Mohon tunggu...
Mikael Ardiyanta Widyadana P.
Mikael Ardiyanta Widyadana P. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 di Universitas Airlangga

Saya orang yang out-going, suka bermain tetapi saya serius dan passionate tentang apapun itu yang mencakup teknologi dan inovasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Etis atau tidak menggunakan AI dalam seni dan literatur?

1 Januari 2025   13:12 Diperbarui: 1 Januari 2025   13:12 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Artificial Intelligence (AI)  sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain sebagainya. AI sering digunakan sebagai alat yang membantu diperolehnya ide kreativitas manusia. Mungkin sebagai inspirasi untuk membuat suatu karya lukis, ataupun untuk karya tulis, disitu AI sering digunakan. Selain menginspirasi, AI juga dapat membantu dalam memperbaiki atau membuat suatu karya tulis lebih benar. Contohnya adalah penggunaan AI untuk mengoreksi sebuah esai yang mungkin masih kurang tepat dalam penggunaan ejaan dan bahasa yang baku. 

Dengan pekembangan AI yang pesat, berbagai permasalahan muncul dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan dan medis, dan juga tentang seni dan literatur. Kemampuan AI yang bisa menghasilkan karya tulis dan juga gambar, beberapa pertanyaan etis muncul, seperti hak kepimilikan, kemanusiaan, dan juga critical thinking.

Walaupun AI digunakan untuk membantu penulis, AI bisa juga disalahgunakan oleh orang lain. Dalam literatur, dalam beberapa kasus, AI digunakan untuk membuat suatu karya tulis dan langsung menjiplak karya yang dibuat oleh AI tersebut dan mengakui hasil itu sebagai karya tulisannya. Hal ini bisa menjadi sebuah kecurangan, integritas dan etika, yang terkait dengan masalah hukum karena merupakan pelanggaran dari hak cipta. Karya itu sebenarnya merupakan karya AI, tetapi diakui oleh orang lain untuk kepentingannya sendiri. Contoh yang lain adalah terkait masalah kemanusiaan. Menurut saya, literatur dan seni adalah ekspresi khas manusia. Cerita, puisi, dan prosa merupakan refleksi dari emosi, pengalaman, dan perspektif manusia yang mendalam. Namun sayangnya, AI, belum mmpu memiliki emosi atau pengalaman nyata, sehingga karyanya bisa dianggap dangkal.  AI masih belum bisa menghasilkan karya yang humanis; karya yang memiliki emosi dan jiwa dalam hasil karyanya.

Implementasi etis dari AI sangat tergantung pada bagaimana AI itu sendiri digunakan. Bukan untuk mengganti kreativitas manusia, tetapi sebaiknya kita manusia mesti mengembangkan hasil AI sehingga AI tidak mengambil peran kita sebagai manusia namun tetap menjadi alat bantu yang pintar. Selain itu, sisi transparasi juga penting, pembaca karya tulis berhak mengetahui apakah sebuah karya dihasilkan oleh kita manusia, AI, atau kolaborasi keduanya.  'Acknowledgement' atas bantuan AI dari setiap karya, menjadi hal yang penting. Regulasi juga harus dibentuk dan diperbarui untuk mengatasi hak cipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun