Di dunia kampus, ada satu tradisi yang kerap dipraktikkan oleh mahasiswa menjelang sidang skripsi yang sering kali tidak disadari bisa berpotensi menjadi gratifikasi. Tradisi ini melibatkan pemberian konsumsi oleh mahasiswa kepada dosen penguji sebagai bagian dari proses sidang skripsi. Meskipun hal ini mungkin terlihat sebagai kebiasaan atau wujud rasa terima kasih, ada sisi lain yang dapat mengundang pertanyaan terkait dengan etika dan keadilan dalam lingkungan akademik. Mengapa penulis menyebutnya sebagai potensi gratifikasi? Karena tradisi ini bisa menciptakan ketidakadilan dan perbedaan perlakuan oleh dosen kepada mahasiswa, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi proses penilaian akademik.
Tradisi Pemberian Konsumsi: Sebuah Praktek yang Menjadi Kebiasaan
Secara umum, tradisi pemberian konsumsi kepada dosen penguji sebelum atau saat sidang skripsi sudah menjadi hal yang biasa dilakukan di banyak kampus di Indonesia. Biasanya, mahasiswa yang hendak mengikuti sidang skripsi diwajibkan untuk menyiapkan konsumsi, baik berupa makanan ringan, minuman, atau bahkan hidangan yang lebih besar. Ini sering kali dianggap sebagai bentuk rasa terima kasih atau cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada dosen yang telah membimbing mereka selama proses penulisan skripsi.
Namun, ada hal yang menarik untuk dicermati di balik kebiasaan ini. Seringkali, mahasiswa yang sudah menyiapkan konsumsi dianggap lebih "pantas" atau lebih "layak" untuk mengikuti sidang skripsi, sementara mahasiswa yang tidak menyediakan konsumsi dibiarkan kalut dalam kecemasan atau bahkan ketakutan bahwa proses sidangnya akan dipersulit atau dibatalkan. Dalam beberapa kasus yang lebih ekstrem, ada dosen yang bahkan tidak segan-segan untuk menunda atau menolak sidang skripsi jika konsumsi tidak disediakan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai prinsip keadilan dan objektivitas dalam proses akademik.
Potensi Gratifikasi
Dalam konteks pemberian konsumsi tersebut, muncul potensi gratifikasi yang harus dipertimbangkan dengan serius. Gratifikasi menurut UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam bentuk uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, atau bentuk lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dimaksudkan untuk memengaruhi kebijakan atau keputusan pegawai negeri tersebut dalam menjalankan tugasnya.
Dalam pengertian yang lebih luas, gratifikasi dapat dimaknai sebagai pemberian sesuatu yang memiliki nilai materiil kepada seseorang yang berwenang, dengan harapan atau kemungkinan mendapat imbalan, perlakuan khusus, atau keuntungan tertentu. Di dunia kampus, meskipun mungkin tidak selalu terlihat dengan jelas, praktik pemberian konsumsi ini bisa saja menjadi salah satu bentuk gratifikasi yang berpotensi memengaruhi objektivitas dosen dalam menilai mahasiswa.
Bagaimana bisa ini terjadi? Misalnya, dosen yang menerima konsumsi dari mahasiswa mungkin merasa memiliki "kewajiban" untuk memberikan perlakuan lebih baik atau lebih ramah kepada mahasiswa tersebut, meskipun penilaian terhadap skripsi mahasiswa tersebut seharusnya didasarkan pada objektivitas ilmiah semata. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak memberikan konsumsi bisa merasa terdiskriminasi atau dirugikan, karena tanpa adanya konsumsi tersebut, proses sidangnya bisa jadi lebih sulit atau bahkan ditunda. Pada titik ini, tradisi ini mulai memperlihatkan sisi yang tidak etis, di mana aspek pemberian konsumsi bisa menjadi sarana untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang seharusnya bersifat independen dan profesional.
Hak Mahasiswa dan Keberpihakan Dosen
Dalam hal ini, penting untuk menegaskan bahwa setiap mahasiswa berhak untuk mengikuti sidang skripsi tanpa adanya paksaan atau ancaman apapun. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pemberian konsumsi seharusnya merupakan keputusan pribadi mahasiswa yang tidak dapat diharapkan atau dipaksakan oleh dosen kepada mahasiswa. Jika pemberian tersebut hanya dimaksudkan sebagai ungkapan terima kasih atau sebagai cara untuk menutupi perasaan sungkan, maka semua mahasiswa, baik yang memberikan konsumsi maupun yang tidak, seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengikuti sidang skripsi.
Bila suatu kampus atau dosen mempraktikkan aturan semacam ini, maka kita perlu bertanya: apakah tindakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan integritas akademik? Sebab, dalam dunia akademik, yang lebih penting adalah kualitas karya ilmiah yang disusun oleh mahasiswa, bukan apakah mahasiswa tersebut mampu atau tidak mampu menyediakan konsumsi bagi para dosen penguji. Ketika konsumsi menjadi semacam syarat atau prasyarat yang tak terucapkan untuk bisa mengikuti sidang, kita harus mempertanyakan apakah sistem ini benar-benar adil dan transparan.
Mengapa Merugikan?
Tidak hanya merugikan bagi mahasiswa yang tidak mampu menyediakan konsumsi, praktik ini juga bisa berdampak buruk bagi kualitas pendidikan itu sendiri. Jika dosen lebih mementingkan adanya konsumsi daripada kualitas karya ilmiah, maka kita dapat membayangkan betapa terganggunya objektivitas dalam proses ujian skripsi. Dosen yang merasa "terhutang budi" kepada mahasiswa yang memberikan konsumsi bisa saja memberikan nilai yang lebih tinggi atau lebih baik hanya karena alasan non-akademik tersebut.
Selain itu, praktik ini juga dapat menciptakan ketidaksetaraan antarmahasiswa. Mahasiswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu atau yang tidak memiliki cukup dana untuk menyediakan konsumsi bisa merasa terdiskriminasi atau terpojokkan. Mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki akses yang setara untuk mengikuti sidang skripsi atau bahkan untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam proses ujian tersebut. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan.
Kewajiban Dosen
Sebagai dosen, kewajiban utama adalah untuk menguji mahasiswa secara adil dan objektif berdasarkan kualitas ilmiah dari skripsi yang diajukan. Setiap mahasiswa, baik yang memberikan konsumsi atau tidak, berhak untuk mengikuti sidang skripsi jika mereka memenuhi syarat akademik yang ditetapkan oleh kampus. Pengujian terhadap skripsi harus dilakukan dengan mengutamakan aspek ilmiah, bukan faktor-faktor eksternal yang tidak ada hubungannya dengan substansi karya ilmiah tersebut.
Sebagai tenaga pendidik, dosen juga harus paham bahwa budaya atau kebiasaan tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan yang berpotensi menciptakan ketidakadilan. Budaya adalah sesuatu yang dinamis dan dapat berubah seiring waktu, tergantung pada nilai dan prinsip yang diterima oleh masyarakat atau komunitas tersebut. Dalam hal ini, budaya pemberian konsumsi dalam sidang skripsi perlu dievaluasi dan dipertimbangkan kembali, mengingat potensi dampaknya terhadap integritas akademik dan keadilan bagi seluruh mahasiswa.
Mempertanyakan Tradisi, Menegakkan Keadilan
Tradisi pemberian konsumsi sebelum atau saat sidang skripsi memang sudah menjadi kebiasaan di banyak kampus, tetapi tradisi ini berpotensi menciptakan ketidakadilan dan merugikan mahasiswa. Pemberian konsumsi seharusnya tidak menjadi prasyarat atau syarat untuk bisa mengikuti sidang skripsi, apalagi jika hal tersebut bisa memengaruhi perlakuan dosen terhadap mahasiswa. Mahasiswa berhak untuk mengikuti sidang skripsi berdasarkan kualitas akademik dan tanpa tekanan apapun terkait dengan pemberian konsumsi.
Penting bagi kita untuk mengedepankan prinsip keadilan, objektivitas, dan integritas dalam setiap proses akademik. Dosen memiliki tanggung jawab untuk menjaga hal ini dengan memastikan bahwa penilaian terhadap skripsi dilakukan secara adil dan profesional, tanpa melibatkan faktor-faktor non-akademik. Jika kita benar-benar ingin menciptakan lingkungan kampus yang sehat, maka sudah saatnya untuk merefleksikan kembali tradisi-tradisi semacam ini dan memastikan bahwa setiap mahasiswa diperlakukan dengan setara dan adil.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H