“How’s my birthday girl?" tanyamu dua puluh tahun yang lalu tepat di hari ulang tahunku. Kala itu, bulan sudah tinggi di langit gelap tapi bagimu hari baru dimulai. Waktu hidupmu memang nocturnal.
Aku tersenyum membaca pesanmu. Terpaku di bagian my girl. Lupakan birthday. Aku tak ingin menjadi gadismu hanya di hari ulang tahunku. Tapi, jika harus, aku mau setiap hari menjadi hari lahirku. Itu bukannya tidak mungkin. Siapa pun berhak merasa dilahirkan setiap hari, bukan? Senin, aku lahir menjadi manusia baru. Selasa, aku lahir menjadi lebih baik. Rabu, aku lahir untuk menghidupi hari baru. Kamis, aku lahir demi menyambut pagi. Jumat, aku lahir untuk bahagia. Sabtu, aku lahir untuk menyelamatkan seekor anjing. Oh, ayolah! Jangan kau tertawakan mimpiku ini. Bantu aku. Beri aku alasan setiap hari untuk perayaan hari lahirku sampai aku bisa mengatakan, “Hari ini, aku lahir untuk menjadi milikmu.”
Maka sejak hari itu, aku berharap, hari lahirku adalah perayaan untukmu.
Aku membaca lagi pesanmu. Aku tersipu. Aku menunduk malu menyembunyikan senyumku yang tak bisa kuhapus dari wajahku ini seolah kau sungguh nyata di hadapanku. Kau memandangku dengan matamu yang tajam. Dengan senyummu yang menawan, kau pun merunduk mencoba mengunci pandangku untukmu saja. Kau inginkanku menatapmu kembali. Kau akan menyusuri tepian wajahku dengan jemarimu dan meraih daguku dengan lembut untuk mengangkat wajahku.
“Jangan kau sembunyikan wajah ayumu itu, Sayang.” Begitu kau akan berkata. Membuat wajahku makin merona. Tapi, mungkin memang itu yang kau mau: memberi warna untuk kedua pipiku yang pucat ini. Tentu aku akan menjadi bingung. Bingung yang mendebarkan. Bingung di antara rasa maluku yang spontan membuatku menundukkan wajahku lagi dan keinginan hatiku untuk menyenangkanmu, membiarkanmu memandangi wajahku yang kau bilang ayu ini.
Kemudian kau akan meraih jemariku dengan kedua tanganmu, menggenggam dan mengusapnya lembut. Kau berhenti ketika ujung jari telunjukmu menemukan denyut nadiku. Di denyut yang entah ke berapa, kau mengangkat tanganku untuk beradu dengan bibirmu. Selama itu, kau masih saja menatapku seolah mengatakan tak ada yang lain yang lebih indah dariku. Dan aku? Aku hanya akan kembali tersipu, menunduk menatap jemari kita yang telah bertautan.
Itu juga kalau kau ada.
Aku jadi membayangkan apa yang sedang kau pikirkan ketika hendak mengirimkan pesan itu. Apakah kau juga tersenyum sendiri ketika mengetik kalimat itu? ‘My birthday girl’ katamu. Sungguhkah itu yang menjadi keinginanmu?
Mungkin kau melakukannya dengan duduk di bangku teras rumahmu diterangi dengan cahaya temaram yang lembut dan senja yang memerah. Secangkir kopi hitam dengan uap yang mewah menemanimu. Kau meminumnya dengan begitu perlahan selayak menimang kalimat terbaik untuk kau kirimkan padaku. Di sela-sela kopimu, kau menengadah. Kau pandangi langit merah yang berubah menjadi keunguan. Sebentar lagi kegelapan menyelimuti hari ini, pikirmu. Hari ini akan segera berakhir. Satu hari alasan demi peluang menggapaiku.
Kau pejamkan matamu seiring Norah Jones memulai lirik lagunya: ‘Come Away With Me’ yang terdengar lirih. Kau bernafas perlahan meresapi sepoinya angin senja yang berhembus membawa aroma laut. Perlahan pula kau munculkan bayangku di pelupuk matamu. Aku di sana, berdua bersamamu. Hanya terdiam. Duduk di sampingmu menjaga jarak yang pantas dalam keheningan. Kau pun tersenyum. Ah, ada rona merah merayap di pipimu. Kau bisa juga tersipu malu. Tapi, kau tak mengalihkan pandanganmu. Kau tetap di sana. Pantang mengalah demi kegagahan laki-laki. Tak tunduk pada malu demi berani meski rona di wajahmu membuatmu seperti udang rebus.
“Aku tak ingin lupa,” katamu dalam anganmu. Entah apa yang tak ingin kau lupakan. Tapi, aku berharap, itu aku.