demokratisasi. Apalagi kini kita menapaki tahun 2014 dimana suhu politik bisa dipastikan akan semakin memanas dalam menghadapi Pemilu 2014. Sudah bisa kita tebak, partai politik dan para politisi akan semakin gencar “berperang” dalam beriklan tidak hanya di media massa, melainkan juga ‘menjajah’ wilayah ruang public. Oleh karena itu, keberadaan regulasi yang mengatur tentang penempatan iklan media luar adalah hal yang mendesak diperlukan. Regulasi tentang tataruang harus secara tegas memperhatikan estetika, kearifan budaya lokal, dan keseimbangan lingkungan untuk mewujudkan Yogyakarta yang istimewa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun