Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis dan Biola

25 Januari 2015   23:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihatnya berdiri diam di depan jendela kaca yang menjulang setinggi langit-langit. Hanya pesawat dan hujan di luar. Semuanya terkaburkan abu-abu. Entah sudah berapa lama dia di sana. Sepi, itu yang aku rasakan ketika melihatnya. Meski ada begitu banyak orang dan anak-anak melakukan kegiatan di sekitarnya, menjerit atau tertawa riang, dia tetap diam tepat di tempatnya berdiri.

Aku berjuang mengalihkan pandangku darinya. Sayang, aku justru terpaku kepadanya. Mungkin karena aku masih menunggu, meski teh di cangkirku sudah meninggalkan jejak kering. Aku menunggunya mengangkat biola di tangannya. Menunggunya untuk memainkan nada di denyut yang tergantung di matanya yang beku. Menunggunya menggesekkan bow yang terjatuh lunglai di samping tubuhnya yang terpaku di tempatnya diam.

Aku duduk jengah. Penantianku tak kunjung tiba. Dia masih tenang berdiri di sana. Aku pun menghampirinya. Pandangku padanya serasa membuat sekitarku sirna. Mendekatinya membuatku memperhatikan gerakan yang tak kusadari sebelumnya. Jemarinya yang mungil dan rapi menari di antara senar-senar biola yang digenggamnya. Dia memainkan nada yang tak mampu aku tangkap. Jemarinya cepat berganti. Terkadang diam di satu nada, dan kembali dengan tangkasnya memainkan nada-nada berirama cepat. Jeda yang terkadang tak biasa. Diam yang canggung ketika dia mengangkat jemarinya dari senar-senar itu. Aku terhenti melihat binar di kedua matanya yang menatap nanar di hujan yang semakin deras. Serasa tak memperhatikan jemarinya sendiri yang berlenggang membuat nada-nada bisu.

Tiba-tiba dia menoleh. Menghadapku tak terkejut. Dia tersenyum, hanya sedikit. Kau harus memperhatikan perubahan itu dengan seksama. Matanya kembali hidup. Penuh dengan tekad yang tak mampu kau tampung sendiri. Atau mungkin justru ketakutan yang membuatmu bersikap ekstra hati-hati. Entah, aku tak mengerti. Dia mengangguk sopan dan segera beranjak pergi. Berjalan melewatiku tanpa berkata apa-apa.

“Excuse me,” kataku pada punggungnya. Dia berhenti dan menghadapku. “Why didn’’t you play your violin?” tanyaku lancang.

“I did,” jawabnya sederhana. Suaranya berat, tak sebanding dengan tubuhnya yang mungil.

Aku tergelak, sok tahu. “Only your fingers did, but you didn’t make any sound.”

Dia tersenyum. Nyinyir, menurutku. Sialan!

“Do you think you’ll understand?” tanyanya setengah retoris.

“Why don’t you try me?” tantangku dengan senyum termanisku.

Dia menatapku lekat-lekat. Tepat di kedua mataku. Lalu, tersenyum. Kali ini dia benar-benar menyunggingkan bibirnya. Hanya orang bodoh yang tidak mengatakan wow pada senyumnya yang mengalahkan senyumku tadi. Dia memperbaiki postur tubuhnya untuk berdiri tegap sambil menarik nafas panjang yang serasa berat. Mengayunkan biolanya untuk berada di bawah dagunya, dan mulai bersiap dengan bow di atas senar biolanya. Aku melihat ke sekililingku. Terkejut menyadari di mana dia akan memainkan biolanya. Atau sepertinya, dia pun tak peduli. Beberapa orang mulai berhenti, menantinya memainkan sebuah lagu. Atau hanya berlalu sambil menatapnya dengan kebingungan, mungkin mereka berpikir ada pengamen biola di bandara. Entahlah, gila jika harus meretas ekspresi orang lain.

Dia mulai memainkan lagunya. Ah! Aku tahu lagu itu. “Oh My Darling, Clementine.” Lagu bernada riang. Aku tersenyum padanya. Aku ingin dia tahu, See! I understand! Tapi dia hanya terpaku dengan biolanya. Sama sekali tidak mempedulikanku. Apalagi anak-anak yang dari tadi riuh. Beberapa yang dari Indonesia langsung mulai bernyanyi. Bertengkar dengan kelanjutan syair yang harus mereka lengkapi bergantian. Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang... Sedang nyanyi, sedang nyanyi, sedang nyanyi sekarang. Entah siapa yang kemudian mengkomandani mereka. Bisa-bisanya sekompak itu menyebut nyanyi sebagai jawaban pertama. Nyanyi apa, nyanyi apa, nyanyi apa sekarang... Sekarang nyanyi apa, nyanyi apa sekarang. Aku hanya bisa tertawa melihat mereka mulai bertengkar lagi.

Tapi gadis itu, dia terpaku dengan musik yang dia mainkan. Aku tak bisa lagi menyebut bahwa lagu itu lagu riang. Karena di penghujung lagu itu, dia memainkannya dengan sangat lambat. Dan itu, menyayat hati. Oh my darling, oh my darling, oh my darling Clementine. You are lost and gone forever. Dreadful sorry, Clementine. Tawaku sirna bersama tatapan mata gadis pemain biola yang tersesat di antara gelapnya hujan di luar jendela kaca.

Dia tak berhenti. Dia mulai memainkan lagu lain. Lagu keduanya diawali dengan tempo yang lambat. Aku belum mampu menebak lagu itu. Anak-anak pun mulai berlarian menjauh. Tak lagi peduli karena tak tahu. Hanya yang punya rasa ingin tahu berlebih yang masih tertinggal.

Sedikit demi sedikit irama lagu yang dimainkannya mulai cepat. Meninggi dan menguat. Berhenti dengan jeda ketukan tak biasa. Melembut dan kembali cepat. Jemarinya juga bergerak cepat, tapi kadang berhenti tiba-tiba.

Ah, aku tahu lagu itu! Aku kembali tersenyum padanya. Tapi tetap dia tak peduli. Dia hanya memainkan lagu itu. Terkadang matanya terpejam. Terkadang aku pikir dia akan membanting biolanya karena terlihat marah. Tapi yang menggangguku adalah rasa haru sepanjang permainannya. Hanya Manfred Symphony karya Pyotr Ilyich Tchaikovsky yang mampu melakukannya.

Tawa anak-anak mulai menggangguku. Beberapa orang dewasa ikut menertawai tingkah anak-anak yang masih tinggal mengelilingi gadis pemain biola ini. Mereka berdansa dengan gerakan layaknya balerina. Berputar dan melompat. Girang ketika musik menjadi lebih cepat. Bersorak meski musik sudah melambat. Riuh tawa ini tak sesuai dengan rasa yang menguat. Mereka pikir ini adalah musik ceria. Tapi, aku tak mendapati ceria itu. Semakin jauh dia memainkan biolanya, semakin haru itu menjadi-jadi.

Aku tak ingin menangis, meski desakan haru biru itu makin membuatku bersedih. Tapi jantungku berdetak lebih kuat bersamaan dengan setiap irama cepat yang dimainkan biolanya. Membuatku bergoncang dengan kejengkelan, atau bahkan amarah yang tak mampu terbendung lagi. Aku mulai menerawang, seperti kedua mata gadis pemain biola itu. Jauh dan tersesat dengan segala rasa yang kian berang. Mengikuti nada yang naik turun dengan maknanya sendiri-sendiri, dengan kegusaran yang memabukkan. Membumbung bergelanyut. Berkumpul dan membesar. Membesar dan makin kuat. Selaksana gemuruh hujan deras di luar. Yang kemudian berakhir. Gerimis dan terhenti seiring irama yang mulai mengalun kembali. Melambat perlahan dan semakin rendah. Mereda untuk hilang kepada hampa. Kosong kemudian. Nanar dan terkuras.

Aku menatapnya. Gadis pemain biola, dengan bow di tangannya yang masih mengambang di udara. Bersamaan dengannya, aku mengendalikan degup jantungku yang masih menderu. Nafasku berat, seolah menghirup udara berat yang sama dengannya. Perlahan dia menurunkan biolanya, tak peduli dengan tepuk tangan di sekitarnya. Kedua matanya menatapku. Dia tidak menuduh. Dia memperhatikanku. Memandangiku dengan hati-hati. Dia tersenyum, lalu mengangguk. Membiarkan kepalanya tertunduk lebih lama, dan berbalik tanpa melihatku lagi. Dia meninggalkanku, tepat ketika kurasakan hangat air mata di sudut pelupuk mataku.

Manfred Symphony in B Minor, Op. 58 karya Tchaikovsky adalah musik yang digubah dari puisi berjudul Manfred karya Lord Byron. Puisi tersebut berkisah mengenai perjuangan Manfred untuk memusnahkan ingatannya tentang mendiang istri tercintanya, Astarte.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun