Mohon tunggu...
Milastri Muzakkar
Milastri Muzakkar Mohon Tunggu... -

Menulis aja trus, tentang apa saja. Nggak perlu berat atau serius trus. Seimbang aja. Kenapa? Sebab, dengan menulislah, kebebasan itu betul-betul konkrit.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Didik Kami Korupsi

9 Desember 2013   17:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:08 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Konon, penyakit yang paling berbahaya dan menular saat ini bukan HIV-AIDS, tapi korupsi. Masa sih? Jika melihat pelakunya yang kebanyakan berdasi dan bertitle tinggi serta efek yang diakibatkannya,tampaknya pernyataan itu betul. HIV-AIDS hanya merugikan si pemakai dan orang-orang di sekitarnya, tapi korupsi lebih jauh lagi merugikan seluruh penduduk negaranya.Anehnya lagi, mereka yang melakukan korupsi seolah merasa tak bersalah, malah tetap tersenyum, jalan berlenggok melambaikan tangan, sambil berkilah dengan kalimat pamungkas, “kita lihat saja siapa yang sebenarnya bersalah. Biarkan hukum yang berbicara.” Aneh bin ajaib bukan?

Baiklah, kita lupakan koruptor dari kalangan dewasa dan berdasi. Mari fokuskan kacamata kita pada mereka yang masih kecil, namun sangat berpotensimelakukan hal yang sama dengan mereka yang dewasa. Mereka adalah anak-anak kita, sang generasi pemimpin bangsa.

Pendidikan Mengajarkan Korupsi

Pelajaran apa di bangku sekolah yang mengajarkan korupsi? Secara langsung tidak ada. Tapi coba telusuri proses, kurikulum dan lingkungan yang tercipta di sekolah. Dalam hal kecil, seringkali kita diajarkan untuk korupsi. Mau bukti? Saya ingin cerita pengalaman Abraham Samad, Ketua KPK, sewaktu sekolah dulu. Membawa pulang kapur tulis yang ada di kelas pada jam pulang sekolah adalah satu satu kebiasaan siswa di sekolah Abraham. Sang guru pun menyaksikan. Hal ini dianggap sepele dan bukan masalah. Suatu hari, Abraham mengikuti teman-temannya dengan membawa pulang lima batang kapur tulis. Sesampainya di rumah, saat ia baru saja mau menuliskan kapur itu di papan tulis pribadinya, Ibu Abraham bertanya,” dari mana kamu dapatkan kapur tulis ini?,” tanya sang Ibu dengan wajah yang mulai kurang bersahabat. Abraham pun menjelaskan. Dan apa yang terjadi? “jangan kamu gunakan kapur ini sedikit pun. Kembalikan ke kelasmu. Ini bukan milik kamu. Kapur ini milik orang lain (sekolah). Kalau diambil berarti mencuri,” terang sang Ibu. Begitulah pendidikan anti korupsi yang ditanamkan sang Ibu kepada orang orang nomor satu di KPK ini.

Mungkin diantara kita juga pernah mengalami atau melihat hal yang sama di atas. Lihat saja, kita menganggap itu hal sepele. Guru yang notabene pendidik, secara tidak langsung telah menanamkan benih-benih perilaku mengambil hak orang lain.

Contoh lainnya adalah soal ujian nasional (UN). Hal yang hingga kini masih melahirkan pro dan kontra dengan terang telah mengajak siswa melakukan korupsi. Demi mendapatkan ijazah lulus status sosial, pihak siswa akan melakukan berbagai cara seperti mendatangi kepala sekolah atau guru untuk melakukan lobby-lobby dengan membawa upeti. Puncaknya dan yang lebih parah adalah menyotek massal di hari pelaksanaan UN. Tak perlu sembuyi-sembunyi melakukannya, sebab pihak sekolah justru mendukung bahkan menyusun strategi sistematis untuk membantu siswanya lulus, termasuk membagi dan mengganti jawaban yang salah. Sedihnya lagi, kongkalikong di dunia pendidikan ini bukan hanya inisiatif dari sekolah tapi acapkali instruksi langsung dari dinas pendidikan setempat. Yang aneh bin ajaib, dengan fakta yang semerawut ini, Kementerian Pendidikan masih menutup mata dan telinga. Mereka tetap kekeuh melaksanakan UN dengan bermilyar alasan dari berbagai perspektif.

Pendidikan Anti Korupsi

“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri” (Pramoedya Ananta Toer)

Kalimat Pram-sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer-di atas sangat cocok dialamatkan kepada koruptor. Pram seolah ingin mengatakan bahwa koruptor yang mengambil sesuatu dari hak dan usaha orang lain tentu tidak akan berbahagia. Yang adalah kebahagian semua. Sebab apa yang diambilnya bukan datang dari buah pikir dan kerja keras.Semua datang dari hasil berpikir dan pergerakan tangan yang kotor.

Sebagai orang dewasa, yakinlah bahwa mereka yang masih kecil (anak, adik, keponakan) tak pernah meminta diajari korupsi. Justru mereka meminta agar diajarkan untuk jujur, menghargai hak orang lain dan bekerja keras dalam melakukan segala aktifitasnya. Pendidikan itu bisa kita tanamkan dari hal-hal kecil. Misalnya, saat adik kita merebut mainan milik temannya dan membuat temannya tersebut menangis, saat itu sebaiknya kita katakan, “Sayang, kita tidak boleh mengambil mainan orang lain sebelum dikasi sama orangnya.” Atau bisa juga “Dek, lihat tuh temannya nangis. Dia sedih karena mainannya direbut sama adek. Kalau mainan adek direbut sama teman itu mau nggak?,”

Contoh lain misalnya, saat anak kita cemburu dengan teman kelasnya yang meraih juara kelas. Lalu ia memilih menyontek agar gelar juara kelas berpindah kepadanya. Kita bisa mengakatakan, “coba tanya temanmu bagaimana caranya dia bisa menjadi juara kelas? Itu karena dia bekerja keras meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk belajar. Bukan memindahkan jawaban dari kertas contekan. Dia mengurangi waktu mainnya untuk membaca. Jadi, sewajarnya kita menghargai hasil dari kerja kerasnya itu.Kamu juga bisa seperti dia dengan melakukan hal yang sama.”

Sesekali ajak anak-anak kita ke pasar tradisional agar mereka menyaksikan para pedagang kecil yang bertarung untuk kebutuhan hidupnya. Jangan lupa katakan juga, “Nak, lihat Ibu, Bapak dan anaknya itu. Mereka dari subuh sudah jualan disitu. Tapi Mereka bahagia karena mereka menikmati hasil dari kerja kerasanya sendiri. Bukan dari hasil minta-minta apalagi mengambil hak orang lain. Hebat ya mereka.”

Selama dua puluh empat jam dalam sehari, begitu banyak contoh yang bisa dijadikan media pengajaran anti korupsi di dalam rumah, di sekolah, di pasar, dan seterusnya. Bayangkan jika semua orang dewasa menyediakan ruang-ruang pendidikan di dalam satu keluarga dengan lima anak misalnya, dan satu sekolah dengan lima ratus murid. Berapa banyak anak yang akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak terbiasa korupsi, lalu setelah dewasa mereka kembali mengajarkan kepada generasinya.

Pendidikan anti korupsi ini harus dijadikan virus yang menular dari satu orang ke orang lainnya, dari satu generasi ke generasi lainnya. Dengan apa? Dengan metode dan strategi-strategi yang dimulai dari hal-hal kecil, dari orang/lingkungan terdekat, dan dimulai sejak sekarang. Jika semua itu bisa terwujud, barulah dengan bangga kita katakan “Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia”.

***

Pramuka, 9 Desember 2013, dalam rintik hujan yang mengajarkan penghargaan pada mereka yang bekeja keras untuk menghargai hidup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun