Karena panasnya suhu udara kampung kita beberapa waktu ini, terasa sudah lama kita tidak bersapa dalam suasana tenang dan bersenda gurau bersama sama. Oleh sebab itu saya ingin menyajikan kisah lanjutan Troll yang jelasnya sangat menarik dan semakin mengasyikan ini...
Para sahabat Kompasianer yang saya kagumi dan saya sayangi semuanya...
Selamat bertemu lagi di Edisi Khusus Troll...
Supaya tidak berlama lama, kita lanjutin aja yuuukkk...
Selain disebut sebagai Kampung Sehat, Kamposaina juga disebut sebagai Kampung Jujur. Para penduduk Kampung Kamposaina hampir semua berprofesi sebagai pedagang. Masing masing dagangan dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat penduduk kampung lainnya. Mereka saling berbelanja segala kebutuhan pada tetangga kampung dan mereka bisa menggelar bebas dagangannya di teras rumah (yang disebut sebagai Etalase Warga) tanpa kuatir ada yang mencuri.
Selain penduduknya terkenal akan kejujurannya, pengelola kampung Kamposaina memang membuat sebuah sistem canggih, yang mana, biarpun dagangan ditinggal pergi oleh sang penjual, para penduduk kampung yang berbelanja akan tetap membayar. Jadi penduduk tidak kuatir ketika meninggalkan barang dagangannya untuk bersilaturahmi ke tetangga, pergi berbelanja ke tempat lain atau melakukan kegiatan lainnya lagi.
Meski demikian, ada beberapa pengelola kampung Kamposaiana -yang dipimpin oleh Pihep Nuharga- yang mengawasi dagangan penduduk kampung. Jika ada dagangan yang dianggap bisa menarik banyak minat penduduk lain untuk membelinya, pengelola kampung Kamposaiana segera memberi tempat yang lebih baik untuk dagangan itu.
Karena, sedari awal niat pendirian kampung Kamposaina, pengelola kampung hanya ingin penduduknya bisa berbagi hati, berbagi rasa, bisa berdagang dan meski tidak mendapat keuntungan materi, banyak orang datang berdagang di Kampung Kamposaina. (Uhuuuyy....)
Oleh sebab itu, ketika orang bermukim dan berdagang, penduduk Kamposaina tidak dibebani oleh biaya sepeserpun. Tata kelola kampung Kamposaiana ini seperti mengacu pada sebuah negeri yang sangaaat jaaauuuuhhh di ujung sana, yang bernama Singupara.
Makanya, seluruh penduduk kampung bisa hidup makmur, gemah ripah loh ji nawi, tanpa pernah kekurangan suatu apapun, apalagi kelaparan. Saking makmur dan berkecukupannya, untuk membeli dagangan apapun tidak ada batasan/ limit pada kantong atau pundi pundi keuangan tiap penduduk, sehingga banyak penduduk yang sering berbelanja tanpa pernah meminta kembali karena pundi pundinya tidak akan pernah berkurang sama sekali. (Jiaaahhh...Hebat, kan...)
Begitu juga dengan si penjual, ketika menggelar dagangannya, mereka tidak berharap mendapat apapun selain daripada sebuah prestasi yang bisa dilihat oleh siapapun.