Mohon tunggu...
Mike Reyssent
Mike Reyssent Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia

Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia Graceadeliciareys@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bolehkah Presiden Dihina?

12 Agustus 2015   18:16 Diperbarui: 11 Juni 2017   09:46 3220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lama saya tidak nonton acara ILC, di TvOne yang memang beda itu. Karena beberapa hari lalu ada tulisan yang menyinggung soal TvOne, malam tadi saya inget ada acara ILC –sebuah acara yang sebenarnya saya suka- jadi saya setel dah stasiun tipi yang beda itu.

Kesan pertama, kaget banget pas liat acara ILC yang dulu biasanya penuh berjubelan sama orang orang –entah siapa aja- sekarang kosong melompong. Dulu banyak pengunjung acara ILC yang cuma dapat tempat duduk dibangku tanpa meja, sekarang justru banyak kursi tapi ga ada orang yang duduk.

Seperti biasa acara ini dibawakan oleh wartawan senior Karni Ilyas. Topik diskusi malam tadi seperti judul tulisan ini, yaitu “Bolehkah Presiden Dihina?”. Sebuah topik yang sedang hangat di media masa, menyoroti tentang Pasal 263 ayat 1, dan Pasal 264, RUU KUHP yang disodori oleh Presiden Jokowi kepada DPR beberapa waktu lalu. Padahal kedua Pasal itu sudah dihapus oleh MK, melalui Judicial Review atau uji materi pada tahun 2006 lalu.

Mari kita simak dulu apa bunyi Pasal 263 ayat 1...

Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Lalu pasal 264...

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Dalam acara itu, saya melihat ada beberapa pernyataan yang sangat menarik dari 3 tokoh nasional. Yang pertama adalah Bapak Profesor Dr. M. Mahfud MD SH, yang kedua adalah, Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet dan yang ketiga adalah Yang terhormat, Bapak Ridwan Saidi, Sejarahwan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi.

Marilah kita bahas pernyataan mereka satu persatu...

*Ketika Prof. Dr. Mahmud MD SH -mantan Ketua MK 2013 lalu- diberi kesempatan berbicara, Mahfud tanpa tedeng aling aling menyatakan bahwa tidak ada seorangpun (di ILC malam tadi) yang bisa menguraikan perbedaan antara mengkritik dengan menghina dalam bentuk tulisan, makanya untuk menerjemahkannya kedalam bahasa hukum menjadi sulit dan pengertiannya sangat kabur. Sehingga nantinya akan tidak jelas batasan mana mengkritik dan menghina.

Menurut Prof Dr Mahfud MD SH, perbedaan mengkritik dan menghina, hanya bisa dirasakan tapi tidak bisa ditulis dalam bentuk kalimat.

Terus terang, saya langsung bingung dengan pernyataan itu. Lha, koq kenapa semua yang hadir tidak ada satupun yang menyanggah pernyataan Mahfud ini. Saking penasarannya saya langsung buka KBBI, lalu saya cari arti “Mengkritik” kemudian saya cari arti “Menghina”

Terlihat sangat jelas perbedaan antara mengkritik dan menghina, bukan cuma berdasarkan perasaan saja tapi bisa juga dijabarkan melalui kalimat.

Saya ga ngerti apakah mereka –ahli ahli hukum negeri ini- sangat “bodohnya” sehingga tidak lagi mampu merangkai kata kata menjadi kalimat yang lebih jelas untuk mempertegas mengenai perbedaan antara mengkritik dan menghina?

Apakah pernyataan itu tidak merendahkan para ahli bahasa negeri ini? Atau, apakah memang bangsa ini tidak mempunyai satu orangpun ahli bahasa yang bisa membuat kalimat, yang akan membedakan antara “Mengkritik dan Menghina?” Apakah Profesor Dr Mahfud MD SH, sudah menanyakan perbedaan itu kepada para ahli bahasa?

Saya bukan ahli hukum dan juga ga ngerti soal hukum tapi saya tahu perbedaan yang jelas antara mengkritik dengan menghina, bukan hanya lewat perasaan saja.

*Lalu pernyataan Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet...

Yang terhormat Ibu Ratna Sarumpaet, seperti biasanya -setelah Jokowi memenangkan Pilpres 2014- menjadi salah satu orang yang paling getol mengkritik Presiden Jokowi tapi selalu tanpa data yang benar.

Tentu masih ingat soal pernyataan paling hebat dari Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, yang tega teganya menyalahkan Presiden Jokowi, ketika Engeline dibunuh? (Ratna Sarumpaet Numpang Ngetop Dengan Cara Menyalahkan Jokowi)

Pada kali ini, saya mencatat, Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, memberi 4 buah contoh sebab kenapa orang bisa marah kepada Presiden Jokowi.

Contoh pertama

Yang dikatakan Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, adalah ketika Presiden Jokowi memberikan 3000 traktor kepada petani, di Ponorogo tapi setelah diberikan, traktor itu kemudian diambil lagi.

Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet menanyakan kalau ada diantara petani itu mengatakan “Anjing! Kenapa traktornya diambil lagi” Apa itu penghinaan?

Pernyataan Yang terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, lalu dibantah oleh salah satu pendukung Jokowi, bahwa traktor itu bukan diambil lagi tapi dibawa ke gudang penyimpanan untuk kemudian disebarkan kepada petani.

Walau sudah dijelaskan sedemikin rupa, tapi, Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet tidak mau tahu dengan kenyataan yang sebenarnya, seakan akan pernyataan itu adalah ekspresi ungkapan dari petani yang sedang marah. Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, yang tidak pernah baca berita atau memang sengaja memenggal berita pada judulnya saja, bahkan mengatakan supaya ucapannya jangan dipotong, lalu terus melanjutkan ucapannya.

Adalah sebuah kekonyolan, jika Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, sudah tahu bahwa traktor itu dibagikan lagi kepada petani, tapi Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tetap tidak mau tau dan melanjutkan kata kata makiannya yang amat sangat sopan itu, seakan kata makian itu cermin dari budaya kita dan sah sah saja orang yang marah, memaki seperti itu. Apakah itu menandakan bangsa kita bangsa yang mempunyai budaya tinggi yang luhur?

Apakah karena ingin mendapat tepukan dari penonton atau karena ingin keliatan beda, maka Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tetap keukeuh tidak mau tau kenyataan yang ada?

Oleh sebab itu, baca dulu beritanya sampai selesai, jadi bisa tau isi berita itu yang sebenarnya. jangan cuma baca judulnya aja lalu membuat kesimpulan... (Petani Ponorogo Kaget Ratusan Traktor dari Jokowi Ditarik Lagi)

Contoh yang kedua...

Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, mengingatkan kembali pada kasus Marsinah, medio Mei 1993 lalu, buruh yang meninggal setelah melakukan demo menuntuk kenaikan upah.

Apa relevansinya kasus penghinaan Presiden dengan kasus Marsinah?

Apakah karena Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, pernah menulis sebuah monolog “Marsinah Menggugat” , seakan akan itu sebuah jasa besar yang telah ditorehkan oleh Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, yang perlu diingat untuk diagung agungkan lagi?

Contoh yang ketiga...

Mengenai pinjaman 500 T, dari negara Tiongkok. Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, mengatakan bahwa pinjaman menteri itu adalah beban buat rakyat dan rakyat yang harus bayar.

Memang benar, bahwa pinjaman itu nantinya rakyat yang akan bayar. Yang menjadi pertanyaan, apakah pinjaman itu untuk pribadi menteri terkait, sehingga, Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, merasa sangat keberatan dengan pinjaman itu?

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tidak tau bahwa pinjaman itu bukanlah dalam bentuk uang kontan yang akan masuk ke kantong pribadi tapi untuk membangun infrastruktur bagi kemajuan dan kesejahteraan negeri ini?

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tidak tahu bahwa saat ini rakyat butuh infrastruktur pada semua bidang, yang sejak dulu tidak pernah dibangun oleh presiden sebelumnya?

Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, lalu melanjutkan bahwa pinjaman itu dibarter dengan masuknya tenaga kerja ratusan ribu tenaga kerja Tionghoa ke Indonesia, bahkan Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, sempat bilang akan ada jutaan pekerja Tionghoa yang akan bekerja di Indonesia.

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, sudah membaca secara benar atau tau masalah yang sebenarnya, bahwa bukan ada jutaan tenaga kerja Tionghoa yang akan bekerja di Indonesia.

Jadi saran saya, ada baiknya yang Terhormat, Ibu Ratna Sarupaet baca penjelasannya di Kompasiana yang dulu udah ditulis oleh ustad Gasa, baru berkoar koar menyatakan bahwa nantinya semua pekerja Indonesia akan marah. Jangan memprovokasi seperti itu bu, sebelum tau kebenarannya...

Contoh keempat..

Lagi lagi Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tidak menggunakan data yang benar, dengan memelintir perkataan mantan Kepala BIN Hendropriyono.

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet,tidak tahu bahwa memotong sebuah ucapan atau kalimat pernyataan, akan menyebabkan sangat jauh berbeda pengertiannya...

“Siapa saja kalau dihina dan hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero yang bilang begitu. Hukum harus bisa menyelesaikan itu,” ujar Hendro di Mabes Polri, Jumat (7/8/2015).”

Jangan dipotong menjadi “Siapa saja kalau dihina dan hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata.”, karena akan sangat berbeda artinya dan sudah keluar dari konteks aslinya...

Jadi, menurut saya sekali lagi ada baiknya, Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, membaca sebuah berita bukan hanya judulnya saja lalu membuat kesimpulan.

(ini juga karena kekonyolan media online yang ingin mengejar jumlah klik, jadinya sering membuat judul berita yang berbeda dengan isinya)

*Seterusnya, pernyatan Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarahwan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, yang dulunya adalah pendukung berat Jokowi, tapi sejak Raperda Budaya Betawi dicuekin Jokowi, lalu berbalik 180% menjadi pengkritik (saya bilang pengkritik bukan penghina) dan tidak tahu bahwa orang Tionghoa tidak ada yang memakai She/marga “Wie” tapi “Oey”.

Jadi perlu diluruskan sekali lagi, bahwa tidak ada satupun orang Tionghoa yang bernama Wie Jo Koh atau Wie Jok Nyan, kalaupun ada Oey Jo Ko atau Oey Jok Nyan.

Masih ingat, saking hebatnya mendukung Capres Sebelah, Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi , bahkan rela mengatakan bahwa kita harus menerima Korban Mei 1998 sebagai suatu resiko.

Kali ini, Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, mengatakan bahwa pada jaman Soeharto tidak ada satu orangpun yang ditangkap atau ditahan terkait dengan penghinaan Presiden.

Benar dan saya sangat setuju dengan Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, bahwa pada saat jaman Orba, tidak ada satu orangpun yang dipenjara karena menghina Soeharto, dan saya juga setuju bahwa pada saat itu, banyak orang yang ditangkap tanpa diadili sama sekali, jadi tidak jelas tuduhannya apa.

Tapi apakah Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, tidak tau atau pura pura tidak tau bahwa orang yang ditangkap tanpa pengadilan itu, kenapa dan apa yang sudah dilakukan sebelumnya?

Masa Orba adalah sebuah masa lalu yang sangat kelam bagi negeri ini, dan sangat membekas pada diri saya pribadi. Karena, pada waktu itu saya tidak bisa mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya.

Setiap kali saya berbicara mengenai politik, orang tua saya langsung ketakutan ga keruan, sambil mengatakan “Awas! Tembok ada Kupingnya”, padahal sejak kecil saya sudah baca koran politik. Jadi sudah jelas, pada masa itu semua rakyat sangat takut berbicara mengenai politik atau mengkritik kebijakan pemerintah. Jika ada yang nekad mengkritik kebijakan pemerintah, resikonya penjara menunggu.

Bagaimana rakyat berani menghina presiden jika mengkritik saja sudah dipenjara tanpa pengadilan?

Apakah Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, sudah tidak ingat lagi perkara itu, jadi mengatakan tidak ada orang yang ditangkap setelah mengkritik Soeharto? Semudah itukah memutar balikan kalimat dan kenyataan?

Apakah Yang Terhormat, Bapak Ridwan Saidi, sejarawan terkemuka di jagad Bumi Pertiwi, sudah tidak ingat kasus Pelawak Legendaris, Alm Djuhri Masdjan, Jojon, yang tidak boleh tampil lagi setelah menanyakan perbedaan gambar di uang 500 dan uang 50.000 ada gambar apa di uang 500 kertas?

"Kalau di uang Rp 500 itu gambar monyet, kalau di Rp 50 ribu itu bapaknya monyet," ujar Jojon.

Almarhum Jojon memang tidak ditangkap, karena publik sudah keburu geger dengan banyolannya tapi sejak saat itu nama Jojon menghilang dari dunia hiburan. Jojon tidak lagi dipakai dimana mana, karena semua jadi takut kena getahnya. Stasiun tipi yang ngundangnya aja langsung mengkeret ketakutan dengan adanya kasus ini.

Terakhir, sekali lagi saya ingin bertanya kepada Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, yang pada kata penutupnya semalam mengatakan bahwa bangsa ini harus bersatu padu, jangan membuat tindakan yang bisa memecah belah persatuan negeri ini.

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tidak sadar bahwa sebenarnya justru Ibu Ratna Sarumpaet, Yang terhormat inilah yang sering memprovokasi massa dengan cara mengeluarkan statemen berdasarkan data data yang tidak akurat?

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, tidak mau melihat kenyataan atau memang sengaja mencari data yang tidak benar, supaya Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, bisa mendapat tepukan tangan dari orang orang karena dianggap berani?

Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, semua orang tau, seperti yang sudah ibu ungkapkan bahwa kematian ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh sebab itu ibu tidak takut diancam oleh siapapun. Tapi apakah dengan berani mati itu lalu Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, boleh bertindak semaunya, tanpa ada batasan hukum???

Sudahlah bu, mungkin usia kita memang terpaut jauh, jadi ibu sudah punya banyak pengalaman dibanding dengan saya, dan tidak sepantasnya jika saya menasehati ibu, tapi saya merasa kita sama sama sudah menjadi orang tua, dan menurut saya, sangat tidak pantas jika kita sebagai orang tua terus memprovokasi anak anak muda ini...

Kasihan jika generasi muda terus diprovokasi karena tidak akan menghasilkan apa apa tapi hanya akan menimbulkan kebencian dan ketidak sukaan yang tidak ada habisnya.

Buatlah statetemen dengan data yang sebenarnya, jangan karena ingin dianggap beda lalu ibu harus rela “menjual” nama besar yang dulu pernah ibu torehkan.

Sejujurnya ya bu, dulu sewaktu jaman Soeharto, saya pernah mengagumi ibu, karena keberanian Ibu melawan rezim yang saya anggap lalim. Saya salut, dengan sepak terjang Yang terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, yang mana saya sendiri tidak berani lakukan.

Tapi sekarang jaman sudah berubah sangat jauh dan berbeda dengan jaman Soeharto dulu, dimana waktu itu tidak ada hukum sama sekali karena hukum benar benar sudah mati. Sekarang walaupun hukum di negeri ini masih morat marit, tapi sebaiknya marilah kita bersama sama bergandeng tangan membangun negeri, menegakkan hukum sebenar benarnya, supaya bangsa ini bisa berdiri sama tegak dengan bangsa lain.

Apakah Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, sekarang sudah menganggap bahwa Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia?

Jika belum, sekaranglah saatnya, bagi Yang Terhormat, Ibu Ratna Sarumpaet, menjadikan Jokowi sebagai Presiden Indonesia di dalam hati sanubari yang terdalam supaya ibu tidak lagi alergi mendengar kata Jokowi.

Jika sudah, maka sekarang kita sama sama berharap, jangan lagi ada siapapun yang boleh menghina kepala negara kita, terutama bangsa sendiri.

Bukankah sudah seharusnya kita sendiri yang harus menjaga nama baik bangsa dan negara kita, menghargai bangsa atau kepala negara kita? Bagaimana orang lain/bangsa lain akan menghargai bangsa kita, jika kita terus menghina atau tidak menghargai kepala negara kita sendiri?

Akibatnya nanti, kita sendiri yang akan malu jika pergi ke negeri orang mana kala melihat ada bangsa lain yang menghina kepala negara kita dan kita tidak boleh marah karena mereka cuma ikut ikutan saja menghina Presiden Republik Indonesia.

Duh, jangan sampai itu terjadi ya...

Catatan :

Mengenai rencana pemerintah menghidupkan lagi Pasal yang sudah dimakamkan 9 tahun lalu, saya berpendapat, yang lalu biarkan berlalu dan hanya untuk menjadi pelajaran pahit saja. Ada baiknya para ahli hukum negara membuat lagi aturan yang baru, yang lebih jelas, tegas dan elegan, supaya bisa menjadi jalan keluar yang terbaik bagi rakyat dan juga penguasa, dan nantinya tidak akan dipakai semena mena oleh penguasa.

Salam Damai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun