Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 adalah peristiwa sejarah yang memiliki konsekuensi yang masih dirasakan hingga saat ini. Presiden Soeharto, yang telah menjabat selama tiga puluh tahun, masih menjabat sebagai presiden Indonesia pada saat itu. Terpuruknya bath Thailand, terutama terhadap dolar Amerika, pada awal tahun 1997 adalah awal dari krisis nilai tukar beberapa mata uang Asia. Pemerintah percaya bahwa Indonesia tidak akan mengalami krisis mata uang karena fundamental ekonominya yang kuat pada saat itu. Namun, sejarah mencatat bahwa kekacauan mulai muncul saat spekulan mulai berfokus pada rupiah. Pemerintah melakukan intervensi di pasar valuta asing saat serangan spekulasi terhadap rupiah mulai terjadi. Pada Juli 1997, pemerintah terpaksa memperluas batas intervensi akibat serangan spekulasi dan terbatasnya cadangan devisa. Namun, usaha ini tidak bertahan lama karena upaya untuk menyelamatkan cadangan devisa justru menimbulkan risiko moral.
Dimulai ketika ekonomi beberapa negara, termasuk Thailand, Korea Selatan, Laos, dan Filipina, merosot pada pertengahan tahun 1997. Ini memiliki efek domino pada negara lain, termasuk Indonesia. Di Indonesia, nilai tukar rupiah terjun bebas, harga bahan pokok melonjak tajam, dan kemampuan masyarakat untuk membeli barang-barang menurun. Perusahaan swasta nasional gulung tikar, dan tingkat pengangguran terus meningkat.
Pemerintah kemudian menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal Mei 1998 (Media Indonesia; Pikiran Rakyat, 1998:4 Mei). Kenaikan ini segera diikuti oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok lainnya. Ini adalah tempat di mana krisis politik dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah bermula. Student mulai kehilangan kesabaran. Mahasiswa yang disebut sebagai "Angkatan 1998" mulai berdemonstrasi dengan turun ke jalan, mengulangi gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, dan 1978. Sejak itu, tuntutan sederhana "turunkan harga" menjadi lebih signifikan. "Soe-HAR-to dan keluar-GA" adalah istilah lain untuk "harga". Jika ini terjadi, gerakan mahasiswa yang memiliki motif dan tujuan yang rumit akan berkembang menjadi gerakan reformasi penuh, yang akan menyebabkan perubahan pada sistem sosial, ekonomi, dan politik saat ini di Indonesia.
Penyebab Krisis 1997-1998
Penularan dari Thailand menyebabkan ketidakseimbangan makro, seperti yang disepakati oleh Iriana dan Sjolhom (2002) dan Arafat (2009). Pasar valas dan pasar modal tidak berjalan bersamaan. Akumulasi aset fisik menurun, sementara investasi dalam aset keuangan meningkat pesat. Menurut Nematnejad (2000), ada tiga penyebab krisis: fundamental ekonomi makro, kepanikan dan kapitalisme, dan penyebaran kebijakan di Asia Timur.Â
1. Nilai Tukar
Nilai tukar adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan krisis, dan penelitian IMF mencatat faktor ini sebagai komponen fundamental ekonomi. Menurut penelitian Salamah (2001), para spekulan menyadari bahwa banyak negara Asia memiliki utang luar negeri jangka pendek yang akan segera jatuh tempo. Mereka berupaya meraih keuntungan dengan menjual pada harga tinggi sesuai kurs dolar yang diinginkan. Akibat spekulasi ini, dolar AS menjadi langka dan nilai mata uang domestik mengalami penurunan.
2. Suku Bunga
Studi oleh Nematnejad (2002) menunjukkan bahwa kesalahan dalam penegakan ekonomi merupakan penyebab utama perbedaan signifikan dalam tingkat suku bunga antar negara. Bank Indonesia melaporkan bahwa sejak Juli 1997, ketika nilai tukar rupiah terus merosot, pemerintah mengambil berbagai langkah untuk menstabilkan rupiah, termasuk menaikkan suku bunga secara drastis, memindahkan dana BUMN dan yayasan dari bank ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI), serta melakukan pengetatan anggaran. Namun, kebijakan ini justru membuat suku bunga pasar uang melonjak dan likuiditas perbankan menurun, sehingga bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa takut dan kehilangan kepercayaan pada sistem perbankan, yang memicu penarikan dana secara besar-besaran. Situasi ini semakin memperburuk masalah likuiditas di seluruh sistem perbankan, yang mengancam kelangsungan ekonomi nasional dan sistem pembayaran
3. Rasio Pembayaran Utang
Nematnejad (2002) menyelidiki pengaruh suku bunga terhadap utang jangka pendek dalam dolar. Satu-satunya alasan mengapa utang Indonesia lebih tinggi devaluasinya adalah rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa yang lebih tinggi.