Di sebuah sekolah menengah atas di Yogyakarta, kelas X menjadi wadah bagi keberagaman suku di Indonesia. Anak-anak dari Papua, Bali, Aceh, dan Jawa duduk bersama dalam satu kelas yang penuh warna. Ketika guru mereka, Pak Valen, mengumumkan bahwa mereka akan mempersiapkan sebuah drama tradisional Kalimantan, "Long Diyang Yung," dalam rangka ulang tahun sekolah, setelah mendengar itupun kelas pun penuh semangat.
Persiapan dimulai dengan antusias. Mereka belajar tarian, musik, dan bahasa Kalimantan. Setiap siswa membawa keunikannya sendiri, mengenalkan tradisi dan cerita dari daerah asal mereka. Konflik muncul ketika Nita, seorang siswa Bali, kesulitan memahami gerakan tarian khas Kalimantan. Sementara itu, Fari, dari Aceh, merasa budayanya kurang diperhatikan.
Guru mereka, Pak Valen, mengadakan pertemuan untuk membahas masalah tersebut. Nita dan Fari membuka hati, menyampaikan perasaan mereka. Teman-teman mereka mendengarkan dengan penuh pengertian, dan Pak Budi menyarankan untuk saling membantu.
Dalam pertemuan tersebut terjadilah dialog hangat antara Pak Valen,Nita dan Fari
Fari pun memulai untuk membuka isi hatinya “Saya merasa seperti budaya Aceh kita terlalu tersisih, Pak.”
Nita juga melanjutkan keberatan hatinya “ Dan saya bingung dengan gerakan tarian Kalimantan, Pak Budi.”
Pak Valen Menjawab “Saya mengerti perasaan kalian berdua. Bagaimana jika kita saling membantu? Fari, ceritakan lebih banyak tentang budaya Acehmu kepada teman-teman. Dan Rini, mungkin teman-teman bisa membantumu dengan gerakan tarian."
Nita bertanya kebingungan “Benarkah?”
Fari menjawab dengan ragu “Tentu, kita satu tim, kan?”
Pak Valen Memberikan Nasihat kepada Nita dan Fari “Persiapan kita akan lebih sukses jika kita saling mendukung. Kita bukan hanya mengenang budaya Kalimantan, tetapi juga merayakan keberagaman kita.”