Mohon tunggu...
Ummie S. Wahiuney
Ummie S. Wahiuney Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seseorang yang masih belajar merangkak dan ingin berjalan untuk membuka mata. dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kau, dan Galau

31 Agustus 2012   14:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah hamparan luas tanah yang ditumbuhi berbagai pepohonan. Dikejauhan terlihat menjalar menyelimuti seluruh awak gunung. Aku seorang warga Lereng gunung Merapi yang miris mendengar berbagai keluhan dari warga yang sampai ketelingaku, ditengah maraknya penambangan pasir gunung secara ilegal, dan sepertinya sedikit pun mereka tidak iba dan prihatin dengan kejadian letusan merapi setahun lalu, yang cukup banyak menelan korban. Pak Marwan adalah warga yang beberapa tahun lalu baru pindah dari jakarta, yang tinggal didaerah perumahan sana yang tergolong megah dianggap orang yang paling berpengaruh, karena ia adalah salah satu penadah sekaligus pemborong hasil tambang yang paling banyak meraup keuntungan, ditengah berbagai kerugian yang tengah dialami oleh warga sekitar lereng gunung.

Seperti apa yang aku lihat, kini pepeohonan itu satu-persatu ikut hilang, binatang-binatang yang biasa tinggal dan singgah disana pun semakin berkurang, ditambah lagi udara dan debu yang dihasilkan dari tiupan asap kendaraan yang lalu-lalang melewati perumahan warga dan daerah sekitar penambangan yang semakin pengap. Beberapa kali kami mengadukan hal ini kepada pemerintah sekitar, namun hingga saat ini tak ada upaya sedikit pun. Haruskah aku dan warga sendiri yang bertindak? Pertanyaan itu kerap kali terlintas di pikiranku. Jika memang tak ada perubahan sama sekali, mungkin ini perlu dilakukan. Aku dan segenap warga sekitar telah sepekat dan serkumpul di lapangan sana dan mulai bergerak ke area pertambangan dan mehalangi aktivitas pertambangan dan sebagian kelompok lain menyerang ke kediaman Pak Marwan. Dengan melempari batu ke kaca rumahnya bahkan warga pun menyerobot masuk dan mengambil beberapa barang yang mereka kehendaki, karena dianggapnya keluarga Pak Marwan hidup dalam kemewahan atas penderitaan kami.

Sehelai surat telah sampai kepadaku. Surat itu dari Rima kekasihku yang kukenal setahun yang lalu, karena orang menyebutnya kami terlibat cinta lokasi semasa kami menjadi relawan dipengungsian letusan merapi. Rima mengabarkan bahwa rumah dan sebagian barang-barang berhasil dibobol warga. Akibat kejadian ini ia dan keluarganya akan menuntut dan melaporkan ke Polis atas perbuatan yang tidak menyenangkan, dan Rima menyetujuinya, bahkan tindakkan itu merupakan usulan darinya sendiri. Seketika perasaanku bergejolak dan kaget, segenap pikiranku membayangkan berbagai kemungkinan, apakah ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin?  Semoga tidak, karena yang ku tahu, aku hanya berusaha menghalangi aktivitas pertambangan disana.

Surat selanjutnya sampailah kerumahku dari kepolisian yang ditujukan untuk ketua pemuda warga Lereng gunung Merapi. Dalam surat itu, aku sebagai ketua Pemuda yang disebut-sebut sebagai orang yang harus bertanggung jawab, dipanggil pihak kepolisian umtuk dimintai keterangan. Aku berangkat ke kantor polisi tanpa pengawalan apa pun, bahkan teman-teman pemuda lain pun tidak megetahuinya. Disana aku dipojokkan oleh permasalahan yang semakin menyudutkanku, berbagai tuntutan dan tuduhan semakin mengarah kepadaku, tanpa keterangan dari warga lain dan dukungan dari Rima aku merasa lemah. Sepintas aku teringat Rima, karena kupikir dialah yang cepat aku hubungi dengan menelepon kerumahnya dari telepon yang ada dimeja polisi. Sedangkan warga dan teman-teman pemuda lainnya tidak memiliki telepon. kalau pun ada, aku tak begitu hafal dengan nomor teleponnya.

Ku adukan apa yang tengah ku alami dan aku memintanya untuk datang ke kantor polisi dan memberi kesaksian atas apa yang Rima lihat dan ia tahu di didaerah peambangan pasir dan dan perumahan warga sekitar sana. Untungnya keterangan yang Rima sampaikan sedikit meringankan bebanku, dan aku diperbolehkan pulang dengan syarat wajib lapor satu minggu sekali.

Di ruang teras di dekat pintu masuk Rima dikagetkan dengan kehadiran Pak Marwan terlihat geram melihatku dan hampir menghantamku dengan berbagai omelan kekesalan.  Rima keheranan, ia mulai tersadar dan tidak menyangka bahwa orang yang semula ia tunntut untuk bertanggung jawab atas kejadian dirumahnya tempo hari, adalah orang yang ia bela juga. Sebaliknya, secara bersamaan, orang yang ia bela dan lindungi adalah orang yang ingin ia tuntut balik atas kejadian yang menimpaku, yang tidak lain adalah Ayahnya sendiri.

Dengan kejadian itu, aku tidak begitu berharap Rima akan memihakku dan warga setempat atau tidak, karena pilihan yang akan ia hadapi adalah keluarganya sendiri atau aku yang ia anggap kekasihnya. Dan kini aku pun dihadapkan pada dua pilihan yang nyaris sama, satu sisi aku ingin membantu warga kampung, tapi sisi lain aku juga tidak ingin melukai perasaan Rima dengan menentang Pak Marwan, Ayahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun