Mohon tunggu...
Mila
Mila Mohon Tunggu... Lainnya - 🙊🙉🙈

Keterusan baca, lupa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fokus Benar

28 Januari 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Putra saya berjalan keluar dari tempatnya belajar seminggu sekali. Air mukanya terlihat redup meski tubuhnya masih tegap. Di matanya bisa kau lihat rasa sakit yang mengambang bersama jernihnya air yang, jika kau tidak hati-hati, hanya kau anggap sambil lalu saja. Saya tidak perlu bertanya. Cukup dengan senyum yang sedikit terpaksa, dia tahu bahwa saya tahu. Ini bukan yang pertama terjadi. Dari pantulan rear mirror, dia melihatku dan ikut tersenyum, meski tentu saja bisa kau lihat ada getir di sana. Jadi, saya hanya mengemudi pulang, in silence. Sesampainya di rumah, saya langsung melihat hasil pekerjaannya hari itu. Dari halaman ke halaman dan ke halaman yang lainnya dan terus yang lainnya, yang hanya hari ini saja dikerjakan, putra saya tidak melakukan banyak kesalahan. Bahkan jika dihitung dari satu baris soal setengah halaman, tidak ada kesalahan yang melebihi jumlah jari di satu tanganku ini. Jadi persoalannya hanya satu saja. Kesalahan putra saya ada di tipe soal yang sama. Jadi, dengan perbandingan jumlah benar dan salah, apakah yang salah yang tetap harus diberikan porsi perhatian yang lebih besar?

Well, saya jadi berpikir, selama ini apakah kita semua juga memiliki kecenderungan yang sama ya? Tak peduli seberapa banyak yang benar, kalau ada yang salah itu yang pantas diperbaiki. Yang membutuhkan perhatian lebih. Jadi, fokus justru lebih besar pada yang salah.

Sejauh ini bukannya itu juga yangselalu kita dapatkan? Dari setiap tes, terkadang yang menjadi perhatian adalah kesalahan yang ditandai dengan tinta merah. Itu yang lebih sering dihitung. Dari menonton TV, lebih banyak program gosip, mengintip kehidupan orang lain, apalagi kalau ada pihak-pihak yang perlu disalahkan. Dari berita politik, ini lebih seru lagi dengan para pimpinan dan wakil rakyat yang lebih banyak mengkritik dan serba salah. Fokus lagi-lagi, lebih banyak, kepada kesalahan. Toh, dari lingkup yang lebih kecil, asal kita tumbuh, keluarga, juga melakukan yang sama. Tak perlu jauh-jauh, lhah wong, saya juga melakukannya. Saking terbiasanya dengan sikap yang begini, sampai tanpa kesadaran pun semua meluncur begitu saja. Contoh yang paling sederhana adalah ketika anak-anak pulang dari menyelesaikan ulangan mereka. “Bisa tidak ulangannya?” tanpa menunggu jawaban pun (atau kalau dijawab pun kadang kita juga masih menambahkan, “Ah, kamu ni kalau ditanya bisa ga, selalu jawabnya bisa!”) kadang kita sudah bertanya yang lain, “Ada yang ga bisa? Apa aja yang ga bisa? Salahnya berapa?”

Begitulah yang terjadi, porsi perhatian kita lebih banyak kepada yang salah. Fokus besar kepada salah. Sampai-sampai saking besarnya perhatian kita kepada yang salah, yang benarnya banyak pun tetap tak terlihat. Yang lebih penting adalah salah. Jadi kita kemanakan benar?

Seperti kebanyakan orang tua yang lain, saya juga sering mengatakan kepada putra saya, “Be grateful, son!” Apalagi ketika anak meminta dan meminta dan meminta terus. Meminta mainan, dibelikan satu, nambah lagi. Meminta Mama sabar pun juga dikasih, meski tetap diuji sampai bisa mendorong batas sabar (dan aturan) sampai jauh. Begitu juga dengan pasangan hidup yang sering mengeluh meminta pasangannya untuk bersyukur, nrimo dengan semua yang sudah tersedia. Bagus memang. Saya juga setuju. Hanya, pernahkah kita diam untuk menyadari bahwa bentuk syukur dan nrimo harus datang dari diri sendiri? Bukan untuk diminta. It’s given, not granted. Yang hanya bisa diberikan, justru makin sulit ketika diminta, apalagi diperintah. Bagaimana kita bisa memberikan syukur, jika setiap ada kesalahan, itu juga yang justru menjadi topik sepanjang sisa hari. Bagaimana kita memulai untuk merasa bersyukur, jika porsi perhatian kita justru lebih banyak kepada yang tidak enak untuk dibahas. Bagaimana kita bisa bersyukur, jika yang benar, meskipun sudah banyak, tetap sedikit mendapatkan perhatian. Bagaimana bisa bersyukur, jika salah justru lebih sering jadi ‘trending topic’ dan menenggelamkan benar.

Seperti saya bilang tadi, bersyukur harus datang dari diri sendiri. Termasuk yang suka meminta siapapun untuk melakukannya. Karena dari yang terlihat, bisa terasa dan menular. Jika kita memulainya sendiri, bersyukur untuk semua hal kecil yang kita miliki, mungkin kemudian orang-orang yang hidup bersama kita pun, yang tadinya kita minta-minta untuk bersyukur, justru merasa tergerak untuk melakukan yang kita mulai baik.

Salah satunya mungkin bisa dengan mencoba untuk tidak memberikan porsi perhatian lebih kepada kesalahan. Bahkan, kita bisa mulai memberikan perhatian lebih kepada benar. Seberapa banyak yang sudah orang-orang di sekitar kita lakukan untuk membuat hidup kita lebih mudah dijalani. Seberapa jauh anak kita bersedia membantu melakukan sesuatu untuk (setidaknya) dirinya sendiri tanpa meminta bantuan, tanpa bermain perintah. Seberapa rajinnya orang-orang yang hidup bersama kita mengembalikan barang-barang kembali ke tempatnya. Seberapa (kecilnya) waktu yang dapat kita habiskan dengan orang-orang tercinta kita. Seberapa nikmatnya secangkir teh hangat yang dihidangkan di hadapan kita. Seberapa manisnya pujian atas benar yang kita lakukan.

Bayangkan saja jika di sekolah atau di institusi belajar manapun, dalam setiap tes, yang terhitung adalah yang benar. Jika tanda tinta merah justru diberikan di nomor-nomor yang benar. Mungkin dengan begitu, anak didik pun merasa bisa dengan perhatian yang lebih banyak kepada yang benar. Atau, di rumah, ketika ada yang melakukan kesalahan, cukuplah dengan menunjukkan kesalahannya, dan biarkan itu sinks in untuk mengangkat kesadarannya sendiri. Bahkan jika mereka sudah tahu kesalahannya sendiri, tak perlu lah kita menambahkan panjang, lebar dan tinggi, apalagi jika sudah mengatakan kata maaf. Porsi besar untuk benar.

Bayangkan saja jika semua orang diberi kesempatan untuk melakukan lebih banyak benar hanya karena senang mendapatkan perhatian di sana, di tempat yang semestinya mendapatkan lebih banyak perhatian. Mungkin anak-anak (dan yang belum dewasa) akan segera berhenti melakukan tindakan bodoh untuk mencari perhatian. Mungkin saja yang terjadi justru sebaliknya, tergerak melakukan banyak hal benar untuk mendapatkan perhatian yang memang pantas mereka dapatkan.

Bayangkan saja, jika di masyarakat kita, semua orang berlomba-lomba melakukan benar untuk menjadi bahan berita yang membuat mereka terkenal. Tak harus sensasi yang nyleneh bukan? Cukuplah dengan sensasi benar yang menarik lebih banyak perhatian semua lapisan masyarakat.

Bayangkan saja, jika kemudian semua mencoba mencari yang benar dan indah dari orang-orang terdekat kita. Melupakan salah dan fokus pada yang layak dipuji, yang benar, yang indah. Tentunya di penghujung hari, semua akan menutup mata dengan senyum senang.

Yah, itulah mengapa saya awali dengan kata ‘bayangkan’. Tapi setidaknya kita bisa memulai kebiasaan ini dari diri kita sendiri. Siapa tahu, seperti virus, ikut menjangkiti setidaknya orang-orang di sekitar kita. Indah, bukan?

Jadi, next time kita bertanya kepada anak kita tentang tes hari itu, cobalah dengan pertanyaan, “Bisa? Berapa banyak yang bisa?” Mungkin dengan begitu kita juga memulai kebiasaan baik untuk fokus lebih kepada yang benar.

Mungkin dari awal itu juga, pada akhirnya kita tidak perlu melihat wajah-wajah redup yang tersayang di sekolah, di rumah, di tempat les, di tempat kerja, dimanapun, merely karena mereka merasa dihargai, diterima dan merasa bisa, mampu untuk melakukan lebih banyak benar. Mungkin dengan begini pula, kita terdorong untuk melakukan dan menyelesaikan lebih banyak benar, meminimalisir salah dan, yang terbaik, belajar untuk memperbaiki yang salah supaya menjadi lebih banyak benar untuk diperhatikan.

As for my son, di penghujung hari dia bercerita, atas kemauannya sendiri, bahwa gurunya marah dengan hampir semua muridnya karena alasan yang berbeda-beda. Untungnya dia tersenyum dan mengatakan, “Don’t worry Mum! I’ll do it right next time.” Dengan binar yang kembali cerah, dia ngeloyor pergi untuk bermain sepeda. Well, what more can you expect?

Happy hunting ‘right(s)’!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun