Pendahuluan
Ada dua gaya belajar yang ditawarkan oleh Paulo Freire. Paulo Freire (19 September 1921 – 2 Mei 1997)  pada  dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan). Dia berpendapat bahwa pendidikan bukan untuk memperbudak namun membebaskan. Bagi Freire pendidikan dapat membebaskan setiap orang dari perbudakan dan kebisuan. Pendidikan tidak hanya terpaku pada aturan-aturan kaku yang dibuat oleh kehendak dan kepentingan segilincir penguasa. Dalam praktek pendidikan, pendidik harus bebas dan demikian juga terdidik. Freire selaku filsuf dan tokoh pendidikan Brasil terus menemukan paradigma-pradigma baru dalam pendidikan yang diarahkan oleh penguasa atas kepentingan dan upaya kapitalisasi pendidikan. Kritiknya atas pendidikan konvensional dimana guru adalah diguguh dan ditiru dengan mengahadirkan pradigma gaya belajar belajar hadap Masalah. Dimana proses pengajaran menjadi proses pembelajaran. Belajar itu harus interaktif, bukan dominasi satu pihak dalam hal ini pendidik. Oleh karena itu, muncul pendidik harus dibebaskan paradigma yang tidak interaktif ini.Â
a. Pendidikan Gaya Bank
Pendidikan diera sekarang masih banyak guru menjadi dominan dalam proses pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini guru menjalankan proses pengajaran bukan lagi proses pembelajaran. Guru sadar atau tidak, selalu menjadikan siswa sebagai objek yang perlu digarap atas kepentingannya. Siswa dipandang sebagai kertas kosong yang perlu dicatat atau dicoret oleh guru. Dalam hal ini disebut teori tabula rasa. Guru menganggap bahwa siswa siswa harus meniru apapun yang diajarkan oleh mereka. Diluar dari itu tidak benar. Pada akhirnya, siswa jarang diberikan kesempatan untuk bertanya. Demikian juga siswa takut bertanya karena dominasi guru dalam pembelajaran sehingga interaksi antara guru dan siswa jarang terjadi. Hal ini berakibat pada siswa menjadi pasif dalam proses pendidikan itu sendiri.Â
Guru selalu menghabiskan waktu dengan secara total untuk mengajarkan apapun materi yang disiapkan oleh mereka. Guru benar-benar memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan mendeliver apapun yang dimiliki kepada siswa tanpa ada pertanyaan, sanggahan atau kritik atas pengajaran. Siswa disiapkan dan diatur rapi tanpa suara lalu membisu didalam kelas, mendengarkan dan menyimak dan meniru dan menyalin apapun yang diajarkan oleh guru, sehingga yang ada didalam otak siswa mereka hanya sebatas pada pengetahuan yang diberikan oleh guru. Waktu bertanyapun jarang sekali diciptakan, walaupun dalam rencana pembelajaran sudah dikemas. Ketika ada pertanyaan siswa diluar dari materi pengajaran, maka guru membatasi bahkan dianggap bukan bagian dari topik pengajaran. Guru mengarahkan selalu pada apa yang ada dalam pikirannya. Itu sebabnya, pendidikan model semacam ini disebut sebagai gaya bank. Guru selalu menabung pengetahuannya, gaya belajarnya, serta karakternya secara baik menabung dalam otak siswa. Ini juga bagian dari sebuah paradigma lama terkenal yaitu guru patut diguguh dan ditiru. Dalam era sekarang sesungguhnya paradigma ini tidak relevan lagi. Era modern memiliki banyak sumber belajar, oleh karena itu siswa bukan lagi seperti objek yang digarap atas kepentingan guru. Biarkan siswa diajak berkomunikasi dan meminta pendapat mereka dan mengusulkan alternatif pembelajaran.Â
b. Pendidikan Gaya Hadap Masalah
Pendidikan hadap masalah merupakan jelmaan dari kata pembelajaran (interaktif). Hadap masalah merupakan suatu paradigma pembelajaran yang sangat demokratis. Pembelajaran ini merupakan bagian dari pendidikan demokratis. Artinya, pendidikan diterapkan dalam sutau sekolah secara terbuka, dilaksanakan atas kepentingan dan kebutuhan bersama. Bukan atas kemauan dan kehendak guru, seperti gaya bank diatas. Pendidikan hadap masalah diharapkan ada keterlibatan pihak lain, yaitu orangtua, siswa itu sendiri dan guru. Terkait dengan ini, guru memanage skenario pembelajaran dengan baik, dimana memberikan ruang diskusi lebih banyak agar guru mengetahui sejauhmana potensi yang dimiliki siswa dan juga kekuarangan mereka. Dengan gaya belajar ini, guru dengan mudah mendeteksi kemampuan literasi, kemampuan numerasi, ide kreatif, problematika lain pada siswapun akan diketahui oleh guru. Dengan demikian, guru dapat menolong bagian yang perlu ditolong. Dengan gaya belajar ini juga gurupun dapat mendiaknosis permasalahan pembelajaran siswa di sekolah dan diluar sekolah. Misalnya, terkait dengan hambatan belajar. Guru musti memposisikan diri sebagai fasilisator, dinamisator dan juga moderasi pembelajaran. Guru menghargai pendapat siswa dengan penuh kasih sayang dan terbuka. Guru berusaha minimal menjangkau setiap siswa yang ada dalam kelas. Pengelolaan kelas dengan berusaha mengenali siswa dengan baik. Guru berusaha menghilangkan dominasi dirinya dan berusaha menjadikan siswa sebagai teman diskusi (disscussion partner). Berusaha menerima masukan dan mengelolah pendapat mereka. Dengan gaya hadap masalah ini, guru akan semakin mantap dalam pengetahuan barunya, karena guru berusaha menemukan jawaban dari interaksi yang dibangun. Demikian juga, siswa akan puas dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka.
Dengan gaya belajar hadap masalah berpengaruh secara signifikan dalam hasil belajar. Karena, proses yang baik tentu mendapatkan hasil belajar yang baik pula. Pertanyaan urgen disini yaitu apakah negara kita dapat menerapkan gaya belajar ini? Jika tidak maka perlu adanya menerapkan gaya belajar ini, agar pendidikan kita semakin baik.Â
Mikaus Gombo
Penulis Mahasiswa Pendidikan Doktoral (S3) Universitas Pendidikan Ganesha, Bali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H