Kalau dipikir-pikir terlahir sebagai laki-laki atau perempuan tidak terlalu penting -yang penting sehat. Akar masalah transeksual adalah masyarakat tradisional tidak membebaskan warganya berkarakter maskulin atau feminim. Padahal, dua hal tersebut memungkinkan untuk : tidak ada kaitannya sama sekali dengan jenis kelamin dan cara berpakaian.Â
Jadi bagi seorang muslim syukurilah jenis kelamin dari Allah SWT yang sehat wal afiat dan berpakaianlah seperti rasul dan istrinya. Selanjutnya terserah, mau bawaan maskulin atau feminim.Â
Perlu diketahui bahwa jenis kelamin dan penampilan tidak ada hubungannya dengan kepribadian (syakhsiyah) juga watak/karakter (sangar atau lembut), meskipun Islam kemudian mengatur cara berpakaian dan adab berinteraksi. Oleh karena itu, jangan jadikan maskulin atau feminim sebagai pembenaran terhadap hakekat jenis kelamin dan orientasi dalam hubungan seksual.
Mengenai insting dalam hubungan seksual pada umumnya akan selalu sama. Itu hanya soal berbagi peran siapa batu siapa lubang sejauh apapun penyimpangannya -selebihnya merupakan perkara cinta ; dan cinta, sangat dipengaruhi oleh persepsi (informasi atau seberapa terpelajar) serta trauma (pengalaman yang membekas).Â
Penyimpangan seksual (inses, homoseks, pedofilia, dan bestiality) terjadi karena orang mencampuradukkan antara insting/naluri seksual dan cinta kasih. Seperti kita ketahui, kata bercinta (making love) telah diartikan sebagai berhubungan seks. Makna seks dan kasih sayang yang telah bias inilah yang menyebabkan lahirnya LGBT (abnormal dalam psikologi) karena kesalahan persepsi dan mungkin juga didorong oleh pengalaman pahit masa lalu..
Adapun perbuatan transgender merupakan ekses dari penyempitan makna "mencintai" sesuai penjelasan di atas padahal mencintai atau menyayangi itu luas dan universal (kepada siapapun). Pemahaman ini membuat mereka mesti mencintai lawan jenis yang berarti tertarik secara seksual dengan lawan jenis pula berdasarkan norma sosial. Contohnya begini : seorang pemuda menyayangi lelaki lainnya; sangat sayang, lebih dari sekadar suka, dan sampailah kita pada kata "cinta", sementara persepsinya cinta = seks.Â
Perasaan ini diperkuat oleh perlakuan buruk pernah dikecewakan/dihina oleh lawan jenis maka jadilah dia homo (atau lesbian jika perempuan) yang cenderung ingin melakukan hubungan seks sejenis. Jika tidak pernah ada pengalaman traumatik seperti di atas, lelaki lain tersebut biasanya sebatas idola.Â
Nah, pada pelaku transgender perasaan itu menjadi kompleks disebabkan adanya tekanan norma sosial dan agama; alih-alih menyimpang, dia yang kebetulan feminim merasionalisasi kecenderungan dirinya dengan mengganti kelamin -supaya tidak dianggap homo.Â
Dalam film The Danish Girl (2015) tokoh utama pelaku transgender meninggal dunia karena komplikasi akibat resiko bedah/operasi. Dia telah menyatakan bahwa satu-satunya orang yang dia cintai adalah istrinya.
nb : - Â Pria gay maskulin (tipe A) tidak bakal transgender sedangkan wanita gay maskulin mungkin saja.
     -  Catatan ini boleh dikoreksi siapapun
@mikailearns