Pemerintah RI mulai tahun 2013 menerapkan langkah-langkah terkait rencana redenominasi.
Mall, supermarket, dan pedagang lainnya dihimbau agar memasang harga dengan dua versi.
Misalkan harga baju yang dijual adalah Rp100.000 maka pihak mall atau pedagang mesti memasang harga Rp100.000/Rp100
Seperti biasa banyak pro dan kontra. Saya termasuk yang pro. Mengapa?
Karena redenominasi beda dengan sanering yang pernah dilakukan pemerintah RI pada zaman era Presiden Soekarno di tahun 1965.
Masyarakat Indonesia yang pernah mengalami sanering, tentu mengalami trauma jika mendengar kata pemotongan nilai uang.
Tapi Redenominasi sangat berbeda dengan Sanering. Redenominasi juga beda dengan devaluasi atau revaluasi.
Redenominasi adalah praktik pemotongan nilai mata uang suatu menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Jadi penerapan redenominasi hanya menerapkan penulisan uang yang berbeda.
Sementara devaluasi atau revaluasi adalah menyesuaikan nilai mata uang dalam negeri dengan menurunkan nilainya terhadap mata uang asing atau acuan. Misalnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Devaluasi dilakukan karena kurs yang dipakai sudah tidak mencerminkan nilai tukar riil uang itu sendiri, sehingga ketika nilainya dipatok pada angka tertentu maka pemegang otoritas seaktu-waktu harus menyesuaikan dengan nilai tukar riilnya. Pemerintah orde baru sering melakukan devaluasi dengan menerapkan kurs tetap.
Sanering adalah praktik pemotongan harga jika terjad hiperinflasi di perekonomian negara. Jika pemerintah menerapkan sanering, masyarakat yang mempunyai atau menyimpan uang sangat dirugikan. Jika sanering terjadi, banyak masyarakat yang jatuh miskin.
Indonesia masuk peringkat ketiga di dunia sebagai negara yang memiliki pecahan uang besar yakni Rp100.000. Negara lainnya adalah Vietnam dengan uang pecahan sebesar 500 ribu Dong. Sedangkan negara yang pernah menduduki peringkat pertama adalah Zimbabwe yang memiliki uang pecahan dengan nilai 10 juta dollar Zimbabwe (juga pernah menerapkan sanering).