Mohon tunggu...
Miftahul Jannah
Miftahul Jannah Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni UIN Sunan Kalijaga - Kajian Gender

Semesta berbisik bahwa yang dibutuhkan oleh manusia adalah kesimbangan hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sangkar Keperawanan dalam Tradisi Islam Fundamentalis, Menutup Jalan Kemerdekaan Perempuan

31 Oktober 2024   06:59 Diperbarui: 31 Oktober 2024   07:05 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan ini terinspirasi dari buku "Belalah Hak-Hakmu! Perempuan dalam Islam" karya Ayaan Hirsi Ali. Dalam buku tersebut, sebenarnya mengandung hal-hal yang dapat menimbulkan kontroversial, utamanya yang menyoroti persoalan ajaran ke-Islaman yang bersifat fundamental. Akan tetapi, dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pada persoalan yang berkaitan dengan "Sangkar Keperawanan dalam Tradisi Islam Fundamentalis". 

Suatu persoalan yang kemudian berkaitan tentang kemerdekaan hidup perempuan, yang pada akhirnya menjadi penghalang atas perempuan dalam melihat dunia dengan pengetahuan. Meskipun karya Hirsi Ali mengandung hal-hal yang bersifat kontroversial, tetapi penulis meyakini kita dapat mengambil manfaat dari karya tersebut sebagai bahan refleksi sebagaimana yang akan penulis fokuskan dalam tulisan ini.

Buku "Belalah Hak-Hakmu! Perempuan dalam Islam", karya dari Ayaan Hirsi Ali merupakan sebuah karya yang lahir dari pengalaman hidupnya, serta kesaksiannya terhadap kehidupan perempuan-perempuan dalam tradisi keislaman. 

Hirsi Ali terbilang sebagai perempuan yang kritis, dan pemberani. Hal tersebut ditandai dengan sikap Hirsi Ali yang melakukan perlawanan saat ingin dijodohkan dengan sepupu dari ayahnya. 

Hirsi Ali melakukan perlawanan dengan melarikan diri ke Belanda. Di sana Ia merasa telah menjadi dirinya sendiri, meraih kemerdekaan hidup dengan belajar dan bekerja. Ia melanjutkan Pendidikan hingga akhirnya meraih gelar sarjana, Ia juga belajar bahasa dan bekerja sebagai penerjemah di sejumlah tempat. Andaikan Hirsi Ali menikah, Ia akan menjalani hari-harinya menjadi Ibu rumah tangga dan seorang Ibu dengan pengetahuan seadaanya.

Sikap kritis dan keberanian Hirsi Ali juga terlihat dari tindakannya yang aktif menyuarakan pendapat melalui surat kabar, majalah, televisi, dan radio. Tentunya perhatian Hirsi Ali tersebut diarahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan perempuan-perempuan Muslim di Belanda dan Eropa Barat. 

Keaktifan Hirsi Ali dalam menyuarakan nasip perempuan Muslim menyebabkan dirinya menjadi perwakilan parlemen bagi Partai Buruh, meskipun akhirnya beralih ke Partai Liberal, karena menganggap dalam partai tersebut lebih banyak mendapatkan dukungan untuk membantu Perempuan-perempuan Muslim.

Membaca buku Hirsi Ali seolah mengajak kita berdialog tentang pentingnya menjadi Perempuan Muslim yang merdeka. Terdapat pernyataan yang menarik dalam buku Hirsi Ali, yang menyatakan bahwa; akibat dari "Kultur Keperawanan" tidak hanya menjadikan Perempuan sebagai korban, tetapi laki-laki pun menjadi korban yang sama banyaknya dengan Perempuan.  

Adapun hasil dari kultur tersebut, laki-laki tidak dibesarkan oleh Ibu yang sehat, seimbang dan Pendidikan yang baik. Penekanan yang kuat atas "kejantanan" dalam pengasuhan mengakibatkan laki-laki tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi yang tentunya sangat dibutuhkan untuk kehidupan yang harmonis dalam keluarga.

Persoalan moralitas seksual menjadi salah satu persoalan yang diangkat menjadi dogma, moralitas yang dibangun dalam Islam terekspresikan melalui sebuah obsesi atas keperawanan. Moralitas seksual ini hanya digunakan pada Perempuan, sedangkan laki-laki tak dilatih untuk menyikapi dengan baik seksualitasnya. Seorang Perempuan lebih ditekankan untuk menutup dirinya dibandingkan dengan laki-laki. 

Akibat dari obsesi tersebut Perempuan Muslim seringkali diberitahu bahwa seorang gadis  dengan selaput darah yang pecah, seperti objek bekas dan objek yang telah digunakan sebelum menikah. Sehingga, Perempuan tidak dianggap berharga secara permanen karena kehilangan segel, Ia tidak akan menemukan pasangan dan akan mendapatkan kutukan dari orang sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun