Mohon tunggu...
Mike Reyssent
Mike Reyssent Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia

Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia Graceadeliciareys@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Standar Ganda Kita Semua....

16 Mei 2015   06:12 Diperbarui: 9 Agustus 2015   21:28 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_417745" align="aligncenter" width="650" caption="indonesia.ucanews.com"][/caption]

Apakah gambar diatas bukan penelantaran anak? Kemana KPAI, Polisi dan Kita?

Orang tua yang menelantarkan anaknya sudah jelas bersalah, itu mutlak. Karena sudah melanggar Undang Undang Perlindungan Anak Pasal 77 B jo Pasal 76 B dan Pasal 80 jo Pasal 76 C Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun. Dengan ancaman hukuman dari pasal berlapis ini di atas lima tahun penjara.

Kasus penelantaran 5 anak yang terjadi kemarin, di Citra Grand Cibubur, Jatikarya, Jatisampurna, Bekasi, sepertinya sudah menyentak banyak pihak.

Lucu dan anehnya kasus ini koq jadi heboh. Semua pihak, terutama KPAI tampaknya seakan akan baru pernah melihat ada kasus seperti ini. Begitu juga dengan media, karenanya kasus itu serta merta menjadi Headline diseluruh media tanah air dan masyarakat jadi sangat heboh.

KPAI, polisi, awak media dan kita, apakah sungguh sungguh tidak pernah melihat lingkungan di sekelilingnya, di jalan jalan, dibawah jembatan dan sebagainya sehingga sekan baru tahu ada orang tua yang menelantarkan anak seperti itu?

Apakah karena anak anak yang ada di jalanan itu dianggap anak orang miskin, dan dianggap wajar, bukan sebuah berita, sehingga terjadi pembiaran seperti itu?

Selama ini, saya sudah sering melihat KPAI yang “hanya” menangani anak anak orang “berada”, apakah itu disebabkan karena media tidak pernah meliput kegiatan KPAI yang menangani anak anak miskin. Jika memang KPAI juga menangani anak anak miskin yang terlantar, mengapa masih begitu banyak anak anak dijalanan?

Pasal 34 ayat 1 UUD 45 sangat jelas bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”. Apa sudah cukup yang dilakukan pemerintah dalam menangani anak anak terlantar? Mengapa masih banyak anak anak terlantar di jalanan, pemulung dan pengamen anak anak?? Apakah pengemis, pemulung dan pengamen anak diperbolehkan di negara ini?

Mengapa KPAI, Polisi, Media dan Kita, sekan tidak tahu, berlagak tidak ada atau menutup mata melihat kenyataan yang sangat jelas nampak di depan mata? Apakah anak anak miskin di jalanan itu tidak mempunyai hak yang sama dengan anak anak orang berada?

Tidak jarang kita melihat anak anak telantar yang punya talenta di blow up oleh media, tapi bagaimana dengan anak telantar yang tidak punya talenta? Malahan kita justru lebih sering merasa terganggu melihat anak pengamen, pengemis dan pemulung di jalanan. Mengapa kita tega melihat anak anak itu?

Berdasarkan data tahun 2014, masih ada 4.1 juta anak terlantar di seluruh propinsi Indonesia. Jadi kasus penelantaran anak bukan hanya terjadi di Komplek Citra Grand Cibubur, Jatikarya, Jatisampurna, Bekasi saja, tapi sangat banyak terjadi di negara ini. Dan konyolnya kita sepertinya baru tahu atau tidak sadar bahwa sering terjadi di sekeliling kita sendiri.

Dimana KPAI, polisi, media dan kita??? Mengapa dalam hal ini, kita tidak mau menuntut negara atau setidaknya berteriak kepada pemerintah setempat untuk segera membenahi masalah itu?

Itu adalah standar ganda yang sudah diterapkan oleh kita –masyarakat- dalam menilai suatu berita yang sering kali terjadi. Kita jadi terbawa opini media dan tidak berpikir bahwa banyak kejadian yang serupa terjadi di sekeliling, tanpa kita disadari.

*****

Tadinya tulisan ini, saya khususkan untuk membahas soal kekerasan atau penembakan yang sering dilakukan oleh polisi, bukan hanya terhadap para maling sarang burung walet tapi tersangka pelaku kriminal lainnya.

Tapi karena ada kasus penelantaran anak yang bikin heboh juga merupakan standar ganda, jadi saya ikut sertakan kedalam tulisan ini.

Jika kita bicara soal penembakan maling sarang burung walet yang dilakukan oleh tim Novel Baswedan dulu, jelas polisi berada pada pihak yang salah. Itu memang mutlak!

Sudah banyak undang undang yang melarang polisi menggunakan kekerasan dalam pemeriksaan, apalagi menembak sampai ada korban jiwa. Tapi dalam prakteknya apa benar sudah dilaksanakan seperti itu?

Sudah bukan menjadi jadi berita lagi soal kekerasan yang sudah dilakukan oleh polisi. Karena terlalu sering dan menjadi terbiasa bagi kita ketika mendengar/membaca berita seperti itu. Jadi sudah berita basi dan tidak menarik lagi sehingga media sudah tidak mau mem “blow up” berita tersebut.

Padahal sangat jelas bahwa itu adalah sebuah pelanggaran berat, yang menjadi salah satu sebab polisi tidak bisa bekerja secara profesional. Polisi jadi lebih mengandalkan otot bukan otak dalam pemeriksaan para tersangka. Polisi menganggap lebih mudah mendapat keterangan dengan jalan menyiksa, daripada bersusah payah mencari data dan barang bukti untuk menunjang pasal yang akan disangkakan.

Dari dulu polisi selalu dan selalu seperti itu dan tidak ada kemajuan sama sekali.

Tapi sayangnya, karena penegakan hukum kita benar benar masih compang camping dan karena ketidak tahuan masyarakat -terutama tersangka- jadi, para tersangka -yang pada dasarnya memang merasa telah melakukan kesalahan- tidak berani berteriak protes, manakala disiksa melebihi binatang oleh para penyidik.

Jikapun suatu saat terbetik berita, ada keluarga tersangka yang dipukuli, disiksa, bahkan ada yang sampai meninggal lalu ngoceh, protes dan lapor -soal kekerasan tersebut- sebentar kemudian berita itu akan hilang di terpa angin...

Maka, kekerasan yang dilakukan oleh polisi, sepertinya bisa dimaklumi dan disitu ada pembiaran, dari masyarakat kita. Masyarakat seakan akan tidak lagi perduli terhadap kasus kasus seperti itu, padahal itu seharusnya tidak boleh terjadi.

Sebagai contoh, kita tidak pernah mendengar nada protes bahkan bisa dibilang, kita seperti bersorak kegirangan, manakala mendengar ada pelaku begal motor yang ditembak oleh polisi.

Rasain lo!! atau “Syukurin tuh...”

Duh, kenapa kita bisa tega seperti itu? Apakah boleh polisi main tembak seperti itu? Apakah begal motor bukan manusia, lalu kemana rasa kemanuisaan kita?? Apakah karena begal motor sering membacok orang, lalu harus ditembak?? Apakah polisi tidak bisa menangkap tanpa perlu menembak? Apalah begal motor itu menembak lebih dulu? Apakah karena begal motor jadi memang pantas untuk ditembak bahkan banyak diantaranya yang ditembak mati? Dimana Komnas HAM?

Contoh lainnya, penembakan terhadap tahanan yang kabur. Apakah tahanan yang kabur itu bersenjata sehingga harus dilumpuhkan dengan peluru? Apakah karena tahanan itu kabur lalu ditembak kakinya supaya tidak bisa kabur lagi? Apakah karena tahanan itu orang yang sudah dianggap bersalah lalu pantas untuk ditembak? Mana hak para tersangka begal motor atau tahanan yang kabur?

Padahal jika ada tahanan yang kabur, seharusnya polisi bersyukur karena bisa introspeksi kedalam dan memperbaiki sistem penjagaannya, bukan menembak tahanan yang kabur.

Jadi ada standar ganda dalam penilaian masyarakat dan para pembela HAM, tentang kekerasan dan siksaan terhadap tersangka yang sudah sering dilakukan oleh polisi. Jika kita tidak mempunyai standar ganda -dalam menilai kekerasan yang sudah dilakukan polisi- pasti kasus Novel tidak akan berlarut seperti sekarang ini.

*****

Bangsa kita memang bangsa yang mudah tersentuh hatinya dan mudah untuk memaafkan. Cerita miris mudah menarik simpati dari masyarakat, sehingga kita bisa segera melupakan semua kesalahan yang dilakukan.

