Mohon tunggu...
Michael Agustinus
Michael Agustinus Mohon Tunggu... -

Penulis bebas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Eksportir, Swasembada, Menjadi Importir Beras

9 Maret 2015   18:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:56 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Butiran beras memang kecil, tapi memiliki arti yang sangat besar. Begitulah peribahasa menggambarkan betapa pentingnya beras yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 250 juta orang. Akhir-akhir ini masalah beras kembali mengemuka akibat melonjaknya harga beras hingga 30 persen. Pasokan yang kurang akibat paceklik panjang, produksi yang tidak cukup, hingga mafia beras diduga menjadi penyebabnya.

Pemerintahan Jokowi-JK pun menyadari pentingnya beras. Karena itu, Presiden Jokowi menargetkan swasembada beras, jagung, dan kedelai dalam 3 tahun. Bila produksi mencukupi, tentu lonjakan harga beras tidak akan terjadi. Beras sendiri memiliki perjalanan kisah panjang di Nusantara. Gara-gara butiran beras yang kecil, penguasa-penguasa besar bisa kehilangan kekuasaannya.

Awalnya Nusantara Eksportir Beras

Muhammad Iskandar, pengajar Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia, menuturkan bahwa dahulu Nusantara bukan importir beras, malahan eksportir beras. Kerajaan Majapahit merupakan pemasok beras ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, misalnya ke Malaka, Semenanjung Malaya. Hal ini dibuktikan dalam Suma Oriental karya pelaut Portugis, Tome Pires. “Di situ tercatat bahwa komoditas yang laris dari Jawa ialah beras. Malaka itu kan bukan penghasil beras, tapi mereka konsumen beras, beras yang mereka butuhkan didatangkan dari Majapahit,” ujarnya.

Sejak era kekuasaan Majapahit pada abad ke-14, beras menjadi salah satu komoditas utama Nusantara. Bahkan, karena perdagangan beras ini sangat menguntungkan, beras masuk sebagai komoditi yang perdagangannya dimonopoli oleh raja. Sentra-sentra utama beras Kerajaan Majapahit berada di Kudus, Jember, dan   Pati. Setelah runtuhnya Majapahit, wilayah-wilayah ini tetap menjadi sentra beras yang besar dan beralih menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Demak.

Kerajaan Demak juga mengekspor beras dari sentra-sentra itu ke Malaka. Dari Malaka, beras-beras tersebut dijual lagi ke berbagai wilayah. “Biasanya cukup dijual ke Malaka, nanti dari Malaka ada pembeli yang datang dari Semenanjung Melayu, dan wilayah Asia Tenggara lainnya,” ungkap Iskandar. Kegiatan ekspor beras dari Kerajaan Demak sempat terganggu setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511.

Setelah Portugis bercokol di Malaka, jaringan perdagangan yang sudah terbentuk lama di Malaka hancur. Pedagang-pedagang Muslim pun tak mau lagi berdagang di Malaka, termasuk Kerajaan Demak. Akibatnya, surplus produksi beras dari Pulau Jawa tak bisa dijual, Kerajaan Demak pun mengalami kerugian hebat. “Karena itu, mereka mengirim salah seorang pangerannya, Pati Unus, untuk memimpin armada Kerajaan Demak bertempur bersama Kerajaan Aceh sebagai upaya mengusir Portugis dari Malaka,” katanya.

Karena dijadikan komoditas yang menguntungkan untuk diekspor, Iskandar melanjutkan, pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara belum ada upaya khusus untuk mengendalikan harga beras. Harga beras diserahkan kepada mekanisme pasar. “Pada masa lampau, hanya ada bukti bahwa raja memonopoli perdagangan padi, tapi yang mengendalikan harga adalah pasar,” tukasnya.

Beras dan Gejolak Sosial di Era Kolonial

Pengendalian harga beras di Nusantara baru dilakukan pertama kali oleh Pemerintah Kolonial Hndia Belanda saat berlangsungnya Perang Dunia I. Ketika Perang Dunia I berlangsung, jalur perhubungan dari wilayah-wilayah koloni di Asia ke Eropa tersedat karena Jerman memblokade Eropa, arus perdagangan dunia terhambat. Harga-harga barang melambung akibat hal ini, termasuk beras. Pemerintah kolonial mengkhawatirkan dampak lonjakan harga beras, terutama di daerah-daerah yang bukan lumbung padi, misalnya Batavia.

Kalau harga beras naik, Belanda pun harus menaikkan gaji ambtenaar-ambtenaar (pegawai negeri sipil) pribumi yang mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Selain itu, pemerintah kolonial juga takut kenaikan harga beras akan memicu pecahnya pemberontakan. “Kalau harga beras naik, berarti Belanda harus menaikkan gaji ambtenaar juga. Lalu bisa-bisa muncul pemberontakan,” papar Iskandar.

Uniknya, upaya Belanda mengontrol harga beras ini menjadi latar belakang terjadinya Peristiwa Cimareme di Garut pada 1918. Ketika itu, harga beras membumbung sampai 9 gulden per pikul dari normalnya hanya 4 gulden per pikul. Di saat posisi harga setinggi itu, pemerintah kolonial mewajibkan kepada siapa pun yang memiliki tanah lebih dari 4 bau untuk menjual produksi berasnya minimal 2 pikul kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan hanya 4 gulden. “Ini kan boleh dibilang petani jadi menyubsidi pemerintah,” katanya.

Haji Hasan, salah seorang petani, menolak menjual hasil panennya kepada Belanda karena merasa dirugikan. “Dia menolak, lalu dianggap membangkang. Padahal, Haji Hasan protes dengan alasan konkrit. Kalau dia jual padinya dengan harga segitu, tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Akhirnya dia dan keluarganya dieksekusi oleh pemerintah,” ucap Iskandar.

Makin lama, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda makin merasakan perlunya pengendalian harga beras, maka pada dekade 1930-an dibentuk Indische Bedrivenwet, semacam Bulog saat ini, untuk menjaga stabilitas harga beras. Pada masa 1930-an, dunia sedang mengalami depresi ekonomi yang hebat (Great Depresion) sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat merosot.

Di samping pembentukan badan yang mengurusi logistik, pemerintah kolonial juga berupaya meningkatkan produksi padi agar harga beras tetap stabil. Caranya dengan memasukan varietas padi unggul dari Birma ke Indonesia. Beras tersebut kini dikenal sebagai ‘Beras Segon’ yang berasal dari kata Saigon, kota asalnya di Birma (Myanmar). “Digalakan juga lumbung-lumbung padi di tiap desa,” terangnya.

Upaya Swasembada Pangan Pasca Kemerdekaan

Kedua upaya pemerintah kolonial tersebut berlanjut setelah Indonesia merdeka. Di bawah Menteri Kemakmuran Rakyat I.J. Kasimo, pemerintah menggenjot produksi beras melalui Panca Usaha Tani. Pada 1953 didirikan Yayasan Bahan Makanan (BAMA) yang kemudian berganti nama menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM), ini merupakan cikal bakal Bulog. “Mulai diberikan juga kredit dari Bank Tani Nelayan (yang nantinya menjadi BRI) kepada petani. Tapi sering terjadi kredit macet, gagal lah program itu,” Iskandar menuturkan.

Pada era Demokrasi Terpimpin, saat kekuasaan terpusat pada Bung Karno, beliau prihatin dengan impor beras Indonesia yang sangat besar hingga menggerus devisa negara. Maka muncul gagasan diversifikasi pangan, khususnya jagung. Pertimbangannya ialah karena jagung lebih mudah ditanam ketimbang padi, dan juga lebih cepat panen. “Saat itulah mulai orang-orang makan nasi jagung. Tapi program ini juga gagal karena kredit macet,” katanya. Kebjakan ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi yang buruk saat itu. Tujuan diversifikasi pangan ialah mengrangi peran beras sehingga tidak timbul gejolak sosial bila harga beras melambung.

Pasca G30S, tiba-tiba terjadi krisis pangan akibat kemarau panjang pada 1966-1967, kekuasaan Bung Karno makin goyah akibat hal ini. Krisis pangan pada 1967 ini mendorong pemerintahan Orde Baru yang naik menggantikan pemerintahan Soekarno melakukan Revolusi Hijau, yakni dengan intensifikasi pertanian di Jawa dan ekstensifikasi petanian di luar Jawa. “Penanaman padi menjadi lebih canggih cara pengolahannya ditekankan juga penelitian varietas-varietas unggul, ada varietas IR, sehingga produksi padi lebih banyak,” dia mengungkapkan.

Pada 1967 pula untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia membentuk badan penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog. Tugas pokok Bulog adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Seperti halnya pemerintah kolonial, Orde Baru juga menjaga harga beras tetap rendah supaya gaji PNS juga tidak perlu naik terus-terusan.

Ketua Harian Perhimpunan Ekonomi Pertanian, Bustanul Arifin, mengungkapkan bahwa di era Orde Baru inilah swasembada pangan pertama kali diupayakan secara serius. Upaya pencapaian swasembada pangan ini terbantu oleh oil boom yang terjadi pada dekade 1970-an. Lonjakan harga minyak dunia ini memberi keuntungan besar pada Indonesia yang waktu itu masih menjadi eksportir minyak besar. 60 persen pendapatan negara ketika itu disumbangkan oleh ekspor minyak bumi.

“Waktu itu Kepala Bulog Bustanul Arifin meminta profit dari minyak bumi dipakai juga untuk stabilisasi harga beras,” ujarnya. Pemerintah Orde Baru yang memiliki ruang fiskal luas dari pendapatan minyak bumi pun menyambut usulan itu. Presiden Soeharto tak ingin dirinya diturunkan rakyat akibat harga beras tinggi seperti pendahulunya. “Jadi dia perintahkan perwira-perwira militer pada waktu itu untuk mengamankan logistik.”

Dia menambahkan, Soeharto yang berlatar belakang militer menggunakan pendekatan militer dalam upaya mencapai swasembada pangan. Dalam dunia kemiliteran, penguasaan logistik merupakan salah satu strategi utama memenangkan perang. Maka Soeharto mengumpulkan para teknokrat untuk menyusun kebijakan swasembada pangan. Petani diberi kredit murah (Insus) pada awal Revolusi Hijau. “Di tingkat petani harga tidak boleh jatuh, kalau harga jatuh maka Bulog harus membeli dengan harga yang dijamin pemerintah, sistem insentif dikembangkan dengan baik,” dia menjelaskan.

Pada 1978, upaya swasembada pangan semakin mantap. Insus digerakan, perekrutan penyuluh pertanian dilakukan secara besar-besaran, “dilakukan pengamanan secara militer, ada Babinsa. Babinsa mendampingi penyuluh mengajarkan teknik-teknik bertani. Programnya terorganisir dengan baik karena didukung militer,” ungkap Bustanul. Pada saat itu sentra-sentra produksi beras mulai dari Pidie, Simalungun, Solok, Palembang, Lampung, sampai Maros, Sulsel, Manggarai secara baik menerapkan varietas baru IR, mulai dari IR 50, IR 64, dan sebagainya.

Dengan adanya keleluasaan anggaran karena pendapatan negara dari ekspor minyak melonjak, pemerintah Orde Baru juga mendukung peningkatan produksi pangan dengan riset-riset. Bustanul mengibaratkan program swasembada pangan di era Orde Baru seperti strategi perang, sangat terkoordinasi dengan baik dan memiliki arah yang jelas. “Dengan upaya-upaya seperti itu, maka masuk akal tahun 1983-1986 kita bisa swasembada pangan,” sambungnya.

Hancurnya Swasembada Pangan

Namun, setelah mencapai swasembada pangan dan mendapat penghargaan dari FAO pada 1986, pemerintah Orde Baru mulai kehilangan fokus pada upaya mempertahankan swasembada. Apalagi, harga minyak melorot jauh pada akhir 1980-an, pemerintah pun mengalihkan perhatiannya pada pengembangan industri manufaktur untuk menggenjot ekspor non-migas, sebab minyak bumi tak lagi membawa banyak berkah. Di sektor pertanian, pemerintah mengalihkan perhatiannya pada sektor perkebunan, terutama kelapa sawit. “Pemerintah mulai kehilangan fokus pada pangan, lengah setelah mencapai swasembada,” kata Bustanul.

Kondisi ini diperparah dengan kekeringan panjang yang melanda Indonesia pada 1987, dan kekeringan yang lebih parah lagi pada 1992 akibat datangnya El Nino. “Di situ kita mulai impor beras terang-terangan, kalau sebelumnya masih diam-diam,” dia mengungkapkan. Upaya swasembada pangan memang membutuhkan anggaran besar. Ketika anggaran pemerintah mulai defisit karena tak lagi didukung pendapatan besar dari minyak bumi, upaya swasembada pangan mulai ditinggalkan.

Sedikit berbeda dengan Bustanul, Iskandar menilai bahwa sebenarnya pemerintah Orde Baru pun tak serius mengusahakan swasembada pangan. Swasembada tahun 1986, menurutnya, hanya karena Soeharto ingin membuktikan bahwa politik pangannya berhasil. Meski mencapai swasembada, kesejahteraan petani tidak diperhatikan. “Petani sebagai produsen sama sekali tidak berhasil, muncul pendapat ‘buat apa menanam ‘padi’. Maka mereka beralih ke usaha tanam palawija, dan sebagainya,” ucapnya.

Produksi beras pun langsung jeblok lagi setelah 1986. Di samping itu, kroni-kroni Soeharto juga ikut bermain. “Mereka (kroni-kroni Soeharto) tidak sepenuhnya mendukung swasembada beras karena mereka mendapat fee dari impor beras,” dia membeberkan. Dengan demikian, swasembada pangan diam-diam digembosi untuk membuka keran impor beras. Dari izin impor beras, mereka mendapatkan keuntungan. “Akhirnya produksi beras kita merosot lagi,” paparnya.

Impor beras makin tak terbendung setelah jatuhnya Soeharto pada 1998. Kata Bustanul, penyebabnya ialah runtuhnya pilar-pilar yang menjadi prasyarat kebijakan swasembada pangan. Contohnya, Bulog tak lagi memiliki kewenangan besar seperti sebelum 1998, pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kontrol kuat untuk menjalankan programnya sampai ke desa-desa, stabilitas politik pun terganggu sehingga pemerintah lebih sibuk dengan ingar bingar politik ketimbang mengurus pangan. “Contoh kecilnya, penyuluh pertanian jadi kerja seenaknya, pemda nggak mengeri apa maunya pusat, dan sebagainya,” tutupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun