“Kamu ikut Indonesia Mengajar ya Mil? Programnya Pak Anies itu itu?,” tanya seorang teman di balik meja kerjanya. “Iya doakan ya semoga lolos seleksi,” jawabku.
“Itu strateginya Pak Anies untuk 2014 tuh he… he… he…,” sambung teman tadi sambil tersenyum kecil.
“Ah masa sih? Saya nggak melihat begitu,” sanggahku refleks. “Tapi kalau pun begitu yah nggak apa-apa juga. Pak Anies oke dan jelas sudah melakukan sesuatu yang ril kayak Indonesia Mengajar ini. Dari pada calon-calon lain hanya janji-janji kampanye yang belum tentu terbukti.”
Percakapan di atas berlangsung pada tahun 2011, tepat ketika saya sedang dalam proses mengikuti seleksi calon Pengajar Muda (PM) angkatan kedua dalam gerakan Indonesia Mengajar (IM). Obrolan sederhana, yang kini kembali teringat saat publik diramaikan dengan pro kontra pencalonan Anies Baswedan (selanjutnya Anies), guru dan salah satu intelektual yang saya kagumi, betul telah mencalonkan diri menjadi orang nomor wahid di Indonesia. Sebagian kelangan, khususnya intelektual dan kaum muda mendukung langkahnya, sementara lainnya, khususnya pengamat politik, menganggap langkah Anies ini cenderung akan merugikannya. Kontroversi terjadi sebab Anies menjadi calon presiden melalui konvensi yang diadakan partai Demokrat, yang notabene punya banyak catatan “kelam” oleh beberapa kadernya, pun oleh pimpinan di dalamnya.
Tulisan ini sebenarnya tidak bermaksud memokuskan perbincangan pada pro kontra pencalonan Anies Baswedan. Sesungguhnya saya lebih tertarik membincang tentang pribadinyaserta gerakan-gerakan sosial yang digagasnya. Bagi saya itu lebih penting dan lebih nyata terlihat sekarang. Tetapi saya kemudian berpikir bahwa pencalonan ini akan berpengaruh besar terhadap langkah Anies selanjutnya khususnya di dunia politik praktis, serta gerakan yang digagasnya selama ini. Maka menjadi penting untuk membincang keduanya. Saya akan mulai dari cerita tentang pribadi, cara berpikir, dan gagasan-gagasan Anies, lalu dilanjutkan ke persoalan pencalonannya melalui konvensi partai Demokrat.
Berpikir Out of The Box
“Berhenti mengutuk kegelapan, dan mulai menyalakan lilin”. Sebuah kalimat yang sederhana namun sarat makna. Itu hanya salah satu kalimat yang biasa didengungkan Anies Baswedan di hampir semua kesempatan ketika ia ditanya tentang keadaan negeri ini, khususnya di dunia Pendidikan. Sederhananya, ia mengajak untuk berhenti mengeritik dan mulai melakukan sesuatu. Dengan prinsip itu juga ia menggagas sebiah ide besar, yang sampai saat ini “dikejar” oleh banyak anak muda, yaitu Indonesia Mengajar. Sebuah gerakan yang menantang anak muda (di luar dan di dalam negeri) berprestasi dari berbagai latar belakang pendidikan agar mau melepas “kehidupan nyaman dan karir profesionalnya” untuk hidup dan mengalami langsung persoalan pendidikan di seluruh sekolah di daerah terpencil di Indonesia, selama setahun.
Bisa dibilang ide ini lahir dari keyakinan dan optimisme Anies bahwa masih banyak orang, khususnya anak muda, yang mau peduli dan berbuat langsung untuk kemajuan Indonesia. Dan itu terbukti. Saya adalah salah satu anak muda yang dimaksud Anies. Di tengah kenyamanan hidup dan aktifitas di kota Jakarta, nyatanya saya sangat menyambut gerakan ini dan merasa bangga saat terpilih menjadi salah satu PM. Hal yang sama juga dirasakan oleh PM terpilih lainnya. Hingga saat ini, Pengajar Muda yang dimaksud (anak muda yang peduli dan mau berbuat langsung untuk perbaikan pendidikan di seluruh Indonesia) telah mencapai tujuh angkatan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Di Indonesia, gerakan semacam ini masih langka, bahkan belum ada yang menyerupai. Kita mungkin sering mendengar pesimisme banyak orang yang kerapkali mengatakan anak muda zaman sekarang telah kehilangan nasionalismenya. Anak muda lebih memilih hidup hedonis di kota besar ketimbang mengabdi di daerah asalnya. Jangankan menjadi guru, berkunjung ke daerah pelosok Indonesia adalah mimpi di siang yang terik. Anies mematahkan pendapat itu dengan cara membalikkan cara pandang dan imej menjadi guru di pelosok khususnya, dan cara mengabdi untuk Indonesia umumnya. Di sinilah kelebihannya, berpikir out of the box. Dalam pengamatannya, anak muda justru lebih senang ketika ditantang dengan hal-hal “aneh” (selama setahun hidup di desa yang tak berlitrik, tak bersinyal, minim kendaraan, beberapa masih tinggi budaya santet, dll), yang kebanyakan orang enggan melakukannya. PM yang terpilih kemudian disambut dengan kalimat, “Beruntunglah karena kalian adalah orang terpilih untuk melunasi janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebuah kalimat yang menanamkan rasa bahwa lahir di Bumi Indonesia, berarti otomatis dari masing-masing kita telah tertanam kewajiban untuk menagih dan melunasi janji kemerdekaan yang telah termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui gerakan Indonesia Mengajar, bukan hanya Anies yang berpikir out of the box, tetapi kami sebagai Pengajar Muda (PM) pun demikian. Bayangkan saja, hampir semua di lokasi mengajar PM tak ada sinyal telpon, tak ada listrik,susah kendaraan, dan berbagai keterbatasan lainnya. Alih-alih merasa stres, malah kami ditantang menjadi kreatif untuk memanfaatkan segala sarana dan prasarana alam sekitar untuk menggantikan fungsi-fungsi kebutuhan yang urgen di atas. Karena keadaan, kami pun membuat penguat sinyal dari tutup panci, listrik dengan menggunakan sinar surya, menumpang truk barang atau pengangkut sawit untuk sampai ke Kecamatan, belajar bahasa daerah setempat agar terkesan lebih bersahabat dengan masyarakat, dan masih banyak cara yang sederhana, meski kadang lucu.
Belum lagi bicara soal bagaimana menyikapi segala kesemerawutan pendidikan di sekolah kami masing-masing. Sebut saja misalnya, saat diperhadapkan oleh pihak sekolah yang masih melakukan dan mengajarkan praktek “korupsi” kepada anak murid.Saya pribadi pernah mengalaminya. Sejak mahasiswa, saya berkoar-koar mengkritisi kecurangan di birokrasi, dan saat itu saya diminta untuk membenarkan jawaban yang salah di kertas ujian nasional murid saya. Dalam hati marah, benci, ingin berontak, ingin memukul meja dan mengatakan kepada mereka bahwa sudah saatnya praktek seperti ini dihentikan. Saya datang kesini dengan harapan perbaikan. Tetapi saya tidak boleh begitu. Saya harus berpikir panjang agar perjuangan tetap berkesinambungan. Pesan Anies pun terlintas, bahwa saya disini diamanahkan menjadi inspirator dan pempimpin yang bijaksana, yang bisa mengelola suasana menjadi tetap baik, namun tidak pula mendiamkan keburukan terjadi. Itu tantangan besar dan butuh pemikiran yang out of the box.
Gagasan menarik dan unik lainnya dari Anies adalah “Kelas Inspirasi”. Gerakan ini mengajak seluruh kalangan dari profesi apapun untuk mau berkontribusi langsung di dunia pendidikan, dengan menyediakan waktunya selama sehari untuk mengajar di sekolah dasar (SD). Mereka ditantang untuk mengenalkan dan mentransfer ilmu dan pengalamannya kepada murid SD yang mungkin belum semua tahu jenis profesi mereka.
