Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Pemikiran Aristotle dan Plato dalam Audit Pajak

30 Juni 2023   11:48 Diperbarui: 30 Juni 2023   12:02 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemeriksaan pajak merupakan suatu rangkaian kegiatan bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam lingkup pajak tertentu dan masa tertentu. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti yang kemudian diolah dan menghasilkan sebuah hasil pemeriksaan, baik ketetapan pajak maupun hasil lain.

Pasal 12 ayat (3) UU KUP yang menjadi dasar hukum atas setiap koreksi yang dilakukan Pemeriksa Pajak menyatakan bahwa DJP dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang bila didapatkan bukti jumlah pajak yang diungkap Wajib Pajak dalam SPT tidak benar.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa bukti maupun proses penemuan bukti sangat penting dalam proses dan rangkaian pemeriksaan. Ketetapan pajak tidak dapat diterbitkan tanpa didukung oleh bukti yang cukup dan memadai.

Dalam memperoleh bukti audit, Auditor dapat mengimplementasikan pemikiran-pemikiran filsuf seperti Aristoteles dan Plato.

1. Satu Subtansi dan Sembilan Kategori Aristotle

Dalam karya Aristoteles berjudul Organon, terdapat salah satu bagian berjudul Categoriae atau Kategori. Dalam menemukan alat bukti, auditor dapat menggunakan kategori Aristoteles ini, diantaranya:

  • Substance (substansi), adalah sesuatu yang tidak dapat dipredikatkan pada apapun. Terdapat dua jenis substansi, yaitu substansi primer dan substansi sekunder. Substansi primer bersifat individual dan konkret. Sedangkan substansi sekunder lebih bersifat universal dan berlaku untuk semua golongan atau kelompok. Substansi ini mirip dengan sebuah subjek. Dalam audit  misal, substansi yang akan diuji adalah akun penjualan. Dalam melakukan uji arus piutang misalnya, auditor harus berfokus apakah uang yang masuk sesuai dengan substansi uji, yaitu penjualan, ataukah merupakan hasil transaksi lain, seperti pemindahbukuan atau pengembalian biaya.
  • Quantity (kuantitas), berkaitan dengan jumlah yang dapat dihitung dari suatu subjek atau subtansi. Misal kuantitas dari penjualan, apakah seluruh penjualan telah dicatat dan dihitung dengan benar.
  • Quality (kuantitas), berkaitan dengan sifat dari substansi, seperti sifat dari prosedur penjualan, apakah prosedur penjualan dilakukan dengan kontrol yang memadai, apakah entitas memiliki internal control yang memadai untuk memastikan tidak adanya kesalahahan pada proses pembukuan penjualan. Hal ini akan mempengaruhi tingkat risiko audit dan akan mempengaruhi kedalaman proses audit selanjutnya.
  • Relation (relasi), merupakan cara subjek terkait dengan hal lainnya. Dalam audit terkait substansi penjualan, aku yang berkaitan misal piutang dan uang muka penjualan. Kedua akun ini tidak dapat luput dari pengujian apabila auditor ingin menguji kebenaran penjualan.
  • Where (tempat), berkaitan dengan posisi atau lokasi terjadinya suatu subtansi tadi. Misal dalam penjualan konsinyasi, auditor harus memastikan pengakuan pendapatan dilakukan sesuai ketetuan yang tepat baik secara akuntansi maupun perpajakan, apakah saat barang keluar dari consignor ke consignee atau saat barang terjual dari consignee ke konsumen.
  • When (waktu), berkaitan dengan kapan substansi tersebut terjadi. Misal, pemeriksa perlu memperhatikan mengenai cut off tanggal transaksi yang mungkin berhubungan juga dengan beda waktu misal dalam pengakuan pendapatan yang dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan PPh Badan dan saat terutangganya PPN dalam SPT Masa PPN.
  • Relative position/posture (posisi), berkaitan dengan titik atau posisi dari suatu tindakan. Misal posisi suatu perikatan dalam penjualan, apakah penjualan telah dilakukan, penjualan baru sebagian dilakukan atau belum dilaksanakan sama sekali.
  • Having/habitus (kepemilikan), berkaitan dengan penentuan yang muncul dari perlengkapan fisik suatu subjek. Misal dalam pendapatan yang melibatkan persentase komisi atau dalam joint operation, auditor perlu menguji ketepatan persentase komisi yang didapatkan, apakah sudah sesuai dengan perjanjian.
  • Doing/action (tindakan), berkaitan dengan tindakan atau perubahan yang dilakukan atas suatu objek pada kondisi tertentu. Misal pendapatan Wajib Pajak yang telah dipotong PPh namun lawan transaksi belum melaporkan dan menyetorkan pemotongan tersebut. Hal ini berakibat pada pajak yang tidak dapat dikreditkan. Wajib Pajak perlu melakukan tindakan rensponsi kepada lawan transaksi agar setidaknya selama masa pengujian, pajak tersebut dapat disetor dan dilaporkan sehingga kredit pajak menjadi valid.
  • Being affected (pasif), berkaitan dengan penerimaan perubahan dari subjek atau objek yang mempengaruhi. Sebagai contoh, apabila terdapat perubahan standar akuntansi, hal ini akan mempengaruhi pembukuan entitas, seperti perlakuan PSAK 72 yang akan menyebabkan entitas menyusun penyesuaian yang cukup signifikan pada akun penjualan, yang mana akan pula menyebabkan koreksi fiskal positif/negatif juga semakin signifikan.

2. Model Empat Penyebab Aristotle

Dalam pencarian pengetahuan, Aristoteles menggunakan empat alasan atau faktor penjelas untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Dalam konteks audit perpajakan, empat alasan ini dapat digunakan untuk mendapatkan bukti audit.

  • Material cause (alasan material), merupakan asal mula atau materi yang menyusun suatu objek atau penciptaan. Dalam audit pajak, material yang dimaksud adalah materi yang diperiksa atau diuji, misal pelaporan SPT Wajib Pajak, laporan keuangan, pencatatan akuntansi yang dilakukan, hingga sumber dokumen pembukuan, atau esensi transaksi asal dari suatu pembukuan.
  • Formal cause (alasan formal), merupakan pola, struktur, dan bentuk yang diwujudkan dalam materi secara spesifik. Dalam audit pajak, formal cause adalah ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Ketentuan pajak ini merupakan pola, standar dan struktur spesifik yang perlu dipatuhi dan memberi pedoman pelaksanaan kewajiban perpajakan. Namun peraturan dapat menjadi formal cause terjadinya ketidakpatuhan dan pemeriksa bisa mendapatkan bukti dari sini.
  • Efficient cause (alasan efisien), merupakan agen atau entitas yang bertanggung jawab atas perubahan suatu materi. Dalam audit pajak, efficient cause adalah Wajib Pajak dan Pemeriksa pajak. Pengetahuan dan pemahaman aturan perpajakan yang berbeda antarWajib Pajak atau antara Wajib Pajak dan Pemeriksa yang memiliki sudut pandang yang berbeda dapat menjadi alasan untuk mendapatkan suatu temuan atau bukti audit.
  • Final cause (alasan terakhir), merupakan tujuan atau alasan akhir dari suatu perubahan. Dalam pemeriksaan pajak, alasan akhir bisa berupa keadilan sosial yang perlu dilihat dari dua sudut pandang, baik Pemeriksa sebagai wakil pemerintah dan rakyat lainnya serta Wajib Pajak.

3. Model Empat Segmen pada Garis Pembagi Platon

Dalam bagian akhir karya Plato berjudul "Republic" terdapat bagian yang disebut Divided Line Analogy. Bagian ini adalah kunci hermeneutic utnuk memahami tujuan keseluruhan dari Republic. Analogi ini terdiri dari empat segmen yang ditengahnya terdapat garis pembagi. Dua segmen pertama yaitu eikasia dan pistis merupakan doxa atau opini, kemudian terdapat garis pembagi dan disusul oleh segmen episteme (pengetahuan murni) yang terdiri dari dianoia dan noesis. Segemen ini dapat digunakan untuk membantu mendapatkan bukti dalam audit, yaitu:

  • Eikasia, yang diterjemahkan sebagai imajinasi atau pencitraan. Gambaran awal merupakan pintu masuk yang penting dalam memahami sesuatu. Seperti dalam audit pajak, Pemeriksa perlu untuk memahami dahulu proses bisnis Wajib Pajak karena tiap bidang usaha memiliki titik kritis masing-masing. Pengumpulan informasi ini juga bisa berasal dari data internal mapun eksternal atau pihak ketiga.
  • Pistis, yang diterjemahkan sebagai kepercayaan. Pistis muncul dari kepuasan dan ketidakpuasan yang diungkapkan oleh eikasia. Eikasia bisa bertentangan atau berubah, sehingga pistis menyelesaikan ambiguitas melalui penggunaan pancaindra unuk memahami lebih jauh suatu kondisi atau objek untuk mendapatkan kepercayaan. Indra yang digunakan bisa indra penglihatan, indra pendengaran atau indra lainnya. Untuk itulah dalam pemeriksaan pajak, Pemeriksa perlu melakukan pemeriksaan lapangan untuk menggunakan indra penglihatan dan pendengarannya untuk mendapatkan kepercayaan atas apa yang disampaikan Wajib pajak dalam eikasia.
  • Divided line (garis pembagi) adalah garis yang membagi antara hal yang terlihat atau terjadi (doxa) dan pengetahuan dasar (episteme). Untuk menjembataninya, auditor bisa melakukan konfirmasi pada pihak ketiga untuk mendapakan bukti yang lebih akurat, misal konfirmasi saldo piutang. Selain itu bisa dilakukan melalui permintaan keterangan tertulis maupun lisan kepada pihak yang berkaitan, baik internal Wajib Pajak maupun pihak eksternal.
  • Dianoia, diterjemahkan sebagai berpikir atau pemikiran. Disini auditor dapat melakukan rekalkulasi, penggunaan sampling, dan melakukan validasi matematis. Dalam pembukuan yang sudah terdigitalisasi, proses rekalkulasi atau penjumlahan matematis sudah dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat. Sehingga dianoia bisa dilakukan dengan sampling beberpa transaksi untuk melihat alur secara keseluruhan.
  • Noesis, yang diterjemahkan sebagai wawasan atau pemahaman. Hal ini berkaitan dengan kebenaran yang diterima secara umum, kebenaran logis dan empiris, dan keputusan etis. Dalam audit hal ini adalah keputusan yang melibatkan professional judgment yang tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan. Sebagai contoh, untuk menilai apakah biaya seragam merupakan biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal atau tidak, pemeriksa memerlukan professional judgment atas nature dari biaya tersebut, karena ketentuan dalam peraturan perpajak memiliki banyak penafsiran mengenai hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun