Mohon tunggu...
Milah Nuraini
Milah Nuraini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Skenario di Balik Polemik Anggaran Pendidikan

18 Mei 2017   12:05 Diperbarui: 10 Juli 2018   14:45 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Anggaran pendidikan memang erat kaitannyan dengan polemik. Kenaikan yang terus terjadi dalam Anggaran Pendidikan disetiap tahunnya namun  tak terasa dampak kenaikannya secara merata di kalangan masyarakat menengah di daerah – daerah pelosok. Ketidakmerataan anggaran pendidikan menjadikan kesenjangan sosial yang tinggi, mungkin dampaknya tak begitu terlihat di DKI Jakarta yang menjadi daerah dengan anggaran pendidikan terbesar bahkan sudah banyak program kerja  pemerintah DKI yang berkaitan dengan biaya pendidikan.

Sikap pemerintah dalam mengakolasi dana pendidikan, mengecewakan sejumlah kalangan. Adanya upaya talik ulur pemerintah berkaitan dengan pemenuhan anggaran pendidikan yang kemudian memicu polemik telah terjadi pda angka minimal 20 % ditetapkan dalam amendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945. Berbagai argumentasi digunakan, dari tidak adanya anggaran, akan merugikan sektor lain, hingga penyelenggara pendidikan belum siap mengelola uang yang banyak.

Tidak hanya itu, pemerintah pun berhasil menyusupkan ketentuan mengenai pemenuhan anggaran 20 persen yang dapat dilakukan secara bertahap dalam bagian penjelasan Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Bahkan, bersama DPR melakukan kompromi dan membuat kesepakatan bahwa anggaran 20 persen tidak dapat direalisasi sekaligus. Upaya untuk mencapainya akan dilakukan dengan cara menaikkan persentase secara bertahap hingga 2009.

Skenario mereka dibuat dengan menetapkan persentase minimal anggaran yang mesti dipenuhi pemerintah setiap tahun. Dimulai pada 2004 dengan persentase 6,6 %, ditingkatkan menjadi 9,3 % pada 2005, bertambah menjadi 12 % pada 2006, meningkat hingga 14,7 % pada 2007, 17,4 % pada 2008, serta mencapai 21,1 % pada 2009.

Tapi, dalam prakteknya, walau telah dibuat lebih longgar, pemerintah rupanya masih juga berkelit. Angka yang sudah diskenariokan dengan DPR tidak direalisasi. Memang, setiap tahun anggaran pendidikan terus bertambah. Bahkan dibanding sektor lain, seperti pertahanan dan keamanan, jumlahnya jauh lebih besar. Namun, dari sisi persentase, angkanya lebih kecil daripada kesepakatan. Sebagai contoh rencana anggaran 2008, persentase yang harus dicapai 17,4 %, tapi pemerintah mengumumkan baru bisa menyediakan 12 %.

Tentunya perlu ada tekanan kuat untuk memaksa agar pemerintah memiliki komitmen dalam menjalankan kewajibannya. Tapi polemic yang berkepanjangan mengenai pemenuhan anggaran juga patut disayangkan. Sebab, tersedia alokasi yang besar memang merupakan jawaban atas masalah pendidikan. Tapi, masalahnya, dalam bentuk apa jawaban tersebut dibuat. Selain itu, sampai hari ini belum dirumuskan seperti apa masalah yang akan dijawab.

Tidak jelas program yang akan dibuat oleh penyelenggara pendidikan, mulai Departemen Pendidikan Nasional, dinas, perguruan tinggi, sekolah, hingga lembaga pendidikan informal dan nonformal, dalam rangka menggunakan anggaran 20 persen, termasuk cara membagi alokasi anggaran antarlembaga tersebut, mendistribusikan, dan menggunakannya.

Penyediaan anggaran 20 persen dari total APBN untuk sektor pendidikan bukan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan. Tidak mungkin semua masalah pendidikan akan terjawab ketika alokasi anggaran terpenuhi tanpa diawali dengan memaksa para penyelenggara pendidikan merumuskan masalah, membuat program, dan memastikan adanya transparansi dalam distribusi dan pengelolaan anggaran.

Sudahkah jelas ? Bahwa banyak skenario dibalik anggaran pendidikan yang berdampak pada ketidakmerataannya …

Salah sasaran merupakan salah satu penyebab dari ketidakmerataan anggran pendidikan, pengurangan anggaran untuk daerah pelosok juga menjadi salah satu penyebabnya. Banyak program yang baguus, namun tidak mementingkan daerah pelosok melainkan daerah- daerah yang sudah kesohor dengan tujuan mementingkan yang sudah terpandang namun malah menjadikan daerah pelosok semakin tertinggal.

Milah Nuraini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun