Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah salah satu fondasi utama dalam membangun masa depan yang lebih sehat bagi generasi mendatang. Selama bertahun-tahun, ASI eksklusif telah terbukti memberikan nutrisi yang sempurna bagi bayi, serta melindungi mereka dari berbagai penyakit. Tidak hanya itu, ASI eksklusif juga memberikan dampak jangka panjang yang positif terhadap kesehatan ibu. Meskipun manfaatnya yang sangat besar, tingkat pemberian ASI eksklusif masih jauh dari harapan di banyak negara. Oleh karena itu, strategi global yang komprehensif dan terintegrasi sangat diperlukan untuk meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif dan, pada akhirnya, membangun masa depan yang lebih sehat bagi anak-anak di seluruh dunia.
WHO menetapkan target global untuk meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan setidaknya menjadi 50% pada tahun 2025. Target ini didasarkan pada bukti yang kuat bahwa ASI eksklusif adalah intervensi paling efektif untuk mencegah kematian anak, mengurangi risiko malnutrisi, serta mencegah obesitas dan penyakit tidak menular di kemudian hari. ASI mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama kehidupan, dan lebih dari itu, memberikan perlindungan imunologi yang tidak dapat ditiru oleh susu formula.
Namun, meskipun manfaatnya sudah jelas dan didukung oleh bukti ilmiah, tantangan dalam meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif masih banyak. Tantangan ini muncul dari berbagai faktor, termasuk kebijakan dan praktik di sektor kesehatan, norma sosial dan budaya, serta praktik pemasaran yang agresif dari produsen susu formula. Oleh karena itu, strategi global yang dirancang untuk mengatasi tantangan-tantangan ini sangat penting untuk memastikan bahwa lebih banyak bayi di seluruh dunia mendapatkan manfaat dari ASI eksklusif.
Salah satu tantangan terbesar dalam meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif adalah kurangnya dukungan di fasilitas kesehatan. Di banyak negara, rumah sakit dan pusat kesehatan tidak memberikan lingkungan yang mendukung bagi ibu untuk menyusui secara eksklusif. Misalnya, inisiatif "Baby-friendly Hospital" yang dirancang untuk mempromosikan praktik menyusui sering kali tidak diimplementasikan dengan baik. Tanpa dukungan yang memadai dari fasilitas kesehatan, banyak ibu yang beralih ke susu formula atau menghentikan pemberian ASI eksklusif sebelum bayi mereka mencapai usia enam bulan.
Selain itu, norma sosial dan budaya juga sering kali menjadi penghalang bagi pemberian ASI eksklusif. Di beberapa budaya, pemberian makanan tambahan sebelum usia enam bulan dianggap sebagai praktik yang normal dan diterima. Pandangan ini sering kali diperkuat oleh kurangnya pengetahuan tentang manfaat ASI eksklusif, baik di kalangan ibu maupun di komunitas mereka. Oleh karena itu, strategi yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah norma sosial ini sangat penting dalam meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif.
Tantangan lainnya adalah pemasaran agresif dari susu formula. Meskipun ada peraturan yang membatasi pemasaran susu formula, banyak perusahaan yang masih melakukan praktik pemasaran yang menyesatkan, mengklaim bahwa produk mereka setara atau bahkan lebih baik daripada ASI. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan ibu terhadap kemampuannya untuk menyusui, sehingga mereka beralih ke susu formula.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, WHO merekomendasikan beberapa strategi yang dapat diimplementasikan secara global. Pertama, dukungan di fasilitas kesehatan perlu ditingkatkan. Inisiatif "Baby-friendly Hospital" harus diperkuat dan diimplementasikan secara konsisten di seluruh fasilitas kesehatan. Selain itu, pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang pentingnya ASI eksklusif dan cara mendukung ibu menyusui harus ditingkatkan.
Kedua, dukungan di komunitas juga sangat penting. Kampanye komunikasi yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran tentang manfaat ASI eksklusif harus disesuaikan dengan konteks lokal. Selain itu, dukungan berbasis komunitas, seperti kelompok ibu menyusui dan dukungan dari dukun atau bidan, dapat membantu mengatasi norma sosial yang menghambat pemberian ASI eksklusif.
Ketiga, pemerintah harus memperkuat regulasi yang membatasi pemasaran susu formula. Pemantauan dan penegakan peraturan ini harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan kepada ibu adalah akurat dan tidak menyesatkan. Pemerintah juga harus mendorong kebijakan yang mendukung ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif, seperti kebijakan cuti melahirkan berbayar selama enam bulan dan penyediaan fasilitas menyusui di tempat kerja.
Beberapa negara telah berhasil meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif melalui penerapan strategi-strategi ini. Sri Lanka, misalnya, berhasil meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif dari 17% menjadi 76% antara tahun 1995 dan 2007 melalui kampanye nasional yang intensif dan dukungan dari pemerintah. Kamboja juga berhasil meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif dari 11% menjadi 74% antara tahun 2000 dan 2010 melalui inisiatif berbasis komunitas dan pendidikan bagi ibu. Malawi meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif dari 3% menjadi 71% antara tahun 1992 dan 2010 melalui kombinasi dari dukungan di fasilitas kesehatan dan kampanye nasional.
Strategi global untuk meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih sehat bagi anak-anak di seluruh dunia. Dengan mengatasi tantangan yang ada melalui peningkatan dukungan di fasilitas kesehatan, kampanye berbasis komunitas, dan penegakan regulasi yang lebih kuat, kita dapat mencapai target global dan memastikan bahwa lebih banyak bayi mendapatkan manfaat dari ASI eksklusif. Kesuksesan beberapa negara dalam meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa dengan komitmen yang kuat dan pendekatan yang terkoordinasi, tujuan ini dapat dicapai.