Mohon tunggu...
Mila Arsiadelia
Mila Arsiadelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya seorang mahasiswa yang baru mulai menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perjalanan Gen Z Menemukan Jati Diri di Tengah Stres Kuliah

1 November 2024   23:11 Diperbarui: 1 November 2024   23:16 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Generasi Z atau yang biasa disingkat menjadi Gen Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga tahun 2012. Menemukan jati diri di tengah tekanan akademis dan sosial yang semakin meningkat merupakan salah satu hal unik yang harus saya hadapi. Saya menghadapi tuntutan kuliah dan masalah kesehatan mental yang semakin meningkat di era teknologi saat ini. Pada artikel kali ini, saya akan membahas fenomena yang dihadapi Gen Z terutama diri saya sendiri, serta data yang membantu kita memahami proses menemukan jati diri.

Fenomena Quarter Life Crisis

Fenomena ini sepertinya tidak asing lagi di telinga para Gen Z, sebab fenomena ini merupakan salah satu hal yang sering dialami oleh banyak orang terutama diri saya sendiri. Quarter life Crisis sendiri memiliki makna yaitu masa ketidakpastian dan pencarian identitas. Studi menunjukkan bahwa orang orang yang berada dalam rentang usia 18 hingga 30 tahun seringkali merasakan kebingungan dan kecemasan tentang masa depan mereka, terutama disaat masa menyelesaikan perkuliahan sepeti yang sedang saya jalani sekarang. Hal ini berkaitan dengan tuntutan agar segera menentukan karir kedepannya dan memenuhi ekspetasi sosial yang dapat memicu munculnya stes pada saat masa perkuliahan.

Situasi ini merupakan salah satu dampak buruk dari media sosial. Gen Z tumbuh pada masa di mana pencapaian hidup sering dipamerkan secara online, yang menghasilkan perbandingan sosial yang kurang sehat. Hal ini menyebabkan banyak orang termasuk saya sendiri menjadi tidak puas dengan diri sendiri dan mulai terjebak dalam pikiran saya sendiri. Tetapi hal tersebut juga yang membuat saya bangkit kembali untuk membuktikan bahwa saya akan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup saya. Menurut studi, lebih dari 90% Gen Z mengalami gejala emosional sebagai akibat dari stres, dan mereka mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya.

Pencarian identitas ini mulai saya rasakan ketika awal saya masuk kuliah, karena pola pikir saya sudah berubah dan terbuka mengenai masa depan saya. Disini saya sudah mulai memikirkan apa yang akan saya lakukan kedepanya, hal-hal apa saja yang harus saya lakukan untuk meningkatkan kualitas diri saya. Beberapa perubahan diri saya semenjak kuliah, seperti lebih mandiri, lebih bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dan bisa mengatur keuangan. Semejak kuliah saya merasa diri saya lebih baik dari masa SMA, karena saya dulunya adalah seorang anak yang strict parents yang membuat saya merasa kurang berkembang. Walaupun demikian, saya tidak pernah merasa bahwa keputusan orang tua saya adalah hal yang salah. Saya mengerti kekhawatiran orang tua terhadap saya yang mungkin merasa bahwa saya belum cukup dewasa atau masih labil pada saat itu.

Tetapi sekarang ini saya sangat senang karena saya merasa diri saya lebih berkembang dari sebelumnya. Orang tua saya telah memberi kepercayaannya untuk memperbolehkan saya kuliah ke luar pulau. Dengan begitu, saya merasa orang tua saya sudah mempercayai saya untuk betanggung jawab dan menghargai keputusan saya sendiri. Orang tua saya telah menaruh kepercayaanya kepada saya, sehingga saya dibebaskan melakukan semua hal-hal baru yang membantu saya untuk berkembang dalam  hal yang baik. Disini saya selain menjalankan aktivitas perkuliahan, saya juga  mengikuti organisasi HIMA, yang membuat saya berkembang secara akademik dan non akademik. Hal tersebut dapat membentuk jiwa kepemimpinan, kerja sama tim, komunikasi yang baik, dan menghargai perbedaan pendapat.

Tak dipungkiri juga, bahwa tuntutan di dunia perkuliahan seperti pembuatan laprak, banyaknya tugas serta praktek yang dijalankan terkadang membuat saya stress. Tetapi hal tersebut bisa saya atasi dengan menceritakan masalah yang terjadi kepada orang tua, sehingga saya merasa lega dan mendapatkan  saran serta masukan dari orang tua. Terkadang juga saya mencoba untuk menggelola pikiran saya dengan berfikiran hal yang positif dan meyakinkan diri saya bahwa semuanya akan berlalu. Sekarang saya mulai belajar untuk tidak memikirkan hal hal yang tidak perlu dipikirkan karena hanya akan memicu stress sehingga berdampak buruk pada diri saya.

Adapun sekarang saya mulai menerapkan gaya hidup stoikisme, saya berusaha untuk lebih fokus pada hal-hal yang dapat saya kendalikan dan menerima dengan lapang dada segala sesuatu yang berada di luar kendali saya. Dengan cara ini, saya belajar untuk tidak terlalu terpengaruh oleh emosi negatif dan tekanan dari lingkungan sekitar. Saya juga berusaha untuk mengembangkan kebijaksanaan, memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari kehidupan dan melihat setiap tantangan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar. Selain itu, saya berlatih untuk bersyukur atas apa yang saya miliki, menghargai momen-momen kecil dalam hidup, dan menjaga ketenangan pikiran meskipun menghadapi situasi yang sulit. Dengan menerapkan prinsip-prinsip stoikisme ini, saya merasa lebih tenang dan siap menghadapi setiap tantangan yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun