Taksi memang sudah akrab bagi kita. Taksi memiliki kelebihan-kelebihan yang tentunya menguntungkan bagi kita, termasuk saya yang memang banyak bergantung terhadap alat transportasi ini.
Munculnya Blue Bird Group di Palembang menjadi angin segar bagi pencari transportasi dengan keamanan dan kenyamanan lebih di Palembang, apalagi di Palembang banyak yang bergantung pada alat transportasi umum.
Pikir saya pada awalnya seperti ini, “Enak juga ya kalo nanti di bandara langsung bisa naik blue bird, gak harus dijemput lagi.”. Ternyata kami salah besar ! Taksi Blue Bird tidak diperbolehkan untuk melayani jasa dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II setelah para supir taksi bandara (baik yang formal maupun tidak) berunjuk rasa agar Blue Bird Group tidak melayani penumpang dari bandara SMB II.
Bisa kita lihat bahwa mental persaingan di Palembang cukup lemah, padahal seharusnya mereka terima dan meningkatkan standar pelayanan mereka pula.
Kenapa saya tidak suka dengan taksi-taksi di bandara SMB II ?
Mereka suka ‘maksain’ ! Bagaimana tidak, ketika saya bilang bahwa bakal ada yang menjemput saya, lalu seorang supir taksi berkata dengan nada memaksa bahwa lebih baik saya naik taksi si supir tersebut.
Bukan hanya itu, ketika saya dan keluarga mencoba menggunakan jasa taksi di bandara, si supir pun merokok dan membuka jendela dengan lebar padahal secara etika hal tersebut kurang sopan terhadap penumpang.
Lalu, apakah pelayanan taxi Blue Bird di Palembang cukup baik ?
Menurut saya iya, namun ketika saya dan teman saya mencoba naik taksi Blue Bird dari PS Mall menuju ke rumah, saya dan teman saya dimintai uang sebesar dua ribu rupiah, dan ternyata itu untuk dibayarkan kepada ‘Tuan Tanah’. Si tuan tanah ini entahlah seolah-olah ia yang punya tanah padahal toh itu tempat umum, malah dia minta-minta uang / ‘palakan’ kepada para supir. Perilaku seperti inilah yang menjadi bibit tindak korupsi.
Saran saya terhadap Pemerintah Kota Palembang adalah, sebaiknya dibahas lagi tentang layanan transportasi bandara, karena banyak yang merasa kurang nyaman. Lalu, seharusnya pemerintah bukan hanya fokus terhadap infrastruktur kota, tetapi non-infrastruktur kota, karena menurut saya, mental penduduk harus dibina lagi agar jangan sampai kota kita yang potensial ini jangan sampai ada ‘moral lacks’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H