Bisa dilihat dari lingkungan sekitar kita sendiri, berapa banyak anak muda yang tertarik sama situasi politik atau tertarik kemajuan negeri. Begitu juga bisa dilihat dari tulisan di Kompasiana, berapa banyak penulis politik yang berusia muda.
Anak muda sekarang jauh berbeda dengan anak muda dulu. Sedikit dari mereka yang mau tahu situasi politik bahkan bisa dibilang sama sekali tidak lagi mau tau tentang perkembangan politik negeri ini. (Jangankan mau bicara politik, mau tau aja juga udah malas).
Mengapa begitu?
Sebenarnya, bukan hanya anak muda saja yang tidak mau tahu tentang politik, orang yang sudah berumur pun banyak yang sudah enggan bicara tentang politik. Karena dalam politik tidak ada hitam putih, tidak ada yang benar maupun salah.
Jadinya, orang awam yang sudah lelah payah, berdarah darah, sampai bermusuhan dengan banyak teman dan kerabat -ketika mendukung salah satu parpol- sering kali dikecewakan, manakala melihat parpol yang didukungnya malah berkoalisi dengan yang dianggap sebagai musuh bebuyutan (Saya contohkan, seperti PDIP dan Gerindra deh...)
Atau semakin banyak orang yang jengah melihat perilaku orang parpol semakin hari semakin menggila.
Bisa diambil dari contoh dari kasus yang terjadi baru baru ini saja, dari mulai perebutan kursi Ketua dan Wakil Ketua DPR, tarik menarik kepentingan ketika sidang MKD pada kasus Papa Minta Saham, Korupsi (udah kebanyakan kali ya..) sampai ada orang parpol yang terlibat narkoba, kekerasan pada PRT dan lain sebagainya.
Ini kelakuan macam apa? Pertunjukan apa? Mengapa orang orang yang duduk di gedung Kura Kura jadi berubah seperti itu? Mengapa orang yang dulunya baik baik, kemudian bisa berubah menjadi koruptor atau pelaku kriminal ketika mempunyai jabatan? Ini gejala apa?
Perilaku para pemimpin yang seperti itulah, yang kemudian menimbulkan kekecewan dan kekecewaan yang bertumpuk tumpuk.
Kelakuan buruk para pemimpin jugalah yang akhirnya membuat rakyat semakin enggan berbicara tentang politik. Karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol sudah terdegradasi ke titik yang paling dalam, lalu memilih Golput pada pileg atau pilkada.
Masyarakat kemudian bertanya, siapa biang keladi dari semua perubahan itu? Siapa yang patut disalahkan dan harus bertanggung jawab ketika para pemimpin yang merasa dirinya terhormat justru berperilaku kotor?