Latar Belakang
Sejak tahun 2009 hingga 2020, penerimaan pajak tidak pernah tercapai (Kementerian Keuangan, 2021). Salah satu indikator universal yang digunakan negara-negara di dunia untuk menilai capaian prestasi penerimaan pajak suatu negara adalah tax ratio atau tax to GDP ratio. Tax ratio Indonesia mengalami stagnansi dan malah menurun dari 2008 hingga 2020 dan terakhir 9.11% pada tahun 2021 (DDTC, 2021). Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, tax-to-GDP ratio Indonesia pada tahun 2020 yaitu 8.33% berada pada pertingkat 22 dari 24 negara, berada sebelum Bhutan dna Laos (OECD, 2022).
Dari total penerimaan pajak tahun 2020 sebesar 159,454T, 14,90% atau sebesar Rp1.069.98T merupakan hasil extra effort pengawasan, pemeriksaan dan penagihan. Artinya hanya 85.10% penerimaan pajak Indonesia berasal dari kepatuhan sukarela WP (DJP, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa Wajib Pajak cukup agresif bila berkaitan pada pemenuhan kewajiban perpajakan. Menurut Mentri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani (2020), faktor yang disebut sebagai penyebab tax ratio rendah diantaranya adalah masih ada celah dalam kebijakan perpajakan pemerintah dan praktik agresivitas pajak yang relatif mudah di Indonesia.
Salah satu langkah yang dapat digunakan DJP dalam menekan laju agresivitas pajak adalah pemeriksaan pajak. DJP (2016) memaparkan bahwa dua strategi utama yang bisa dilakukan oleh otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak adalah strategi pencegahan dengan memberikan edukasi pajak dan yang kedua adalah strategi penegakan hukum melalui pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak adalah pintu pertama langkah penegakan hukum bagi Wajib Pajak.
Manajemen risiko merupakan elemen penting dalam menciptakan kepatuhan pajak yang efektif dan efisien (Khwaja, 2011). Sebagai negasi dari kepatuhan pajak, agresivitas pajak juga membutuhkan manajemen risiko untuk menangkalnya. Pemeriksaan pajak sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus mencegah agresivitas pajak juga membutuhkan manajemen risiko. Untuk itu pemeriksaan pajak berbasis audit atau risk-based tax audit sangat dibutuhkan agar pemeriksaan pajak itu sendiri bisa berjalan efektif dan efisien.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eberhartinger et.al. (2021) mengenai hubungan antara pemeriksaan pajak berbasis risiko dan penghindaran pajak perusahaan pada 54 negara yang dihimpun datanya oleh OECD memberikan hasil bahwa risk-based tax audit berpengaruh negatif pada penghindaran pajak perusahaan. Selain itu ia juga melakukan penelitian difference-in-difference untuk membandingkan perilaku penghindaran pajak perusahaan antara negara yang menerapkan risk-based tax audit dengan negara yang menerapkan random audit atau belum pernah menggunakan risk-based tax audit. Uji beda ini juga memperlihatkan bahwa penggunaan audit pajak berbasis risiko di suatu negara mengurangi perilaku penghindaran pajak perusahaan. Hasil ini juga konsisten untuk uji beda kedua, yaitu sebelum dan sesudah penggunaan risk-based audit.
Penelitian Eberhartinger et.al. (2021) ini juga menunjukkan bahwa pengaruh risk-based tax audit lebih besar di negara-negara dengan kualitas tata kelola yang buruk, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat, dan kondisi ekonoi yang baik. Lebih jauh ia juga mengkonfirmasi bahwa penerapan risk-based tax audit meningkatkan kinerja administrasi pajak dan menurunkan biaya pengumpulan pajak.
Pemeriksaan pajak yang berbasis risiko sebenarnya sudah diterapkan oleh DJP sejak tahun 2012. Melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-40/PJ/2012 (SE-40) tentang Benchmark Behavioral Model. Saat itu usulan pemeriksaan didasarkan salah satunya pada perbandingan beberapa indikator Wajib Pajak satu dengan kelompok Wajib Pajak sejenis. Yang mana berarti bila Wajib Pajak berada di luar rata-rata mengindikasikan bahwa risiko Wajib Pajak meningkat. Namun penggunaan benchmark ini banyak menuai kritik dan membutuhkan pembaharuan terus menerus karena ekonomi terus berubah dan benchmark tidak dapat diberlakukan secara umum.
Pada September 2019, DJP menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2019 tentang Implementasi Compliance Risk Management (CRM) (SE-24). SE-24 ini menggantikan peran SE-40. Manajemen risiko ini berupa sebuah aplikasi mesin aplikasi yang dapat menentukan tingkat kepatuhan dan level risiko masing-masing Wajib Pajak. CRM ini digunakan mulai dari untuk mengawasi hingga dalam proses penegakan hukum. Mulai saat itu, risk-based tax audit diterapkan dengan memanfaatkan CRM. Melihat bagaimana efektivitas CRM dengan mengevaluasi penerapan risk-based tax audit terhadap agresivitas pajak menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Struktur penerimaan pajak saat ini masih sangat bergantung pada kinerja para wajib pajak besar. Ketergantungan pada wajib pajak besar memunculkan risiko tinggi terhadap penerimaan pajak karena kinerja para wajib pajak besar cenderung berkorelasi bukan saja dengan ekonomi domestik tapi juga dengan kondisi perekonomian regional bahkan global. Hal ini menunjukkan segmen wajib pajak besar sangat volatile dan mempengaruhi kinerja penerimaan pajak (DJP, 2020).
Dari total penerimaan pajak pada 2021 sebesar Rp1.548T, sebanyak Rp188T merupakan pajak yang berasal dari Wajib Pajak Besar Non-BUMN, atau sekitar 12.15%. Besaran ini cukup signifikan. Bila agresivitas pajak dilakukan oleh Wajib Pajak Besar, hal ini akan berdampak signifikan pula pada penerimaan secara keseluruhan. Penelitian yang ada kebanyakan menggunakan data perusahaan yang terdaftar di bursa. Untuk itu objek penelitian Wajib Pajak Besar Non-BUMN menjadi tambahan kebaruan dari penelitian ini. Dengan adanya gap dari hasil penelitian sebelumnya, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh risk-based tax audit yang bersumber dari Compliance Risk Management (CRM) terhadap agresivitas pajak pada Wajib Pajak Besar Non-BUMN di Indonesia.