Mohon tunggu...
Milastri Muzakkar
Milastri Muzakkar Mohon Tunggu... -

Menulis aja trus, tentang apa saja. Nggak perlu berat atau serius trus. Seimbang aja. Kenapa? Sebab, dengan menulislah, kebebasan itu betul-betul konkrit.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bu Sanikem, Si Perempuan Lurik

15 Desember 2013   07:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:55 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik matahari begitu menusuk. Sawah yang mulai menguning menjadi tontonan indah di siang itu. Beberapa pohon mangga berdiri tegap di sepanjang jalan kecil menuju sebuah rumah beton beraksitektur Jawa, yang terletak di Kelurahan Grogol, Weru, Sukoharjo. Di samping kanan halaman rumah itu, terdapat tiga buah mesin terbuat dari kayu. Mesin-mesin itulah yang digunakan oleh seorang Ibu penenun Lurik.

Ibu Sanikem, perempuan berpostur tinggi besar dengan kulit hitam manis, begitu ramah menyambut kedatanganku, Pak Muhsin dan dua orang staff perpustakaan Kantor Perpustakaan Arsip dan Daerah (KPAD) Lubuk Linggau.

“Masuk Buk, Pak, duh… maaf baru pulang dari sawah,”sambut Bu Sanikem sambil tergopoh-gopoh membuka pintu ruang tamunya. “Jalan kesini jauh ya Bu Mila? “Lumayan Bu, jawabku sambil tersenyum.

Dari Sukoharjo Hingga Jakarta

Adalah kebiasaan turun-temurun bagi masyarakat di desa ini menjadikan aktifitas menenun sebagai bagian dari pekerjaanya sehari-hari. Tengoklah ke setiap rumah, maka dapat dipastikan akan ada mesin tenun Lurik di sana.

Bu sani-begitu ia biasa dipanggil-adalah ketua Cluster Lurik Tenun Sari, Sukoharjo. Ia mulai menenun Lurik Gendong sejak duduk di bangku SMP. Pagi hari, ia berjualan Lurik, sore harinya barulah ia belajar di sekolah. Setamat SMP, Bu Sani memutuskan berumahtangga lalu melanjutkan usaha tenun Lurik.

Pasca gempa yang menguncang Sukoharjo, beruntunglah pemerintah dan juga NGO terpanggil untuk membantu masyarakat bawah yang paling terkena dampak gempa. Pelatihan dan pendampingan menenun adalah salah satu program pemerintah daerah yang bekerjasama dengan sebuah NGO. Tanpa pikir panjang, Bu Sani pun ikut serta dalam pelatihan tersebut. Dan disinilah karier Bu sani dimulai.

Pelan tapi pasti. Oleh NGO yang mendampinginya, Bu sani diajak mengikuti pameran Tenun di Jakarta Convention Centre (JCC). Bagai mendapat “durian runtuh”, Bu Sani tak henti-hentinya bersyukur dan masih belum percaya atas kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Betapa tidak, dari seorang Ibu yang tak pernah menginjakkan kaki di luar desanya, tak pernah berani keluar desa sendiri, kini ia harus pergi jauh hingga ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta.

Pengalaman-pengalaman unik dan lucu pun tak terhindarkan. Mulai dari ketidaktahuan Bu Sani menggunakan fasilitas apartemen, hingga bagaimana harus berkomunikasi dengan banyak orang. “Pernah, saya mau turun dari kamar apartemen ke tempat pertemuan. Tapi saya bingung lewat mana. Jadinya saya mutar-mutar, balik lagi ke jalan yang sudah saya lewati he… he… he…,” kenang Bu sani kala itu.

Perempuan Mandiri

Pengalaman Bu Sani mengadakan pameran di Jakarta menjadi modal awal untuk terus mengembangkan usaha Lurik ini. Namun, ia tak mau egois. Pada 2009, Perempuan dua anak ini mengajak perempuan lainnya di desa itu untuk membentuk kelompok tenun Lurik, yang dinamai Cluster Lurik Tenun sari, Sukoharjo. Karena Bu sari yang menjadi pelopor kelompok ini, maka ia pun diamanahkan menjadi ketua.

Di sini, hampir tiap hari, para Ibu penenun Lurik berkumpul, bercerita, dan belajar bersama. Rumah Bu Sani bisa dibilang semacam basecamp dari Ibu lainnya. Jadi, para Ibu menenun Lurik di rumah masing-masing, lalu hasilnya akan dikumpulkan di rumah Bu Sani untuk dipajang dan dijual di lemari kecil, yang letaknya persis di ruang tamu.

Kedekatan dan canda tawa yang terbangun siang itu tak dapat memungkiri rasa kekeluargaan di antara mereka. Ibu Sonti (34 tahun) begitu leluasa tiduran di lantai sambil berbincang dengan Ibu lainnya. Sementara Ibu Sri Mulyani (34 tahun) sibuk keluar masuk dapur menyiapkan suguhan buat kami. “Dulu saya nggak kenal begini dengan Bu Sonti, Bu Sri Mulyani, trus yang lainnya juga. Tapi setelah berkelompok kami jadi akrab. Sudah seperti saudara,” cerita Bu sani sambil tersenyum, dan sesekali merangkul Ibu-Ibu yang disebutnya itu.

