Malam menjelang.
Sudah waktunya ku pulang.
Ditemani sang petang.
Mendarat sempurna di kediaman dengan tenang.
Entah gerangan apa hatiku senang.
Malamku bertabur bintang.
Membentuk rasi dan menari dengan riang.
Bulan kian terpancar terang.
Diikuti kilaunya sekelompok kunang-kunang.
Inikah dampak pertemuan kita di suatu ruang?
Sosok yang kupandang jauh di koridor itu.
Yang hendak melangkah menuju cita yang dituju.
Tinggi dan tegap berdiri di jalanmu.
Hanya bisa melihatmu dari kejauhan di situ.
Bak musim panas yang memiliki langit biru.
Senantiasa cerah menghangatkan kalbu.
Ingin ku bernyanyi penuh syahdu.
Sungguh indah lengkapi hariku.
Tapi... mengapa hanya bisa kulihat selalu.
Belum bisa kurasakan dulu.
Rasa ingin tahuku makin memaksa.
Bagaimana caramu menggunakan hidup hingga bermakna.
Bagaimana caramu menaklukkan angin topan yang meronta.
Bagaimana caramu bertahan dalam malam yang gelap gulita.
Bagaimana caramu melawan terik siang dan tipuan fatamorgana.
Ceritakan semua kisahmu wahai pemuda di sana.
Jangan biarkan aku hanya melihatmu dari jauh saja.
Ajak aku berjuang juga di pertandingan dunia.
Kompetisi yang tiada habis jika hanya mengejar kenikmatan saja.
Ajarkan aku menghargai hidup bersamamu, raja.
Sungguh panjang perjalananmu.
Sudah banyak kau lewati tiap ranjau.
Tapi, apalah daya diriku.
Hanya boleh mendengar ceritamu.
Sebelum kususul dirimu.
Di koridor masa depan itu.
Sebelum kau buka pintu.
Gerbang tujuan lain yang terlihat lebih dulu.
Biar akulah yang menjadi sebuah pintu.
Dimana aku yang kau cari untuk tujuan yang hanya satu.
Izinkan aku melambaikan tangan.
Menyapa si musim panas penuh kehangatan.
Apa boleh... kukatakan?
Bahwa aku mengagumi sang pangeran.
Yang kilau mentarinya membungkus ketampanan.
Keindahan hari-hariku yang tiada berakhiran.
Lengkapi hidupku yang terkadang rentan.
Akan kesedihan.
Keluarkan aku dari setiap cobaan.
Tegarkan aku dari setiap persoalan.
Hanya dirimu yang mampu memberikannya.
Namun apa daya.
Aku hanya bisa meneropongmu dari bukit sana.
Memperbesar lensa.
Agar mampu melihat jelas potretmu di sana.
Sekedar melihat ketika pandanganmu beralih sementara.
Biarlah semilir angin yang menceritakannya.
Tentang hebatnya dirimu menggapai asa.
Sejuk ku dapat, bahagia kurasa.
Hingga bisa ku dapati dirimu dalam genggaman abadi selamanya.
*) Puisi oleh Mira, seorang wanita biasa di pinggiran kota...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H