Praktik penerjemahan al-Qur'an bahasa Jawa di Indonesia pasca era kemerdekaan hanya sebatas dilakukan oleh per-orangan bukan oleh negara secara resmi. Tahun 1960 kementrian negara lebih berfokus untuk memfasilitasi penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia demi memenuhi kebutuhan pasar media komunikasi kala itu.Â
Penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas keagamaan (kiyai), biasanya di dunia pesantren, seperti al-Ibriz li Ma'rifat Tafsir al-Qur'an al'Aziz karya Mustafa Bisri dari Jawa Tengah, al-Iklil fi Ma'ani al-Tanzil karya Misbah Mustofa dari Jawa Timur, Tafsir al-Qur'an Suci karya Mohammad Adnan dan Terjemah Qur'an Basa Jawi dari Sleman. Sebagian besar mengklaim karya mereka sebagai penafsiran bukan terjemah karena tidak terlalu bersifat setia dalam mengikuti struktur teks sumber ketika mengartikan al-Qur'an.
 al-Ibriz dan al-Iklil menggunakan struktur tripartite berdasarkan kombinasi metode yang digunakan dalam pengajaran pesantren (sistem pedagogi), antara lain penjelasan semantik/tata bahasa, pemahaman teks dan produksi teks. Dua struktur terakhir ini mampu diorganisir sekaligus oleh tafsir Jawa. Sistem gandul yang digunakan telah memenuhi standar bahkan memungkinkan suatu fleksibilitas. Jenis terjemahan yang ditemukan dalam al-Ibriz dan al-Iklil juga tidak melibatkan ambisi sastra untuk menghasilkan teks yang koheren, namun tetap memberi ruang bagi kiyai untuk membangun narasi pribadinya agar didengar oleh audien.
Penggunaan krama andhap-inggil (pernyataan merendahkan atau kehormatan) dalam penerjemahan menciptakan nuansa hierarki kedudukan sosial. Metode penerjemahan Jawa lebih mengarah pada parafrase kiyai terhadap al-Qur'an, seperti bangunan narasi pada cerita Nabi Yusuf dan ayahnya. Dua terjemah ini pun memiliki kelemahan, yaitu penggunaan tenses bahasa Jawa yang relatif minim tidak cukup merepresentasi luasnya tenses dalam bahasa Arab, serta sistem gandul berdampak pada kurangnya memaknai ayat secara holistik karena penerjemah lebih terfokus pada kata-kata individunya.Â
Melalui uraian contoh kitab terjemah bahasa Jawa di atas, terbukti bahwa antara kelisanan kiyai dengan bentuk cetak dari terjemah memiliki relasi yang kuat yang berujung pada pemahaman pembaca dan pendengar. Intervensi suara kiyai ketika 'mengaji' al-Qur'an, baik berbentuk terjemahan maupun penafsiran berimplikasi pada improvisasi terjemahan terhadap teks asli al-Qur'an,Â
hal ini sangat memungkinkan terjadinya pelebaran pemaknaan dari teks asli. Suaranya dianggap sebagai kontribusi yang berharga bagi terjemahan, dibandingakn dengan distorsi (perubahan) makna sebenarnya dari teks sumber. Namun tujuan keterlibatan lisan ini semata-mata untuk mempermudah para audien menangkap isi kandungan al-Qur'an.Â
Masalah penerjemahan tidak hanya terletak pada pelebaran makna, tetapi juga disebabkan oleh minimnya kosa kata alih bahasa sehingga tidak mampu mengatasi kosa kata bahasa sumber secara reprsentatif, seperti penggunaan gaya gandul  sebagai media bantu audiens untuk mampu memahami teks sumber.
Source: Johanna Pink, The Kiyai's Voice and The Arabic Qur'an: Translation, Orality and Print in Modern Java
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H