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, rasa senasib-sepenanggunganlah yang mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang sebelumnya terpecah-pecah dan bergerak sendiri.Kini, sejarah itu berulang. Kemiripan latar belakang keluarga dan ekonomi tampaknya menjadi hal yang mampu mengeratkan hubungan diantara mereka. Hampir semua suami dari Ibu-Ibu ini merantau ke luar, seperti ke Batam, Bangka, dan Jakarta. Menurut pengakuan beberapa Ibu, biasanya suami mereka pulang tiap tiga bulan sekali. Keadaan inilah yang menempa para Ibu agar tetap kuat dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dan kesunyian yang mereka hadapi sehari-hari.

“Dulu kami selalu begini (sambil menengadahkan tangan kanan) ke suami. Mau beli pulsa aja minta. Sekarang tidak lagi,” kata Bu Sonti mantap. Bu Sri Mulyani pun demikian. Ia mengaku dari hasil tenun, ia sudah bisa memenuhi paling tidak kebutuhan diri dan anaknya sehari-hari.

Bu Sanikem bahkan melangkah lebih jauh. Dari hasil tenun itu, ia mampu menyekolahkan kedua anaknya hingga ke sekolah keperawatan. “Dulu, saya pikir kalau sekolah paling tinggi sampai SMA aja. Tapi Alhamdulillah karena ada jalan dari Allah, saya kuliahkan anak saya yang pertama. Insya Allah anak kedua juga nanti,” aku Bu Sani.

“Sebelum nenunnya besar begini, saya nggak pernah keluar desa. Yah.. di sini-sini aja. Saya takut. Saya juga nggak berani naik kendaraan sendiri, nggak punya SIM juga. Tapi sekarang, kemana-mana saya bisa sendiri. Sudah punya SIM juga,” lanjut Bu Sani.

Begitulah, hasil tenun itu mampu memandirikan Ibu-Ibu ini. Bukan hanya dalam hal pendapatan (ekonomi) tapi juga dalam cara berpikir tentang pendidikan dan memandang kemajuan membangun relasi yang terbuka dan mengglobal.

Perpustakaan Sebagai Pusat Kegiatan Masyarakat

Dengan sepeda motornya, Bu Sanikem selalu bersemangat menempuh jarak kurang lebih tiga puluh kilo dari rumahnya untuk sampai ke Perpustakaan Daerah Sukoharjo. “Pertamakali saya menginjakkan kaki di gerbang perpustakaan Sukoharjo, saya takut masuk. Saya malu karena semua pake baju seragam, saya nggak. Tapi waktu disuruh masuk oleh staff perpustakaan, saya pun mau masuk. Ternyata mereka ramah-ramah,” cerita Bu Saat pertamakali berkenalan dengan perpustakaan.

Seperti masyarakat pada umumnya, Bu Sanikem pun tak pernah tahu apalagi menduga bahwa perpustakaan kini telah berkembang. Bekerjasama dengan program CSR sebuah perusahaan, imej perpustakaan kini diarahkan tidak hanya sebagai tempat baca dan pinjam buku tapi juga tempat segala macam kegiatan masyarakat.

Pelatihan internet adalah pelatihan pertama yang diikuti Ibu Sanikem. Semua betul-betul dari awal, dari cara memegang mouse hingga membuat email dan facebook. Tak disangka, facebook mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi Ibu Sanikem dan Ibu-Ibu di komunitasnya. Bahkan sampai pada tahap kemandirian.

“Dulu, saya hanya menjual Lurik dari mulut ke mulut. Biasanya sebulan terjual enam puluh. Tapi sejak dipromosikan dan dijual lewat facebook oleh anak saya, penjualannya Alhamdulillah lebih meningkat. Minimal seratus dalam sebulan,” aku Bu Sanikem.

“Kami juga selalu diundang untuk pameran Lurik di perpustakaan. Di situ, kami kenalan dengan pengusaha-pengusaha lain dan saling bertukar kartu nama. Jadi kami bekerjasama saling mempromosikan usaha kami. Saya juga kenalan dengan orang dari Jakarta yang biasa mengadakan pameran wirausaha. Nanti kalau ada pameran di Jakarta, saya akan diikutsertakan,” lanjutnya.

Untuk itu, tak henti-hetinya Bu Sanikem berucap terima kasih kepada perpustakaan Sukoharjo yang telah memfasilitasi kemudahan usaha Bu Sanikem. “Saya terima kasih sekali dengan perpustakaan yang telah membantu kami orang lemah,” ucap Bu Sanikem.

Ke depan, Bu Sanikem berharap perpustakaan makin banyak melibatkan Ibu-Ibu di komunitasnya agar diberi pelatihan dan pendampingan-pendampingan yang dapat meningkatkan usaha, ilmu dan pengalaman mereka. Begitu pun dengan dukungan dari pemerintah setempat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun