Keberlanjutan sastra tutur kentrung Lamongan menjadi perhatian semua pihak baik masyarakat, komunitas maupun pemerintah. Bila tidak ada satupun pihak yang berusaha untuk peduli dan melestarikannya sudah dapat di pastikan kesenian Kentrung Lamongan akan tinggal cerita dan musnah tergerus zaman. Untung saja pihak-pihak tersebut di atas masih memiliki kesadaran untuk bisa melestarikannya, hal ini terbukti dengan di adakannya pelatihan kentrung Lamongan yang di fasilitasi oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa timur.Â
Pelatihan kentrung Lamongan di adakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Rumah Budaya Pantura sebagai panitia lokal, dengan melibatkan berapa komunitas indipenden, komunitas kesenian pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum pada hari senin 07 Maret - 10 Maret 2022 di Desa Kemantren Paciran Lamongan.Â
Hadir sebagai narasumber adalah pelaku seni kentrung Lamongan, seniman Lamongan, Akademisi dan pemerhati kesenian dan kebudayaan, di antaranya Fathur Rokhim ( Seniman Kentrung Lamongan), Deni Jazuli ( Seniman/ Penyair Lamongan ), Mudzakir M. Pd. (Akademisi ) dan Mohammad Sovan ( Pemerhati seni dan kebudayaan ).Â
Dalam materinya, Deni jazuli yang merupakan seniman pertunjukan di Lamongan menjelaskan tentang kentrung Lamongan dan perbedaannya dengan kentrung di daerah lain, seperti kentrung Jepara, diceritakannya pertemuannya dengan maestro kentrung Jepara, mbah Parmo dan cucunya, mas Arif. Obrolan antara mbah Parmo dengannya sekitar kentrung Jepara dan Lamongan.Â
Antara kentrung Lamongan dan Jepara banyak kesamaannya, ada pula perbedaannya. Persamaannya pada jenis alat musik yang dimainkan adalah rebana/terbang, isi cerita memuat sejarah, syiar agama, dan kebudayaan atau juga tontonan, tatanan dan tuntunan. Perbedaan yang ada mungkin adalah penggunaan cerita yang menurut mbah Parmo, cerita yang beliau sampaikan di kentrung Jepara beliau peroleh dari gurunya seperti cerita Ahmad Muhammad, jimat pancawarna, Joharmanik, Juharsah, Mursoda maling, Jalak mas dan lain lain.Â
Beliau tidak pernah membawakan cerita selain yang diajarkan guru beliau. Berbeda dengan kentrung Lamongan yang lebih seperti monolog dengan cerita yang berubah ubah, tidak menggunakan pakem cerita yang baku, penggunaan parikan di kentrung Jepara juga begitu kuat.Â
Di ceritakan pula oleh Deni Jazuli tentang kentrung Tayu-Pati, yang masih ditekuni oleh mbah Soeroso, seorang seniman kentrung yang tuna netra, yang juga tidak memiliki murid yang akan mewarisi kesenian kentrung dari beliau. Di wawancarai juga oleh narasumber terkait kentrung Tayu, kurangnya intensitas tanggapan membuat seniman kentrung semakin terlupakan.Â
Kentrung lamongan begitu khas, dengan mengunakan pola tutur cerita yang kuat dengan hanya sedikit parikan, namun memungkinkan menggunakan syair syair, sholawat dan kalimat toyyibah, dalang kentrung Lamongan juga mengunakan jenis dalang ontang-anting, pola pukulan musiknya juga sederhana hanya berpola tung-tung-dang, namun suspensi pukulan mengikuti tabgga dramatik alur cerita, artinya ritme tabuhan bisa menjadi cepat dan penuh penekanan saat lakon cerita naik tangga dramatiknya (tegang), kostum dalang juga berciri khas, yaitu memakai Jubah Arab, dengan sorban dan igal persegi.Â
Beberapa ritual juga dilakukan oleh dalang kentrung Lamongan seperti melakukan puasa satu hari sebelum manggung, mencari informasi tentang desa atau tempat yang akan dijadikan lakon cerita, baik dengan bertanya pada sesepuh desa setempat, atau dengan cara spiritual, dengan kata lain dalang kentrung Lamongan memiliki kesadaran tentang relasi hubungan antara dalang dengan tuhan, manusia dan alam semesta.Â