Kita mungkin belum lupa, sewaktu kecil jika ditanya cita-cita, kebanyakan dari kita menjawab ingin jadi dokter, guru, polisi, tentara atau pramugari. Kenapa? Karena yang umum kita ketahui adalah profesi itu-itu saja. Jarang kita mendengar, dan memang jarang diperdengarkan (oleh orang tua, media, pendidikan dan lingkungan) dengan keanekaragaman profesi lainnya. Alhasil, berefek pada sempitnya pengetahuan dan keinginan kita untuk mencoba menjadi seperti profesi lainnya. Nah, melalui Kelas Inspirasi ini, setiap professional yang berporfesi sebagai insiyur, photograper, analist, model, peneliti, wartawan, penulis, dan masih banyak lagi profesi lainnya, diminta mengajarkan profesinya dan yang lebih penting adalah menebar “virus” semangat agar anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar berani bermimpi setinggi mungkin dan berusaha untuk mewujudkannya.
Melengkapi bukti keoptimisannya bahwa banyak orang baik yang masih peduli dengan bangsa ini, Anies kembali mengagas gerakan “Indonesia Menyala”. Indonesia Menyala hadir sebagai wadah bagi siapa pun dan di mana punorang yang ingin berkontribusi di dunia pendidikan dengan menyumbangkan buku.Buku itu dikumpul dan dikemas oleh relawan yang disebut “penyala” yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Sebagian dari penyala adalah pemuda-pemudi yang pernah mendaftar menjadi PM tapi belum berkesempatan untuk menjadi PM (belum lulus seleksi PM). Buku-buku tersebut kemudian di kirim ke seluruh sekolah tempatPengajar Muda mengabdi. Jadi, selain menyediakan “ruang pahala” bagi penyumbang buku, gerakan ini juga sangat membantu PM yang bertugas di daerah, yang memang sangat kesulitan buku.
Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala dan kelas Inspirasi berangkat dari spirit yang sama, yaitu mementahkan mitos bahwa orang Indonesia tidak lagi peduli dengan negara. Faktanya, melalui tiga gerakan tersebut, ratusan bahkan jutaan orang mau diajak untuk berbuat langsung bagi perbaikan negara ini. Hanya saja, butuh treatment tersendiri. Masyarakat kita telah lama hidup dengan banyak ketidakadilan, ketidakjujuran dan pengkhianatan oleh sebagian pelaksana negara dan konco-konconya, jadi jangan salahkan ketika mereka pesimis dan cenderung terkesan apatis. Maka, metodenya harus dimulai dengan membangkitkan semangat optimisme masyarakat, lalu mengajaknya berperan langsung melalui gerakan sosial. Itu kuncinya. Lagi-lagi, hanya orang yang berpikir “tidak biasa” yang mampu melakukan itu. DanAnies tahu betul tentang ini.
Intelektual Ber-jas
Jika politikus berdasi kerapkali dikaitkan dengan politisi Senayan yang korup, pada Anies itu tidak berlaku. Meski hampir di setiap kesempatan Anies menggunakan setelan jas-sesekali berdasi- ia tidak menyerupai politisi yang di maksud di atas. Dari cara berpenampilan, tampak kesan bahwa Anies punya cita rasa tinggi. Ia sadar betul bagaimana “the first impression” memegaruhi keadaan selanjutnya. Jadilah ia salah satu inteletual muda yang cerdas dengan ide-ide inovatif, tutur katanya sistematis, retorika yang memesona, pribadi yang tenang, sikap ramah pada semua kalangan, serta berpenampilan menarik. Tentu semua itu bukan pujian yang membabibuta sebab saya sendiri telah menyaksikannya, khususnya selama bergabung menjadi PM.
Berbagai penghargaan di dalam dan di luar negeri telah menghujani Anies. Ia pernah dianugerahi William P. Cole III Fellowship dari School of Public Policy, University of Maryland saat study master. Di tahun yang sama, ia mendapatkan ASEAN Student Awards Program dari USAID – USIA – NAFSA. Ia juga meraih Gerald S. Maryanov Fellow dari Northern Illinois University sebagai mahasiswa berprestasi dan punya integritas dalam pengembangan ilmu politik. Menurut Majalah Foreign Policy, Anies adalah salah satu Top 100 Public Intellectuals. Ia merupakan satu-satunya figur dari Indonesia dan Asia Tenggara yang masuk dalam daftar 100 intelektual dunia. Royal Islamic Strategic Centre, Yordania, menempatkan Anies Baswedan sebagai salah satu dari 500 orang di seluruh dunia yang dianggap sebagai Muslim berpengaruh. Dan yang paling bergengsi adalah Anies menjadi salah satu dari World’s 20 Future Figure dari Majalah Foresight, yaitu 20 orang yang diprediksi akan mengubah dunia dalam 20 tahun yang akan datang.
Anies Baswedan juga kerapkali menjadi pembicara pada banyak seminar. Ide-idenya yang segar, realistis, dan konkret, selalu mengundang keingintahuan banyak orang untuk mendengarnya. Lagi-lagi saya termsuk salah satunya. Diantaranya saat saya hadir pada acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture, yang diadakan oleh Yayasan Paramadina di Aula Nurcholis Madjid, Universitas Paramadina (19/12/13), yang mendiskusikan tentang “Sisi Gelap Reformasi di Indonesia dengan Banyaknya Gerakan Intoleransi”. Anies turut menyampaikannya pendapatnya tentang penyebab maraknya intoleransi di Indonesia. Menurutnya, termin minoritas dan mayoritas sebaiknya tidak dikotak-kotakkan sebab penyelenggara hukum akan bingung saat dihadapkan harus membela yang mana. “Tugas negara adalah melindungi warga negara, siapa pun itu, bukan karena dia minoritas atau mayoritas,” tegas Anies menutup tanggapannya malam itu.
Pendapat Anies itu penting dan menurut saya betul. Selama ini, kita sering berda dalam frame bahwa pihak mayoritas (dalam hal keyakinan, suku, jender, dll) sering menindas yang minoritas. Sehingga penegak hukum harus melindungi yang minoritas dan memerangi yang mayoritas. Pada satu sisi memang ada betulnya. Kasus Syiah, penutupan gereja, dan diskriminasi jenderoleh pihak mayoritas memang masih marak terjadi. Tetapi itu tidak serta berlaku di semua kasus lainnya. Ada juga beberapa orang yang menyalahgunakan kata
“mayoritas-minoritas” untuk kepentingan kelompok atau pribadinya. Demokrasi misalnya, bisa saja mengatasnamakan suara terbayak (mayorita) untuk mengebiri kelompok yang bersuara kecil atauindependen. Maka, betullah yang perlu dikedepankan adalah melindungi warga negara, siapapun, yang mengalami ketidakadilan dan diskriminasi.
Kembali pada Anies. Dengan seabrek prestasi dan segudang ide-ide cemerlangya di atas, tentu Indonesia patut bangga mempunyai anak Bangsa yang dipandang berprestasi, berintegritas, serta berpengaruh hingga di mata dunia. Tak berlebihan jika saya menyebutnya “mutiara Indonesia”. Kecerdasan dan kelebihan Rektor Universitas Paramadina ini sangat potensial jika dimanfaatkan dengan baik oleh Bangsa ini. Kita kemudian bertanya sudahkah sistem di negara kita ini jujur, terbuka, adil dan sehat untuk menampung orang-orang seperti Anies Baswedan? Mengingat jalan menuju tampuk orang nomor satu di Indonesia begitu panjang dan mungkin melelahkan jika tak punya amunisi yang banyak.
Soal Konvensi
Tahun 2014 telah bersama kita. Suhu politik pun mulai meninggi. Jika selama ini Anies Baswedan menuangkan ide-idenya di luar sistem, kali ini ia menyatakan siap masuk ke sistem melalui konvensi calon presiden yang diadakan partai Demokrat.Demi mengambil peran yang konkret di dalam sistem, Anies pun menyambut undangan Demokrat, “saya nyatakan siap dan pilih berkemas untuk berjuang dalam pencalonan melalui konvensi. Saya pilih untuk ikut bertanggung-jawab atas perjalanan bangsa kita,” ungkapnya ketika ditanya mengenai pencalonnya ini.
Tentu niat baik Anies patut kita acungi jempol. Daripada mengkritik sana-sini atas kinerja pemerintah, kali ini ia memilih merasakan dan membenahi langsung negara ini dengan menceburkan diri ke dalam sistem. Hal yang biasa disampaikan Anies di banyak kesempatan, juga kepada PM, bahwa berbuat apa saja yang bisa kita lakukan itu lebih baik daripada hanya mengkritik dan menunggu pemerintah yang memperbaiki.
Sayangnya, di dalam panggung politik yang penuh rekayasa ini, niat baik saja tidak cukup. Harus ditopang oleh jalan dan faktor-faktor penentu yang mendukung, mulai dari partai politik yang menjadi kendaraannya, tokoh-tokoh politik yang punya pengaruh di panggung politik, serta mekanisme politik yang saya sebut tadi, terbuka, jujur, adil dan tidak saling memangsa.
Hukum “survival of the fittes” tampaknya tak lagi bisa dihindarkan dari politik hari ini. yang punya power dalam segala hal, dialah pemenangnya. Yang saya tahu, Anies adalah intelektual murni dan pengamat politik eksternal. Masih minim-bahkan belum ada-jejak rekam langsung di panggung politik. Hal ini menjadi sangat berpengaruh pada langkahnya ketika terjun ke panggung politik.
Melihat potensi besar yang dimiliki Anies, Tak sedikit orang, khususnya anak muda, yang menitipkan harapan besar padanya. Indonesia butuh pemimpin yang bersih dengan ide-ide baru untuk perbaikan kesejahteraan rakyat. Dan Anies Baswedan dianggap salah satu calon yang pantas memimpin itu. Berdasarkan hasil survei/riset opinion leader mencari lawan politik Jokowi pada 16-27 Desember 2013 diLaboratorium Forensik Universitas Indonesia (UI), skor 7, 26 berhasil didapatkan Anies. Posisi ini berada di atas dua nama yang juga santer disebut-sebut sebagai calon the next Indonesian leader, yaitu Tri Rismaharini (7,25) dan Basuki Tjahaja Purnama (7, 24).
Hamdi Muluk, ketua Laboratorium Psikologi Politik UI juga mengakui kemampuan politik Anies memang tinggi, khususnya kemampuan memenangkan negosiasi dalam tarik menarik di antara berbagai kepentingan. Termasuk kemampuan menggalang dukungan massa dan berpotensi mendapatkan dukungan publik. Selain memiliki kemampuan politik tertinggi, Anies juga mendapat nilai tertinggi dalam dimensi stabilitas politik (7,14) dan dimensi penampilan (7,63) (Baca: Beritasatu.com). Hamdi juga mengatakan, bahwa Anies punya intelektual yang bagus, gagasannya juga kuat, sebut saja gagasan Indonesia Mengajar yang melihat persoalan bangsa dari segi pendidikan, integritasnya bagus.
Meski Anies punya banyak kelebihan secara pribadi, menurut Hamdi persoalan kemudian muncul sebab ia belum punya panggung untuk mengeksekusi gagasannya. Pakar komunikasi politik UIN, Gun Gun Heryanto, juga berpendapat sama. Menurutnya, jika diibaratkan sebuah brand, nama Anies termasuk brand yang kompetitif dan punya daya tawar tinggi. "Barangnya sendiri sudah brand yang kompetitif. Hanya saja panggung (politiknya) sesak. Kurang tepat juga. Menurut saya, akan lebih bagus kalau dia keluar dari konvensi Demokrat," katanya. (Baca : Republika).
Ini yang saya bilang tadi. Niat baik dan orang yang baik saja tidak cukup. Persoalannya kita berbicara dalam konteks politik, ruang dimana segala rekayasa, politik saling menjatuhkan, begitu gampang terjadi.
Jadi, apakah saya harus menunggu semua partai politik bagus dulu lalu saya bergabung untuk membenahi negara ini? Pertanyaan itu selalu dilempar Anies tiap kali ada yang menanyainya terkait alasannya bergabung dengan partai Demokrat. Faktanya memang hampir semua partai politik kita tersandung kasus tidak mengenakkan. Tidak ada yang betul-betul murni, termasuk partai yang mengusung agama.
“Ingat, kejahatan terjadi tidak hanya karena banyak orang jahat, tetapi karena banyak orang baik yang diam dan mendiamkan. Dan saya pilih tidak mendiamkan,” kata Anies pada salah satu acara talkshow di stasiun tivi. Saya yang saat itu menontonnya harus mengaku terpukau. Kalimat itu luar biasa, dan memang banyak benarnya. Pada konteks itu, Anies telah menyatakan pertangungjawabannya sebagai anak Bangsa yang harus ikut berjuang langsung untuk menindak dan tidak membiarkan para pengkhinat Bangsa berkeliaran di dalam sistem penyelenggaraan negara.
Sekarang persoalannya hanya pada soal “kendaraan” yang tepat. Niat baik dan kelebihan Anies idealnya didukung oleh partai politik dan orang-orang yang memang mendukungnya hingga ke kursi pemenangan. Demokrat yang kita tahu saat ini adalah partai dengan banyak persoalan dan penuh rekayasa oleh orang-orang di dalamnya. Saya sendiri tidak terlalu yakin bahwa Demokrat betul-betul menginginkan adanya sistem demokrasi, dalam arti membuka diri untuk orang-orang di luar partanyai, untuk maju menjadi Presiden. Jangan-jangan anggapan banyak orang bahwa ini hanya “akal-akalan” saja betul. Bisa jadi konvensi dilakukan hanya untuk mendokrat imej partai yang mulai turun popularitasnya. Apalagi salah satu peserta konvensi adalah ipar Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Tentu bukan rahasia bahwa SBY juga termasuk orang yang senantiasa “bagi-bagi kue” kepada orang-orang terdekatnya untuk menduduki singgana istana Kepresidenan.
Persoalan lain adalah konvensi dianggap tidak popular. Hingga kini belum mampu mendokrak elektabilitas para peserta konvensi. Hal ini juga dikatakan oleh Gun Gun Heryanto. Menurutnya, konvensi hingga saat ini tak mampu menjadi daya tarik masyarakat. Dalam survei, elektabilitas tertinggi dari peserta konvensi hanya 7 persen, itu pun diraih oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies(CSIS) juga menunjukkan ketidakpopuleran konvensi calon presiden yang digelar Partai Demokrat. Sebanyak 83,1 persen responden tidak mengetahui tentang konvensi tersebut. Hanya 16,9 persen responden yang mengetahui.
Menurut Tobias, peneliti politik di CSIS, ketidaktahuan responden menunjukkan konvensi tersebut tak digelar secara optimal. Akibatnya, publikasi kegiatan konvensi tidak menjadi topik yang hangat di media massa. Bahkan Demokrat tidak berupaya maksimal membangun opini publik soal urgensi konvensi. Tampaknya beban diserahkan kepada para peserta konvensi. Hal yang sama dikatakan oleh Kepala Departemen Politik CSIS, Philips J. Vermonte.
Jika kita mengamati di media massa, khususnya televisi, hampir tidak ada iklan yang menyosialisasikan makna dan pentingnya konvensi. Padahal konvensi adalah sebuah cara yang demokratis, yaitu berusaha mengajak siapa pun yang berpotensi untuk menjadi pemimpin bangsa. Kalau saja hal ini dipahami oleh masyarakat misalnya, melalui sosialisasi lewat iklan, seminar, roadshow goes to campus/school, mengadakan event besar, dan sebagainya, barangkali urgensi dan imej baik konvensi akan lebih popular, diminati, dan diperhatikan masyarakat.
Melihat realitas itu, bisa jadi kelebihan Anies tetutupi oleh ketidakpopuleran konvensi. Jika itu terjadi, tentu sangat disayangkan. Barangkali akan lebih baik jika Anies memilih “kendaran” lain. Melalui “Konvensi Rakyat” yang digagas oleh Sholahuddin Wahid Misalnya. Konvensi ini justru lebih masif menggelar debat kandidat di beberapa kampus ternama di Indonesia. Diliput oleh televisi nasional pula. Barangkali konvensi ini lebih potensial bagi Anies.Lagi pula, dengan kelebihan dna kepopuleran Anies, tak perlu diragukan ia akan dilirik oleh banyak partai atau kelompok lain yang mungkin lebih potensial dan strategis untuk menjadi kendaraannya.
Turun Tangan : Mengajak Bergerak Bersama
Berbeda dengan calon Presiden--atau bahkan para peserta konvensi--lainnya yang biasanya berkampanye besar-besaran seperti, beriklan di televisi, memasang baliho sebesar mungkin, serta mengunjungi masyarakat dengan membagikan “segudang janji” dan sebongkah sembako, Anies lebih memilih melakukan pendekatan langsung ke masyarakat dengan menggunakan transportasi sederhana, yaitu mobil. Bayangkan saja, untuk mengelilingi pulau Jawa, ia hanya membawa dua bis yang berisi relawan, wartawan, serta istri dan anak-anaknya.
Berdialog langsung dengan tokoh-tokoh agama, anak muda, akademisi, komunitas dan masyarakat bawah menjadi pilihan Anies ketimbang membangun lobby-lobby politik di tingkat elit. Kepada mereka semua, Anies mengajak untuk bersama-sama turun tangan membenahi Indonesia. Padagerakan “Turun Tangan-lah” Anies mengenalkan gagasan dan pencalonannya. Sebuah pendekatan persuasif dan partisipatif. Barangkali karena itulah hanya dalam waktu singkat, gerakan “Turun Tangan” telah berhasil menggalang relawan dari berbagai daerah di Indonesia.
Hampir sama dengan gerakan Indonesia Mengajar, Turun Tangan membawa spirit gerakan sosial. Ini sisi yang menarik bagi saya. Sejauh ini, calon-calon Presiden selalu, dan selalu, menjual janji dengan menggunakan pendekatan kelompok, partai, atau langsung menunjuk diri mereka sendiri. Misalnya saja mereka mengatakan, “ kalau kami (capres dan cawapres) terpilih, kami akan….”, bukan dengan mengatakan, “Ini tanggungjawab bersama, jadi mari bersama-sama…”, sehingga paradigma yang terbangun adalah masyarakat hanya diajak menitipkan harapan kepada sang pemimpin, bukan menyadarkan bahwa persoalan bangsa adalah persoalan bersama, sehingga idealnya diatasi bersama-sama sesuai dengan porsinya masing-masing.
Pendekatan partisipatif seperti Turun Tangan memang belum terlalu populis di masyarakat bawah. Hal ini tidak terlepas dari paradigma dan mental yang telah lama terbangun selama ini. Bagi sebagian besar masyarakat, mereka hanya tahu bahwa calon presiden datang dari anggota partai politik dan dipilih untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Barangkali inilah momen tepat untuk mengingatkan kita semua bahwa soal negara adalah soal bersama. Setiap orang memiliki kelebihan dan jalan untuk melakukan sesuatu di lingkungannya masing-masing. Cara pandang bahwa soal negara adalah tugas pemerintah harus segera dirubah. Masing-masing dari kita baik pemerintah mau pun masyarakat umum, perlu bersama-sama merasa bertanggungjawab dan wajib mengabdi pada Bangsa dengan ikut serta menyelesaikan persoalan bangsa. Sebab sejarah kemerdekaan Indonesia pun diraih atas perjuangan bersama. Bukan hanya oleh Soekarno, tapi juga pemuda-pemudi yang sadar dan menginginkan kemerdekaan. Untuk inspirasi cara berpikir seperti ini, saya kira kita perlu berterima kasih pada Anies Baswedan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H