Sah sah saja anggota MKD menguliti pelapor dan saksi, seperti yang saya tulis di atas, tentang motif pelapor.
Tapi, kita juga bisa lihat dari niat anggota MKD, yang sebelumnya sudah tidak ingin melanjutkan kasus Setya Novanto ini ke persidangan MKD.
Apalagi terlihat mereka mengulur waktu dengan pertanyaan yang aneh aneh, seperti masih mempermasalahkan terus tentang sah atau tidaknya sidang MKD. Padahal pada hari sebelumnya sudah dibuat voting.
Tidak berhenti sampai disitu niat mereka menghajar balik pelapor dan saksi. Ancaman akan memperkarakan tindakan pelapor dan saksi pun dilakukan. Karena tindakan saksi -yang bukan penegak hukum- merekam pembicaraan tanpa persetujuan pengadilan, dianggap telah melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan..
Ancaman dari Pasal 31 ayat (2) UU ITE tersebut adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta rupiah (Pasal 47 UU ITE).
Tetapi mereka lupa, dalam sistem hukum di Indonesia belum terdapat pengaturan yang tegas apakah perekaman suara atau kejadian tersebut harus dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak atau cukup salah satu pihak saja. (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5496be4d1947b/bolehkah-merekam-suatu-peristiwa-secara-sembunyi-sembunyi)
***