Mohon tunggu...
Mikael Ernest Susanto
Mikael Ernest Susanto Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA Kanisius

Amatir dalam menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai Keberagaman: Dialog Sekolah Katolik dan Pesantren

17 November 2024   16:09 Diperbarui: 20 November 2024   11:23 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Imelda Susanti Lepa

"Dialog adalah jembatan yang menghubungkan perbedaan." --- Desmond Tutu

Malam hari menjadi puncak pengalaman yang paling berkesan bagi saya. Saat itu, saya, bersama dengan tiga teman saya dari Kanisius, berkesempatan untuk mengikuti dialog beragama dengan empat santri dari Al Furqon. Di ruang yang sederhana di lantai dua masjid, kami duduk melingkar, berbicara tentang iman, keyakinan, dan bagaimana setiap agama mengajarkan kasih dan perdamaian. Di tengah diskusi, saya merasa ada rasa saling menghormati yang mendalam. Para santri tidak hanya mendengarkan kami, tetapi juga memberikan ruang bagi kami untuk mengungkapkan pandangan kami tanpa rasa takut akan penilaian atau penghakiman. Kami berbicara tentang perjalanan mencari Tuhan dan tentang jalan hidup masing-masing. Ada satu momen yang sangat mengesankan bagi saya, saat seorang santri berkata, "Perbedaan keyakinan itu tidak masalah, yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan damai." Pernyataan ini, meskipun sederhana, menunjukkan betapa dalamnya pemahaman mereka tentang toleransi.

Toleransi dan Persatuan dalam Keberagaman 

Salah satu hal yang paling saya kagumi selama dialog beragama ini adalah tidak ada perasaan canggung atau ketegangan di antara kami. Sebaliknya, setiap orang tampak berusaha memahami pandangan satu sama lain. Seperti yang disampaikan oleh Quraish Shihab, "Dalam keragaman, ada kekuatan yang bisa kita gali bersama. Pendidikan adalah kunci utama untuk memahami perbedaan dan merayakan keberagaman." Toleransi, dalam pandangan saya, bukan hanya soal menghindari konflik, tetapi juga tentang merangkul perbedaan dengan penuh kasih dan saling menghargai.

Dialog kami berlangsung dengan penuh kehangatan dan penuh refleksi. Kami bukan hanya berbicara tentang teori agama, tetapi juga berbagi pengalaman hidup. Ketika seorang santri menceritakan bagaimana dia belajar untuk menerima orang lain yang berbeda agama, saya merasa sangat terinspirasi. Bagi saya, ini bukan hanya tentang belajar agama, tetapi juga tentang memahami bagaimana setiap individu, meskipun berbeda, bisa berkontribusi pada masyarakat yang lebih baik. Toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, tetapi lebih dari itu, yaitu melihat manusia sebagai sesama dengan segala potensi dan impian yang bisa saling memperkaya satu sama lain.

Di akhir malam, saya merasa lebih kaya dalam hal pemahaman. Kami, yang awalnya mungkin hanya melihat perbedaan, kini bisa saling menghargai dan melihat kesamaan yang ada di antara kami. Saya merasa lebih terhubung dengan para santri, meskipun agama kami berbeda. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, "Tidak ada jalan menuju perdamaian, perdamaian itu sendiri adalah jalan." Dialog kami bukan hanya momen untuk berbicara, tetapi juga untuk menciptakan jalan perdamaian melalui pemahaman dan saling menghargai.

Pengalaman kami di pesantren ini bisa dianalogikan dengan proses merajut sebuah kain. Setiap benang, yang mungkin berasal dari berbagai jenis dan warna, saling bersatu untuk membentuk sebuah kain yang indah. Begitu pula dengan kami---berbagai latar belakang dan keyakinan yang berbeda---saling bersatu melalui pendidikan, dialog, dan kegiatan bersama, menghasilkan sebuah harmoni yang lebih kuat daripada sekadar kebersamaan. Layaknya sebuah kain yang saling mengikat benang-benang berbeda untuk menghasilkan keindahan, kami pun belajar bahwa perbedaan itu bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan bersama.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga tentang merayakan keberagaman itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, 

"Senjata terbesar kita untuk perdamaian adalah dialog."

 Melalui dialog beragama yang kami lakukan di Al Furqon, saya menyadari bahwa perbedaan kita adalah kesempatan untuk tumbuh bersama, untuk mengerti, dan untuk merayakan keberagaman yang ada di tengah-tengah kita. Seperti kata-kata yang sering saya dengar, "Kita mungkin berbeda, tetapi kita semua adalah satu dalam kemanusiaan." Saya yakin bahwa pengalaman ini akan selalu menjadi pelajaran hidup yang berharga, yang akan membimbing saya untuk menjadi pribadi yang lebih toleran, terbuka, dan penuh kasih terhadap sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun