Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bijak untuk Adil

23 September 2015   18:19 Diperbarui: 23 September 2015   18:36 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari seorang Ayah datang ke rumah saya. Beliau datang dengan langkah yang dipenuhi dengan determination. Dari caranya membawa diri serasa sudah demikian yakin dengan apa yang ada di pikirannya, mungkin juga hatinya. Seketika beliau duduk di teras, Ayah teman bermain putra saya ini segera memulai ceritanya. Saya bahkan tidak perlu berbasa-basi dengan ‘how are you?’.

Beliau segera memulai dengan kisahnya, membicarakan mengenai seorang anak lain yang juga teman bermain putra saya. Sebut saja dia Budi. Bahwa Budi memperlakukan putranya dengan tidak baik, bahwa yang Budi lakukan telah menyakiti putranya, bahwa Budi bukan anak yang baik, bahwa Budi bukan teman yang memberikan pengaruh baik untuk anak-anak lain, bahwa Budi menyuruh putra saya untuk menjauhi dan tidak bermain lagi dengan putranya, bahwa Budi begini dan begitu.

Setelah lebih dari tiga puluh menit berlalu, saya mulai jengah. Tapi beliau belum menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak pulang. Pembicaraan pun mulai bervolume, berpanjang kali lebar kali tinggi. Makin beranjak dari Budi, karakternya, saudaranya dan keluarganya. Semua yang menurut beliau membuat Budi menjadi seperti yang beliau persepsikan sendiri. Saya makin bingung tujuan beliau datang ke rumah saya.

Telinga saya sudah memerah. Saya juga sudah kehilangan kesabaran untuk mendengarkan dengan baik. Saya pun menyerah. Saya mulai menarik nafas panjang, exasperated dan bertanya, “So, what do you want me to do?” Dan jawaban beliau juga tidak jelas. Mungkin beliau sendiri tidak bisa mengucapkannya dengan gamblang karena jika beliau meminta saya berbicara dengan putra saya untuk bermain hanya dengan putranya dan menjauhi Budi, saya pasti akan mengatakan, “What makes you different from Budi, then?”

Ada satu yang membuat saya merasa cerita beliau ini begitu timpang. Sejak beliau mengucapkan Budi, saya tidak mendengar sedikitpun tentang putranya sendiri. Sebut saja dia Denmas. Apa yang sudah Denmas lakukan dan perlakuan Denmas kepada teman-temannya sepertinya tidak tersebut sama sekali di kisah yang beliau utarakan.

Saya jadi ingat, beberapa minggu yang lalu, saya juga mendapatkan pesan singkat yang demikian surprising dari seorang Ibu teman bermain putra saya juga. Sebut saja putranya dengan Raden. Ibu Raden mengatakan bahwa putra saya sering memukul Raden, dan meminta saya untuk menasihati putra saya supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi.

Saya mempercayai sebuah logika sederhana: tak akan ada asap tanpa api. Maka sebelum saya berbicara dengan putra saya, saya ingin mendengar versi cerita Raden. Saya pun mengajukan beberapa pertanyaan untuk kejelasan sikap putra saya. Salah satunya adalah, “Ibu, mohon ditanyakan Raden, apa sebab putra saya memukul Raden.” Jawaban beliau datang saat itu juga, “Ya langsung dipukul begitu. Ga ada sebabnya.”

Meski saya menyadari bahwa putra saya tidak sempurna dan sering usil juga, sepengetahuan saya, putra saya juga tidak sebodoh itu untuk memukul temannya tanpa alasan. Maka saya pun bertanya, mendengarkan versi cerita putra saya yang sungguh berbeda dari ‘ga ada sebabnya’. Betul, putra saya memang memukul Raden, di situasi yang berbeda pula dari ‘langsung mukul begitu’. Karena ternyata Raden dan putra saya sering bermain bergaya silat, berkung fu ria seolah mereka ada dalam adegan laga. Seperti yang bisa Anda bayangkan, accidents happen. Terkadang Raden tanpa sengaja memukul putra saya, dan demikian pula sebaliknya.

Sebagai seorang Ibu, saya menyadari, demikian mudahnya menjadi orangtua yang ‘buta’ atas sikap buah hati kita sendiri. Mudah untuk memilih versi cerita siapa yang ‘pantas’ untuk dipercayai meski belum berarti yang ‘pantas’ dipercayai adalah kenyataan yang terjadi. Apalagi jika buah hati kita berada di usia perkembangannya yang membuat mereka menjadi jauh lebih ‘kreatif’ bercerita. Terlebih ketika apa yang mereka ceritakan hanya berdasarkan pada tujuan utama mereka untuk membela dirinya sendiri dan sekedar memastikan rasa tidak nyaman melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan kepada orang lain bisa tertutup rapat sekaligus melemparkannya kepada orang lain. Mencari aman sendiri.

Seperti yang tertuang di situs parenting yang saya temukan:

In the middle years (6-9 years), your child might tell lies or steal, and might not yet have fully developed a proper understanding of right and wrong... Your child’s thinking processes are subject to her emotions and self-esteem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun