Dua hal tersebut sudah cukup mengkhawatirkan independensi dan marwah luhur yang dimiliki MK selama ini. Bagaimana tidak, Pasal 24 ayat (1) UUD NRI menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK merupakan lembaga negara hasil reformasi yang menjadi harapan ekspektasi masyarakat agar terjadi perbaikan dalam penegakan hukum dan kehidupan berdemokrasi. Saat demokrasi semakin hari tergerus dengan pendekatan "kekuasaan", indikasi pencemaran nama baik, ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan sebagainya, MK merupakan harapan masyarakat untuk menjadi tempat perlindungan yang turut mengawasi lembaga negara lain melalui asas Check and Balances-nya.
Menurut The Economist Intelligence Unit pada tahun 2020, indeks demokrasi Indonesia hanya sebesar 6,3. Skor ini turun jika dibandingkan di tahun 2019, yaitu sebesar 6,48 dan membuat Indonesia termasuk sebagai negara dengan kategori demokrasi cacat. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt berpandangan bahwa banyak tindakan membajak demokrasi yang dapat dilakukan pemerintah, termasuk atas penerimaan lembaga yudikatif (Huda, 2021). Sebagai the guardian of constitution dan negative legislator, MK melalui Putusannya sangat mempengaruhi agenda ketatanegaraan di Indonesia, khususnya iklim berdemokrasi. Oleh karena itu, MK harus berani membatasi dirinya dari pengaruh apa pun dan menjauhi segala bentuk konflik kepentingan agar dapat berperan maksimal menjaga nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Komitmen MK untuk menjaga kemandiriannya juga semakin penting menyambut pesta demokrasi pemilihan umum (pemilu) tahun 2024. Pemilu merupakan ruang di mana masyarakat menggunakan kedaulatannya untuk menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan. Namun, demokrasi pemilu di Indonesia sendiri masih rapuh dengan diwarnai banyak kecurangan. Bahkan PHPU, termasuk PHP Kada menjadi urutan ketiga dan kedua perkara yang sering dihadapi MK setelah pengujian undang-undang.
Kita tidak akan pernah lupa bahwa MK pernah memiliki catatan buruk ketika menangani PHP Kada. Tidak tanggung-tanggung, pengalaman buruk tersebut diukir oleh Ketua MK langsung pada saat itu, yaitu Akil Mochtar. Sebagai Ketua MK periode 2013-2016, Akil terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang melibatkan ratusan miliar rupiah berupa gratifikasi dan menerima suap di belasan sengketa PHP Kada. Jika ditinjau, fasilitas dan tunjangan Hakim MK tergolong cukup tinggi, sehingga sukar untuk mengatakan bahwa kesejahteraan Hakim MK rendah. Maka, dapat disimpulkan bahwa konflik kepentingan adalah tantangan luar biasa untuk diantisipasi oleh Hakim MK. Konflik tersebut dapat berasal dari berbagai hal, baik secara individu, kesamaan latar belakang daerah, hingga kedekatan dalam suatu organisasi atau partai politik serta kekuatan politik dari pihak yang mengusulkan Hakim MK bersangkutan.
Pertanyaan besar bagi kita semua, khususnya yang menaruh harapan terhadap MK, sudah idealkah mekanisme perekrutan Hakim MK di Indonesia? Perlukah kita membuka diri terhadap mekanisme perekrutan Hakim yang jauh dari intrusi politik? Sudah cukupkah kehadiran MKMK untuk menegakkan kode etik dan perilaku serta menjaga martabat Hakim Konstitusi? Bagaimanapun proposalnya, secara individu, Hakim MK haruslah terlebih dahulu untuk selalu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum sebagaimana Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Dengan begitu, Hakim MK sebagai negarawan dapat berkomitmen untuk menjalankan asas independen dan imparsial yang melekat dalam kekuasaan kehakimannya. Meski demikian, kebebasan Hakim tetap harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Artinya, Hakim MK wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Tanpa independensi serta imparsialitas, maka kualitas Putusannya akan menjadi buruk yang berimplikasi pada hilangnya wibawa luhur MK.
Referensi
Asshiddiqie, Jimly. (2018). Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Huda, Ni'matul. (2021). Kemunduran Demokrasi Pasca Reformasi. Yogyakarta: FH UII Press.
Mahkamah Konstitusi. (2022). Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi Tahun 2022. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Siahaan, Maruarar. (2020). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H