Saya tidak ingin mengambil contoh pemimpin yang sering mewek di depan kamera -hanya untuk menarik simpati masyarakat- bahkan bisa mengatakan dirinya terancam oleh teroris. Tapi saya ingin memberi contoh masyarakat kebanyakan saja.

Beberapa kali terjadi, masyarakat kita begitu antusias membela orang miskin yang mencuri. Sehingga banyak kasus pencurian menjadi polemik yang berkepanjangan. Jadi seakan akan, ketika ada orang miskin yang melakukan pencurian bisa dimaklumi, dan aparat yang menangkapnya justru yang salah. Mengapa kita malah merasa bangga bisa membela pencuri?

Padahal sangat jelas bahwa mencuri itu salah, dalam hukum negara dan hukum agama, sehingga siapapun yang mencuri, patut mendapat hukuman yang berlaku. Apalagi pelaku pencurian, orang yang sudah tua renta. Mengapa kita malah menyalahkan penegak hukum yang ingin menghukum pelaku pencurian???

Lalu bagaimana jika ada maling ayam, maling uang sumbangan mesjid, perempuan yang mencuri susu di mal dan maling kecil lainnya? Koq malah digebuki orang sekampung dan dicemooh banyak orang? Kenapa media diam dan tidak membelanya? Apakah para maling kecil itu orang kaya?

Saya tidak bermaksud mengajari atau menggurui, tapi selayaknya orang tua adalah sebagai tokoh  panutan yang bisa memberi suri tauladan, contoh yang baik untuk anak cucunya.

Dan saya juga bukan orang kaya yang hidup berkelebihan, tapi sebagai orang tua, saya tahu, jika mengambil barang yang bukan hak atau milik sendiri, itu berarti mencuri. Jadi, saya tidak mau memberi contoh mencuri atau mengambil barang yang bukan milik saya walau dalam keadaan terpaksa sekalipun.

Kita sering bilang bahwa semua sama dihadapan hukum atau hukum tidak adil karena tajam ke bawah tapi tumpul keatas. Tapi, apakah jika kita membela pencuri, bisa dianggap sudah terjadi keadilan?

Lalu mengapa kita meneriakkan untuk menghukum berat para koruptor? Kenapa kita membelanya? Toh, mereka sama sama mencuri juga kan? Apakah perlu koruptor mengarang cerita miris untuk menarik simpati masyarakat? Bagaimana jika koruptor yang protes tentang penegakan hukum yang dianggap tidak adil (Karena membebaskan pencuri)?

Sekali lagi terjadi standar ganda ketika kita menilai suatu kasus yang sama.

Sepertinya ada sesuatu yang janggal dan salah yang harus segera dibenahi. Terutama yang paling mendesak adalah perlu segera dilakukan perbaikan hukum tentang kasus pencurian kecil kecilan, dan pencurian gede gedean, sehingga menjadi jelas perbedaannya dan tidak akan lagi menjadi polemik di media yang memalukan negeri ini.

Karena jika terus dibela seperti itu, nantinya akan semakin banyak orang atau anak anak yang salah mengerti.

Jangan sampai orang atau anak miskin mempunyai pikiran seperti ini : “Karena saya miskin, maka saya “boleh” mencuri. Toh kalau tertangkap, nanti masyarakat akan membela koq.”

Jangan sampai kita hanya fokus atas kasus yang di blow up oleh media saja, tapi kita juga sensitif atas kasus sekeliling kita...

Semua kasus di atas, penelantaran anak, penembakan polisi maupun pencuri sebaiknya diteruskan ke pengadilan supaya jelas status hukumnya, dan tidak salah persepsi lagi. Dan media mempunyai peran yang sangat penting dalam hal ini, sehingga ikut menyadarkan masyarakat.

Catatan:

Pasal 34 UUD 45...

Ayat 1  menjelaskan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”

Dan di ayat 2 disebutkan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”

Ditambah lagi dengan ayat 3 yang mengatakan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas dan fasilitas pelayanan umum yang layak

Jika masih ada fakir miskin dan anak terlantar di lingkungan sekitar kita, tapi mereka tidak mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah setempat, maka seharusnya kita mempertanyakan dan protes soal itu ke Pemda.

Apakah kita pernah ikut merasa bersalah jika ada pembiaran seperti itu?

Pertanyaan sederhana dari contoh contoh diatas, apakah kita akan mengubah keadaan untuk menjadi lebih baik atau ingin tetap seperti ini? Pilihannya ada di tangan kita...

Salam Damai...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun