Mohon tunggu...
Miftakhul Khoir
Miftakhul Khoir Mohon Tunggu... -

sesuatu, bersatu...\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menu Berbuka Puasa untuk Tuhan ?

11 Agustus 2010   15:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Satu pemandangan yang selalu saja ada pada masa awal memasuki Bulan Ramadhan adalah upaya pembedaan Bulan Ramadhan dari bulan-bulan lainnya. Tidak dapat disangkal memang: BERBEDA. Hanya saja pembedaan yang dilakukan kadang-kadang malah menjadikan makna yang sesungguhnya menjadi blur.

Satu pertanyaan yang biasanya mendapat jawaban yang sederhana (dan jawaban ini dapat dibenarkan) adalah mengapa kita (baca: Muslim) diwajibkan berpuasa di Bulan Ramadhan. Untuk tataran "cemen", biasanya kita menjawab pertanyaan tersebut yang disampaikan oleh anak-anak, jawaban yang dapat kita sampaikan adalah (dari aspek hubungan antar manusia, hablumminnannaas) adalah puasa merupakan salah satu wujud empathy kita terhadap kalangan-kalangan yang ada di bawah kita secara sosial-ekonomi. Banyak orang yang saat ini masih terpaksa menahan rasa lapar karena ketiadaaan kemampuan untuk makan secara cukup. Puasa dapat digunakan sebagai sarana pendidikan untuk anak-anak bagaimana memiliki kepedulian terhadap sesama.

Konsep yang sangat-sangat sederhana dari implementasi puasa.

Konsep yang sedemikian sederhana saja dapat menjadi blur dan semakin tidak jelas dengan apa yang kita lihat di awal bulan puasa datang. Menyambut datangnya Bulan Ramadhan dengan penuh "keribetan" yang sebenarnya tidak perlu. Lomba ala "Iron Chef" pun selalu mewarnai pada awal-awal puasa. Menu-menu mewah pun berlomba-lomba dihidangkan untuk berbuka puasa. Dan yang lebih parah, tidak sedikit yang terlihat "memaksakan diri" untuk itu.  Bahkan tidak sedikit pula yang memaksakan diri untuk membuang makanan sementara di luar masih banyak orang yang tidak bisa makan dengan layak. Lalu, mau tidak mau raiblah konsep sederhana puasa yang biasa dan bisa kita sampaikan ke anak-anak kita...

Apakah Tuhan pernah menilai kualitas berpuasa kita dari menu berbuka yang kita santap?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun