Lanjutan...
Seni dan perilaku (karakter)
Selama ini di sekolah-sekolah umum memandang bahwa seni (termasuk olahraga) selalu menjadi “musuh” pelajaran matematika dan bahasa. Mengapa? Karena pada umumnya anak-anak dengan kemampuan seni dan olahraga baik, selalu kurang berprestasi di bidang akademik. Sebaliknya, anak-anak yang berprestasi secara akademis biasanya tidak suka musik dan olahraga. Pandangan ini jelas keliru. Buktinya, banyak anak yang tidak suka seni maupun olahraga prestasi akademiknya tetap rendah. Demikian pula sebaliknya, tidak sedikit anak-anak pecinta musik (seni) dan olahraga yang berprestasi secara akademik.
Lebih dari itu, ada anggapan bahwa anak-anak seni adalah anak-anak kumuh, bandel, sulit di atur, dan semaunya. Demikian pula dengan anak-anak pecinta olahraga, biasanya tergabung dalam komunitas-komunitas atau geng-geng remaja. Bahkan, tidak jarang diantara mereka menjadi anggota seni beladiri, seperti pencak silat, taekwondo, boxer, dan lain sebagainya.
Namun demikian, ternyata yang membuat mereka (anak-anak pecinta seni dan olahraga) betah bersekolah justru karena ada seni di dalamnya. Seandainya sekolah tidak memfasilitasi seni dan olahraga, pastilah mereka telah lari dari sekolah tersebut. Artinya, seni dan olahraga justru menjadi media paling efektif untuk mengembangkan potensi peserta didik.
Selanjutnya, penelitian-penelitian mutakhir menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat harmonis antara seni dan iklim akademis di sekolah. Seni ternyata tidak hanya ekspresif dan emotif, tetapi juga sangat edukatif. Rabkin dan Redmon, sebagaimana dikutip Sousa menemukan sejumlah fakta edukatif terkait dengan sekolah-sekolah yang mengintegrasikan musik ke dalam kurikulum wajib. Fakta-fakta edukatif tersebut adalah sebagai berikut.
1.Siswa mempunyai ikatan emosional yang lebih besar terhadap lingkungan kelas dan teman-temannya.
2.Siswa belajar lebih cerdas dan kreatif serta saling belajar satu sama lain.
3.Kelompok pembelajaran kooperatif menjadikan kelas sebagai satu komunitas pembelajaran aktif. Mereka seperti “kumpulan para seniman” yang mempelajari sains (matematika, fisika, kimia, dan sejenisnya) secara lebih bersahabat.
4.Orang tua siswa lebih terlibat secara intensif, khususnya pada pentas-pentas seni pertunjukan maupun sosiodrama.
5.Guru lebih kolaboratif dengan siswa. Komunikasi lebbih dekat secara emosional tetapi berjarak secara struktural (guru-murid) sehingga masing-masing saling menghargai.
6.Guru seni dan guru musik menjadi pusat proyek multifungsi sekaligus media bagi seluruh siswa yang ada.
7.Melalui seni, objek pembelajaran apapun lebih mudah dijangkau.
8.Kurikulum menjadi lebih autentik, praktik, dan berbasis proyek.
9.Penilaian lebih baik (rapi-indah) dan bervariasi.
10.Ekspektasi guru terhadap siswa meningkat.
Selama ini para pakar pendidikan memang belum banyak melakukan penelitian terkait pengaruh seni terhadap pembelajaran. Namun, dengan seiring dengan kemajuan di bidang neurosains, hasilnya mulai dapat dirasakan, baik penelitian di bidang seni secara otonom maupun seni secara terintegrasi dalam kurikulum sekolah. Berikut ini beberapa penelitian neurosaintis yang telah dilakukan berkaitan dengan seni dalam pembelajaran.
1.Studi selama 10 tahun di sekolah umum di Chicago (USA) menunjukkan bahwa skor untuk tes keterampilan dasar membaca bagi kelas enam di sekolah-sekolah yang memiliki program seni terintegrasi ke dalam kurikulum meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan skor tes pada siswa-siswi dari sekolah umum biasa, dengan kondisi lingkungan, latar belakang ekonomi keluarga, dan kinerja akademik yang sama.
2.Studi di sekolah-sekolah Minneapolis (USA) menunjukkan bahwa integrasi seni dalam kurikulum memiliki efek-efek positif terhadap siswa, tetapi efek positif terasa lebih besar bagi peserta didik bermasalah.
3.Di Florida (USA), 42 persen didik yang berpotensi drop out menyatakan bahwa seni menjadikan mereka tetap berada di sekolah. Lebih jauh lagi, peserta didik ini lebih terlibat dalam pelajaran-pelajaran seni, dibandingkan pelajaran-pelajaran akademik lainnya.
4.Penelitian yang dilakukan terhadap sekitar 70 peserta didik beresiko di Florida, menunjukkan bahwa berpartisipasi di dalam program-program seni dapat membantu mereka menurunkan perilaku buruk, memicu kompetensi akademik, memelihara kontrol, dan merasakan hubungan yang lebih dekat dengan sekolahnya.
5.Youth ARTS Development Project, sebuah program kerja sama antara lembaga educational for the Arts dan U. S. Justice Departement, melibatkan anak-anak berisiko drop out dalam program-program seni. Setelah dua tahun, peserta program menunjukkan kemampuan mengerjakan tugas-tugas sekolah dari awal sampai akhir, lebih mampu berkomunikasi dengan efektif, memiliki sikap yang lebih baik terhadap sekolah, dan menurunkan frekuensi prilaku buruk dan tindakan melanggar hukum.
Referensi:
Suyadi. 2014. Teori Pembelajaran Anak Usia Dini Dalam Kajian Neurosains. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H