Kemurnian sebuah ajaran agama dipertanyakan. Wajar saja! Nilai-nilai subyektifitas manusia memang mau tidak mau ikut andil dalam "pencemaran" kemurnian sebuah ajaran agama.
Di masa Rasulullah Muhammad SAW masih hidup, Islam dapat dikatakan masihlah murni dari campur tangan "manusia biasa". Secara sederhana dapat disampaikan bahawa control langsung dari Yang Atas masih ada dan terjaga kontinyuitasnya. Dengan jaminan inilah maka garis batas antara yang kafir dan tidak juga dapat terlihat jelas, dalam kalimat lain pengkafiran ke suatu kaum masih dapat "dibenarkan" karena masih terjadinya kontak atau komunikasi secara lansung dan "legal" antara Tuhan dengan utusan-Nya.
Dan ketika utusan sudah tidak ada lagi yang secara "legal" diakui, maka mau tidak mau kemurnian sebuah ajaran agama hanyalah "cover version". Islam versi A, Islam versi B, Islam versi C dan seterusnya. Lalu di mana saat ini Islam yang bukan "cover version"?
Pernah aku berusaha "memancing" perdebatan dengan seseorang yang sebenarnya menurut pengetahuanku berpaham "kolot" dan sulit menerima pendapat orang lain. Hanya satu kalimat yang aku utarakan: "Sekarang ini Islam sudah tidak ada lagi!". Akibat yang sudah sejak awal aku pertimbangkan benar-benar terjadi. Sebuah debat naïf yang sulit dihindari.
Sang partner debatku serta merta penuh berapi-api berusaha mempertahankan pendapatnya bahwa Islam yang saat ini ia pegang dan amalkan adalah Islam (yang sebenarnya). Lalu pada saat aku menyatakan diri sebagai pemeluk Islam juga dan ternyata secara "operasional" berbeda dengan dirinya (bahkan konsep rukun Islam dan rukun Iman juga ada perbedaan), tetap saja ia berusaha mempertahankan diri bahwa Islam yang ia pegang adalah Islam (yang sebenarnya). Satu pertanyaan sederhana (dan bodoh) akhirnya aku sampaikan: "lalu bagaimana dengan Islam yang aku peluk saat ini?"
Jawaban depensifpun akhirnya keluar: "ya, itu Islam menurut kamu"
Aku yang sudah menduga kalimat itulah yang akan muncul, balik bertanya: "lha, bukannya Islam yang kamu pegang adalah Islam versi kamu, bukan versi yang sebenarnya?"
Perdebatan naïf dan bodoh seperti di atas sebenarnya cermin diri aku juga yang sebenarnya masih jauh dari menemukan "yang sebenarnya". Tapi berangkat dari perdebatan yang naïf dan bodoh itu juga akhirnya aku mau tidak mau tetap berusaha merangkak untuk bisa berdiri, berusaha berdiri untuk bisa berjalan, berusaha berjalan untuk bisa berlari, berusaha untuk berlari agar bisa melompat setinggi-tingginya, berusaha melompat setinggi-tingginya agar bisa menemukan "yang sebenarnya" atau paling tidak mendekati "yang sebenarnya".
Dan dari perdebatan naïf di atas juga menjadikan aku menjadi orang yang bodoh untuk mengkafirkan sesama. Tuhan kita bisa saja sama, Nabi kita bisa saja sama, Kitab Suci kita bisa saja sama, tetapi mungkin bisa berbeda cara kita "bersentuhan" dengan-Nya. Jadi marilah kita saling "membiarkan" diri kita untuk mencapai kenyamanan pribadi dan kenyamanan sosial untuk dapat menyentuhnya. Bukankah hidup damai itu indah.....
*also published at: http://pembunuhtuhan.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H